--> Fragmen Ilmiah : Qiyas | Deskripsi Singkat Blog di Sini

Himpunan Makalah, Skripsi, dan Jurnal

Tampilkan postingan dengan label Qiyas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Qiyas. Tampilkan semua postingan

12/12/20

Makalah Ijma' dan Qiyas dalam Islam

Makalah Ijma' dan Qiyas dalam Islam

Makalah Ijma' dan Qiyas Dalam Islam

Ijma’ dan qiyas adalah salah satu sumber hukum islam yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi di bawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan Hadits)

Pengertian Ijma' dan Qiyas, Contoh hingga Macam-macamnya

Ijma’ dan qiyas adalah salah satu sumber hukum islam yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi di bawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan Hadits).

Ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum islam.

Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ dan qiyas itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits.

Mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).


Ijma’ dan qiyas muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi. 

Khalifah Umar Ibnu Khattab RA. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum.

Jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian ijma’ dan qiyas
2. Macam-macam ijma’ dan qiyas
3. Kedudukan ijma’ dan qiyas dalam agama Islam
4. Pentingnya ijma’ dan qiyas dalam agama Islam

C. Tujuan        
Dalam penulisan makalah ini penulis bertujuan agar kita para mahasiswa dapat mengetahui bagaimana cara untuk lebih memahami sumber hukum islam seperti ijma’ dan qiyas.


Yang telah disepakati oleh para mujtahid yang dijadikan sebagai sumber hukum islam setelah Al-Qur’an dan Hadits.

BAB II, Pembahasan 
A. Pengertian Ijma' dan Qiyas.

Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. 

Sedangkan menurut istilah; kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. 

Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.

Pengertian qiyas. Secara Etimologi (bahasa) Qiyas menurut arti bahasa arab ialah penyamaan, membandingkan atau pengukuran, menyamakan sesuatu dengan yang lain.


Secara Terminologi (istilah) menurut ulama ushul Qiyas berarti menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadist dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.

Imam Syafi’i mendefinisikan qiyas sebagai upaya pencarian (ketetapanhukum) dengan berdasarkan dalil-dalil terhadap sesuatu yang pernah diinformasikan dalam al-Qur’an dan hadis.

Dalam kitab Ar-Risalah Imam Syafi’i juga berkata, “Qiyas adalah suatu yang dipecahkan berdasarkan dalil-dalil yang disesuaikan dengan informasi yang tersirat dalam al-Qur’an atau hadis, karena keduanya adalah kebenaran hakiki yang wajib dijadikan sumber

C. Macam-macam Ijma' dan Qiyas
Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:

Ijma’ Sharih Yaitu semua para mujtahid (pejuang islam) mengemukakan pendapat mereka masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qadha (memberi keputusan). 


Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya,dan kemudian menyepakati salah satunya.

Ijma’ Sukuti (diam). Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau pun menolak pendapat tersebut secara jelas. 

Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila telah memenuhi beberapa kriteria berikut :

Diamnya mujtahid itu betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau penolakan. 

Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukan adanya kesepakatan, yang dilakukan oleh sebagian mujtahid. Maka tidak dikatakan ijma’sukuti, melainkan ijma’ sharih. Begitu pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid, itupun bukan ijma’sukuti.

Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukaka hasil pendapatnya.

Permasalahan yag difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil dzani (dugaan). 

Sedangkan permasalahan yang tidak boleh di-ijtihadi atau yang bersumber dari dalil-dalil tidak qath’I (pasti), jika seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan yang lainnya diam. Hal itu tidak bisa disebut ijma’.

Contoh ijma’ sukuti. Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang diprakarsai oleh sahabat Utsman bin Affan r.a. 

Pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma’ Beliau tersebut dan diamnya para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut.

Selain macam-macam ijma’ diatas, terdapat pula beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa terjadinya, tempat terjadinya atau orang-orang yang melaksanakannya. Ijma’-ijma’ itu adalah :

Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.

Contoh ijma’ sahabat Ijma’ sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat seorang imam atau khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam menyangkut urusan agama dan dunia yang disepakati oleh para Sahabat Rasulullah.

Ijma’ khulafaur rasyidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bun Abi Thalib. 

Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa keempat orang itu hidup.

Contoh ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin Shalat tarawih adalah shalat dilakukan sesudah sholat isya’ sampai waktu fajar. 

Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat.

Umar bin Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bi Khattab ini disepakati oleh ijma’. Ijma’ ini tergolong ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin.

Ijma’ syaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dab Umar bin Kattab.

Ijma’ ahli madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama madinah.

Madzhab Maliki menjadikan ijma’ ahli madinah ini sebagai salah satu sumber hukum islam. Menurut pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa ijma’ mujthahid Madinah saja sudah merupakan kesimpulan ijma’.

Ijma’ ulama kuffah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama kuffah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma’ ulama kuffah sebagai salah satu sumber hukum islam.

Ijma’ dipandang tidak sah, kecuali bila mempunyai sandaran, sebab ijma’ bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Selain itu fatwa dalam masalah agama tanpa sandaran adalah tidak sah.

Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:

ljma`qath`i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i (pasti) diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.

ljma`Zhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu Zhanni (dugaan), masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.

Macam-macam Qiyas, Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya illat yang ada pada asal dan furu’, adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi menjadi tiga yaitu :

Qiyas Awlawi, yaitu bahwa ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih utama daripada ‘illat yang terdapat pada ashl (pokok). 

Misalnya mengqiyaskan hukum haram memukul kedua orang tua kepada hukum haram mengatakan “ah” yang terdapat dalam surat al-Isra’ ayat 23.

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. 

Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. “(Q.S. Al Isra’ : 23).

Karena alasan (‘illat) sama-sama menyakiti orang tua. Namun, tindakan memukul dalam hal ini cabang (far’u) lebih menyakiti orang tua sehingga hukumnya lebih berat dibandingkan dengan haram mengatakan “ah” pada ashl.

Qiyas Musawi, yaitu qiyas di mana illat yang terdapat pada cabang (far’u) sama bobotnya dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashl (pokok). 

Contohnya keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman Allah surah An-nisa’ : 10.

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا (10)

Yang artinya : Sebenarnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). 

Dari ayat diatas kita dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim tersebut.

Qiyas al-Adna, yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada furu’ (cabang) lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat pada ashl (pokok).

Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadhal (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). 

Dalam masalah kasus ini, illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan yang bisa dimakan dan ditakar. 

Namun ada segi yang lain dari illah gandum yang tidak terdapat pada apel, apa itu? Apel tidak makanan pokok. Oleh karenanya, illah yang ada pada apel lebih lemah dibandingkan dengan illah yang ada pada gandum yang menjadi makanan pokok.

Apabila dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya ‘illat yang menjadi landasan hukum, maka qiyas dapat dibagi menjadi dua macam :

Qiyas Jali, yaitu qiyas yang dinyatakan ‘illatnya secara tegas dalam Al Quran dan Sunnah atau tidak dinyatakan secara tegas dalam kedua sumber tersebut.

Tetapi berdasarkan penelitian kuat dugaan bahwa tidak ada perbedaan antara ashl dan cabang dari segi kesamaan ‘illatnya. 

Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan larangan mengucapkan “ah” sebagaimana dalam contoh qiyas awla di atas. Menurut Wahbah al-Zuhaili, qiyas jali ini meliputi apa yang disebut dengan qiyas awla dan qiyas musawi.

Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang illatnya di istinbatkan atau ditarik dari hukum ashl. 

Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan memakai benda tajam karena ada kesamaan ‘illat antara keduanya, yaitu kesengajaan dan permusuhan pada pembunuhan dengan benda tumpul sebagaimana terdapat pada pembunuhan dengan menggunakan benda tajam.

C. Kedudukan Ijma' dan Qiyas

Kebanyakan ulama’ mengetahui bahwa ijma’ merupakan sumber hukum yang kuat dalam menetapkan hukum islam dan menduduki tingkatan ketiga dalam sumber hukum islam. 

Kekuatan ijma’ sebagai sumber hukum islam ditunjukkan dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadist, diantaranya ialah: QS. An-Nisa: 59

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu”

Dengan demikian, pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternative dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang di dalam Al-Qur’an atau Al-Hadist tidak ada atau kurang jelas hukumnya.

Kedudukan Qiyas. Dalam peranannya pada agama islam, qiyas sebagai hujjah (sumber hukum) islam yang keempat setelah al-Qur’an, al-hadist, dan ijma’. 

Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa qiyas merupakan salah satu proses ijtihad, maka Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas. 

Oleh sebab itu, mujtahid harus mengetahui tentang qiyas dengan benar serta memungkinkan mujtahid untuk memilih hukum asal yang lebih dekat dengan objek. Mereka berpendapat demikian dengan berpegang kepada

Firman Allah SWT:

فَـاعْــتَــبِــيْــرُوْا يَـآ اُوْ لىِ اْلاَ بــْـصَارِ

"Hendaklah kamu mengambil I’tibar (contoh / ibarat / pelajaran). Hai orang-orang yang berfikiran". (Q.S. Al-Hasyr : 2)

Karena i’itibar artinya adalah "Qiyash-Syai’i-bisy-Syai’ (Membanding sesuatu dengan sesuatu yang lain).

D. Pentingnya Ijma' dan Qiyas dalam Agama Islam

Apabila kita tidak mendapatkan hukum dalam al-Qur’an maupun dalam as-Sunnah, maka kita tinjau apakah para ulama’ kaum muslimin telah ijma’. Apabila ternyata demikian, maka ijma’ mereka kita ambil dan kita laksanakan.

Para ulama bersepakat bahwa yang dijadikan landasan oleh ijma’ hanyalah Al-Qur’an dan Sunnah. 

Sementara itu untuk qiyas masih terdapat perbedaan pendapat. Dalam hal ini para fuqaha terbagi menjadi tiga pendapat:

Qiyas tidak dapat dijadikan landasan bagi ijma’, karena qiyas mempunyai beberapa segi yang bermacam-macam. 

Di segi lain kehujjahan qiyas bukanlah sesuatu yang disepakati, sehingga tidak mungkin qiyas dapat dijadikan landasan bagi ijma’.

Qiyas dengan segala bentuknya dapat dijadikan sandaran ijma’, karena qiyas adalah hujjah syar’iyyah yang didasarkan pada dalil-dalil nash. 

Apabila illat suatu qiyas disebutkan dalam nash atau sudah jelas sehingga tidak memerlukan pembahasan yang mendalam yang dapat menimbulkan perbedaan persepsi, maka qiyas dapat dijadikan landasan oleh ijma’.

Sebaliknya jika illat suatu qiyas tidak jelas atau tidak disebutkan dalam nash, maka qiyas tersebut tidak dapat dijadikan landasan ijma

BAB III, Penutup
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma’ dan qiyas adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil-dalil setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.

Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dan qiyas dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.

Adapun dari ijma’ dan qiyas itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum.

Serta dari ijma’ dan qiyas itu sendiri terdapat beberapa macam. Dari beberapa versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’ mengenai ijma’ dan qiyas itu sendiri.

B. Saran dan Kritikan

Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumber-sumber Islam (ijma’ dan qiyas) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat (masyarakat) adil dan makmur. Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dan konstruktif demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.

Daftar Pusaka:
- M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2007.
- Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. Bandung: PT. Alma’arif 1973.
- Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Usul Fiqih. Pustaka Amani, Jakarta 2003.
- Prof. Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih. Dina Utama, Semarang 1994m
- Prof. Dr. Rachmat Syafi’i. MA. Ilmu Usul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia 2007.
- Prof. Muhamad Abu Zahrah. Usul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan Pertama 1994., Cetakan Kesembilan 2005.
- Drs. H. A. Syafi’i Karim. Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, Cetakan Pertama 1997., Cetakan Kedua 2001
- Drs. Chaerul Uman Dkk. Ushul Fiqih 1. Pustaka Setia, Bandung 1998.