METODE PEMAHAMAN HADIST MUHAMMAD AL-GHAZALI
1. Biografi Muhammad Al-ghazali
Muhammad Al-Ghazali lahir pada
tanggal 22 september 1917 di naqla al-‘Inab, al-Bukhaira Mesir. Ia adalah
seorang da`i terkenal, penulis produktif (tidak kurang dari empat puluh buku
telah ditulisnya), dan mantan aktivis Al-Ikhwan Al-Muslimun, di samping seorang
ulama beraliran Salafi. Dua karyanya yang penuh diterbitkan oleh Mizan adalah
Keprihatinan Seorang Juru Dakwah (1984) dan Al-Ghazali Menjawab 40 Soal Islam
Abad 20 (1989).
Menurut Muhammad al-Ghazali ada
lima kriteria keshahihan hadits yaitu tiga terkait dengan sanad (periwayat
harus dhabit dan adil, serta keduanya harus memiliki seluruh rawi dalam sanad)
dan dua kriteria terkait dengan matan (matan hadits tidak syadz atau salah
seorang atau beberapa rawinya bertentangan periwatannya dengan perawi yang lain
yang lebih akurat dan lebih dapat dipercayai dan matan hadits tidak mengandung
‘illah qadihah cacat yang diketahui oleh para ahli hadits sehingga mereka
menolaknya). Beliau tidak memadukkan unsur ketersambungan sanad sebagai
kriteria keshahihan hadits.
Menurutnya, untuk mempraktekkan kriteria itu memerlukan kerjasama atau saling sapa antara Muhaddits dengan berbagai ahli dibidangnya termasuk fuqaha, Mufassir, Ahli Ushul Fiqh, Ahli Kalam dan lainnya.
2. Metode yang digunakan
a. Pengujian dengan Al-Qur’an
Ia
mengecam keras terhadap orang yang memahami dan mengamalkan secara tekstual
hadits yang shahih sanadnya namun matannya bertentangan dengan Al-Qur’an.
Keyakinan ini berasal dari kedudukan hadits sebagai sumber otoritatif setelah
Al-Qur’an dan tidak semua hadits dipahami secara benar oleh periwayatnya.
Mengkaji Al-Qur’an dengan porsi sedikit dari hadits tidak mungkin memberikan
gambaran yang mendalam. Selama menyangkut kritik matan dalam pengertian
memfilter matan yang shahih dhaif dan kritik matan dalam memahami hadits
menggunakan metode ini.
Penggunaan
metode ini adalah setiap hadits harus dipahami dalam kerangka makna yang
ditunjukkan oleh Al-Qur’an baik secara langsung atau tidak. Penerapan pemahaman
hadits dengan metode ini dijalankan secara konsisten, sehingga banyak hadits
yang shahih seperti dalam kitab Shahih Bukhari Muslim yang dianggap dhaif. Ia
akan mengutamakan hadits yang sanadnya dhaif, bila kandungan maknanya sinkron
dengan prinsip ajaran Al-Qur’an daripada hadits yang sanadnya shahih akan
tetapi kandungan maknanya tidak sinkron dengan inti ajaran Al-Qur’an dalam
persoalan kemashlahatan dan muamalah duniawiyah.
b. Pengujian dengan Hadits
Pengujian
ini menggunakan matan hadits yang dijadikan dasar argumen tidak bertentangan
dengan hadits mutawatir dan hadits yang lebih shahih. Setiap hadits harus
dikaitkan dengan hadits lainnya untuk menentukan suatu hukum. Kemudian hadits
itu dikomparasikan dengan apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an.
c. Pengujian dengan fakta historis
Hadits
dan sejarah memiliki hubungan sinergis yang saling menguatkan satu sama lain.
Adanya kecocokan antara hadits dengan fakta sejarah akan menjadikan hadits
memiliki sandaran validitas yang kokoh, sebaliknya apabila terjadi penyimpangan
antar keduanya, salah satu diantara keduanya akan diragukan kebenarannya.
d. Pengujian dengan kebenaran ilmiah
Pengujian
ini diartikan bahwa setiap kandungan matan hadits tidak boleh bertentangan
dengan teori ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah dan juga memenuhi rasa
keadilan atau tidak bertentangan dengan hak asasi manusia jadi tidak masuk akal
bila hadits mengabaikan keadilan. Hadits shahih apabila muatan informasinya
bertentangan dengan prinsip keadilan dan prinsip hak asasi manusia dianggap
tidak layak pakai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar