METODE PEMAHAMAN HADIST MUHAMMAD SALTHUT
1. Biograf Syekh Muhammad Salhtut
Syekh mahmud Syaltut dilahirkan pada
tanggal 23 April 1893 di dea minyat bani manshur, distrik Itay, wilayah provinsi
buhaira, berasal dari keluarga petani yang taat beragama, ayahnya seorang
petani yang memiliki 9 karisma di desanya pendidikan Syekh Syaltut diawali
dengan belajar membaca Alquran, dan beliau berhasil menghafalkannya pada tahun
1906 M saat berusia remaja (13 tahun) kemudian beliau memasuki lembaga
pendidikan agama di Ma’had al-dini diIskandariyah Syekh Syaltut menyelesaikan
studinya di universitas Al-Azhar pada tahun 1918 M, dengan predikat Syahadah
al- Alimiyah al-Nizamiyah, suatu penghargaan tertinggi dari Al Azhar atas
prestasi yang dicapainya selama studi diuniversitas Al-Azhar Setelah
menyelesaikan pendidikannya dari Al-azhar ia mengajar di Almamaternya, juga
sebagai dan aktif sebagai penulis di majalah dan jurnal terbitan Al-Azhar Syekh
Syaltut mempelopori berdirinya Jamaah al-taqarib baina madzahib, suatu organisasi
untuk mendekatkan mazhab-mazhab, yang terdiri dari kalangan Sunni-Syiah, untuk
menghilangkan fanatisme mazhab dalam hukum Islam.
pada tahun 1927 beliau diangkat menjadi
dosen al-azhar, mengajar di qism al Ali, mengasuh mata kuliah fiqh kemudian
arus pembaharuan yang begitu pesat di al-azhar disokong penuh oleh ulama-ulama
muda al-azhar yang berwawasan reformasi, situasi yang demikian mendapat respon
antara yang pro dan yang kontra terhadap ide-ide pembaharua pada akhirnya
menyebabkan Syekh Syaltut dikeluarkan dari universitas al-azhar pada tahun 1937
beliau ditunjuk mewakili al-Azhar untuk mengikuti konferensi internasional
dengan mengedepankan makalah dengan tema al-Masuliyah al-madaniyah wa al-jinaiyyah
fi al-syariah al-islamiyah, pada tahun 1941 menjadi anggota Jamaah Kibar
al-ulama, suatu lembaga yang bewewenang menyeleksi dan memilih anggotanya untuk
menjadi syaikh al-azha.
pada tahun 1950 M, beliau terpilih
menjdi anggota Majlisal-Izaah, karena pengalamannya yang luas selama menjabat
dewan riset dan kebudayaan Islam, tahun 1957 beliau ditunjuk sebagai monsultan
konferensi Islam, 9 november 1957 beliau dipilih untuk menjadi wakil syekh
al-Azhar, dan pada 21 oktober 1058 beliau diangkat menjadi syaikh al-azhar Syekh Syaltut membangun tradisi memberikan gelar
akademis doctor honoris causa semasa mrnjabat sebagai Syekh al-azhar beliaupun menerima gelar kehormatan dari
Negara chilidan Indonesia, pada tanggal7
januari 1061 IAIN Sunan 8alijaga yogyakarta menganugrahkan gelar doctor Honoris
causa kepada Syekh Syaltut dalam bidang ilmu ushuluddin.
2. Pemikiran Syeh Mahmud Syaltut
1. Sunah Nabi Sebagai Sumber Ketetapan
Akidah
Akidah tidak dapat ditetapkan melainkan
dengan nash yang dipercayai sababul wurudnya dan pembuktiannya maka seharusnya
dijelaskan prinsip-prinsip keautentikan suatu sunah maka jika berbicara
tentangdasar menetapkan suatu keyakinan, Syekh Syaltut berpendapat bahwa untuk
menetapkan suatu kepercayaan haruslah berdasarkan ayat Alquran yang mempunyai
dilalah (pengertian) yang qoth’I yakni ayat yang hanya bisaditafsirkan dengan
satu tafsiran saja, atau berdasarkanhadis yang juga hanya ditafsirkan dengan
satu tafsiran saja, qhat’I pula
datangnya dari Nabi Saw Hadis yang tidak qath”I dilalahnya atau tidak qath’i
datangnya dari Nabi Saw atau dua-duanya tidak qath’i maka tidak dapat
menetapkan suatu hukum aqidah (kepercayaan).
2. Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad
Untuk
menjelaskan kesahihan suatu hadis semestinya kita mengikuti kaidah yang sudah
ditetapkanulama mengenai sistem periwayatannya, yaitu apa yang disebut dengan
hadis muta"atir dan apa hadis ahad yangakan menjadi pedoman untuk
menetapkan diterimanya hadis-hadis tersebut sebagai sumber ketetapan para ulama
membagi sunah menjadi dua bagian,yang pertama adalah periwayatan secara mutatatir,
yaitu suatu hadis diriwayatkan oleh sekelompok orang samapai jumlah tertentu,
yang mana menurut keadaannya merekaitu mustahil sepakat melakukan kebohongan
dan paraperawi tersebut harus dapat dibuktikan dalam segala tingkatan sanadnya,
mulai dari yang paling atas (sahabat), pertengan (tabi’in) atau yang paling
akhir, dengan pengertian bahwa pertama-tama yang meriwayatkan hadis dari Nabi
Saw adalah jamaah (sekumpulan orang banyak) dari kalangan sahabat, kemudian
yang meriwayatkan dari mereka ini pun orang banyak juga, sampai yang meriwayatkan
terakhirpun orang banyak sampai periwayatan yang sampai kepada kita sekarang
ini. Yaitu bahwa suatu hadis yang mutawatir dapat dibuktikan bahwa hadis
tersebut diriwayatkan oleh sejumlah orang kepada sejumlah orang di belakangnya.
Suatu
hadis yang diriwayatkan oleh satu orang sajaatau beberapa orang tetapi
jumlahnya sedikit, dinamakanhadis ahad, hadis ahad bukanlah hadis mutawatir
yang diyakini datangnya dari rasulullah Saw, akan tetapi dinamakan hadis ahad
(perseorangan) di dalam persambungan riwayatnya kepada rasulullah Saw diragukan
maka hadis ini tidak dapat mendatangka nkeyakinan, atau tidak dapat dipercaya
begitu saja juga tidakdapat dijadikan sebagai landasan akidah.
3. Hadis Mutawatir di dalam Kitab-kitab
Hadis Kodifkasi
Hadis
mutawatir adalah hadis yang menuntut yakinnya kita dalam periwayatannya (qath’i),
sedangkan hadis ahad adalah hadis-hadis yang mengandung keraguan (zhann). Namun
bagaimanakah jumlah hadis-hadis yang mutawatir di dalam kodifkasi (kitab-kitab
hadis yang sudah dibukukan).
para
ulama berbeda pendapat dalam penentuan jumlah hadis yang mutawatir di dalam
kodifkasi hadis, diantara mereka ada berpendapat bahwa tidak terdapat satu
hadis pun yang mutawatir di dalam hadis-hadis yang diriwayatkan kepada kita.
Hal ini karena para ulama yang mensyaratkan mutawatirnya periwayatan sebuah
hadis yaitu hendaknya periwayatannya dilakukan oleh sekumpulan orang yang tidak
terbatas jumlahnya. Seperti perkataan Ibn al-Salah hampir saja tidak ditemukan
hadis mutaswatir di dalam riwayat para ahli hadis, dan barangsiapa yang diminta
untuk mengemukakan satu saja contohhadis yang mutawatir yang diriwayatkan oleh
para ahli hadis, tentu akan sangat sukar sekali mencarinya.
Syekh
Syaltut menjelaskan bahwa para ulama telah ijma’ bahwa hadis ahad tidak dapat
memberikan hukum yakin (qath’i) hanya sampai pada taraf ( zhan), tidak bedanya
dalam hal ini antara hadis-hadis yang diriwayatkan oleh bukhori atau muslim
maupun periwayat lainnya. Para ulama berpendapat bahwa tidak satupun ditemukan
hadis yang mutawatir rawinya di dalam kitab-kitab hadis, namun sebagian ulama
lain juga berpendapat bahwa banyak hadis-hadis yang mutawatir di dalam
kitab-kitab hadis. Suatu hadis tidak disebut mutawatir kecuali diriwayatkan
dalam kitab-kitab hadis yang masyhur, dan thuruq ri"ayatnya banyak,
sehingga diyakini tidak akan terjadi diantara para pearwi yang itu kesepakatan
untukmelaukan dusta, dan syarat ini menjadi kelaziman dalam tiap thabaqot
hadis.
Menurut
Syekh Syaltut, Sunah yang datang dari nabidan yang dikodifikasikan ke dalam
buku hadist baik dariperkataan, perbuatan, dan pengakuannya, dari segi kedudukan
dapat dibagi menjadi dua macam sebagai berikut
a. Sunah non syariat (ghairu tasyri’iyah)
Sunah
yang tergolong non-tasyri’iyah ini adalah kebutuhan sebagai manusia seperti
makan dan minum, pengalaman, tradisi pribadi dan kolektif seperti pertanian, kedokteran,
dan berpakaian, manajemen sebagai manusia seperti pembagian kelompok dalam
medan peperangan. Semua itu boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, ia bukan
tasyri’ dan bukan sumber tasyri’.
b. Sunah sebagai syariat (tasyri’iyah)
1. Syariat umum, yaitu apa yang dating dari
Nabi Sawsebagai tabligh risalah seperti penjelasan perincianayat global
(tafshil al-mujmal) masalah ibadah, halal haram, akidah, akhlak. Semuaorang
harusmengikutinya
2. Syariat khusus, yaitu kehadiran Nabi Saw
sebagai pemimpin masyarakat yang mengaturnya berdasarkan kemaslahatan umum atau
sebagai hakim yang memutuskan perkara berdasarkan bukti atau sumpah. Seseorang
boleh melakukannya setelah ada izin dari seorang imam atau hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar