--> Fragmen Ilmiah : Kaidah | Deskripsi Singkat Blog di Sini

Himpunan Makalah, Skripsi, dan Jurnal

Tampilkan postingan dengan label Kaidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kaidah. Tampilkan semua postingan

21/08/19

Kaidah Pokok Keempat Qawaid Fiqhyiah, Adh-dhararu Yudzalu, Ini Penjelasan Lengkapnya

Kaidah Pokok Keempat Qawaid Fiqhyiah, Adh-dhararu Yudzalu, Ini Penjelasan Lengkapnya

MAKALAH QAWAID FIQHYIAH

Dari beberapa ijtihad yang dilakukan para ulama dapat diambil suatu kaidah-kaidah demi menyelesaikan masalah yang dihadapi, yang mana salah satu dari kaidahnya yaitu kaidah Adh-dharuriyah


Kaidah Pokok Keempat Qawaid Fiqhyiah, Adh-dhararu Yudzalu, Ini Penjelasan Lengkapnya


GUDANGMAKALAH165.BLOGSPOT.COM - BAB I, Pendahuluan. A. Latar Belakang.

Sebagai manusia khususnya umat muslim yang hidup bermasyarakat tentunya sangat banyak permasalahan baru yang timbul didalam kehidupan bahkan cara penyelesaiannya pun tidak terdapat didalam Al-Qur’an dan Hadits.

Sehingga membuat para ulama merasa terusik dan berijtihad untuk mencari solusinya.

Meskipun demikian, mereka berijtihad bukan hanya untuk mencari solusi tetapi mereka juga berpegang teguh pada dasar-dasar umum yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadist.

Sehinggga ijtihad yang mereka hasilnya tidak menyimpang dari ajaran yang diturunkan oleh Allah SWT melalui nabi Muhamad SAW.

Dari beberapa ijtihad yang dilakukan para ulama dapat diambil suatu kaidah-kaidah demi menyelesaikan masalah yang dihadapi, yang mana salah satu dari kaidahnya yaitu kaidah Adh-dharuriyah atau Adh-dhararu yudzalu.

Kaidah Adh-dharuriyah ini meruapakan kaidah asasiyyah yang mana membahas tentang kemudharatan yang harus dihilangkan akan tetapi jika seseorang itu didalam keadaan darurat maka yang haram pun diperbolehkan.

Akan tetapi, keadaan darurat dalam hal ini yang benar-benar berakibat fatal jika tidak diatasi dengan cara-cara yang membawa kemudharatan.

Oleh karena itu, dalam islam memperbolehkan untuk meninggalkan hal-hal yang wajib jika dalam keadaan yang sangat darurat.

Maka disini kami sebagai penulis mencoba untuk mengkaji tentang kaidah Adh-Dharuriyah beserta keturunannya.

Apa pengertiannya, dasar hukum yang melandasinya dan juga turunan-turunan yang terkait dengan kaidah Adh-dhararu yudzalu (Kemudharatn Dihilangkan).

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Kaidah Adh-dhararu yudzalu?
2. Apa Saja Macam-macam Kemudharatan?
3. Apa Landasan Kaidah Adh-dhararu yudzalu?
4. Bagaimana Penerapan Kaidah Adh-dhararu yudzalu?
5. Apa Kaidah Cabang Adh-dhararu yudzalu?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk Mengetahui Apa Pengertian Kaidah Adh-dhararu yudzalu?
2. Untuk Mengetahui Apa Saja Macam-macam Kemudharatan?
3. Untuk Mengetahui Apa Landasan Kaidah Adh-dhararu yudzalu?
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Penerapan Kaidah Adh-dhararu yudzalu?
5. Untuk Mengetahui Apa Kaidah Cabang Adh-dhararu yudzalu?

BAB II, Pembahasan. A. Pengertian Kaidah (Kemudharatn Dihilangkan). Mudharat secara etimologi adalah berasal dari kalimat "al-Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.

Al-dharar adalah membahayakan orang lain secara mutlak, sedangkan al-dhirar adalah membahayakan orang lain dengan cara yang tidak disyariatkan.

Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:

1. Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati.
2. Abu Bakar Al Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak makan”.
3. Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat”.
4. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
5. Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.

Batasan Kemudharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda. 

Dengan demikian darurat itu terkait dengan Dharuriah, bukan hajiah dan tahsaniah. Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait dengan hajiah dan tahsaniah.

Hal tersebut memungkinkan bahwa tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya. 

Misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.

Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.

B. Macam-macam Kemudharatan

Menurut Abdul Qodir Audah, seorang hakim dan pengacara terkenal dari Ikhwan al-Muslimin Mesir berpendapat, bahwa syarat-syarat keadaan darurat yang membolehkan orang melakukan perbuatan yang dilarang (haram) ada empat, ialah.

1. Dirinya atau orang lain dalam keadaan gawat yang dikhawatirkan dapat membahayakan nyawanya atau anggota-anggota tubuhnya;
2. Keadaan yang sudah serius, sehingga tidak bisa ditunda-tunda penangannya.  

Misalnya orang kelaparan belum boleh makan bangkai, kecuali ia telah berada dalam keadaan bahaya lapar yang gawat akibatnya;

3. Untuk mengatasi darurat itu tidak ada jalan keluar kecuali melakukan perbuatan pelanggaran/kejahatan. Jika masih bisa diatasi darurat itu dengan menempuh perbuatan yang mubah. 

Misalnya orang yang kelaparan yang masih bisa membeli makanan yang halal, maka tidak benarkan makan makanan yang tidak halal (haram) tersebut, karena hasil curian;
4. Keadaan darurat itu hanya boleh diatasi dengan mengambil seperlunya saja (seminimal mungkin untuk sekedar mempertahankan hidupnya).

Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. 

Sedangkan unsur-unsur darurat meliputi empat hal pula, yaitu kondisi darurat yang dihadapi; perbuatan yang dilakukan untuk mengatasi kondisi darurat; objek darurat, dan orang yang berada dalam kondisi darurat.

Dalam kaitan ini DR. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan lima klasifikasi, yaitu :
1. Darurat, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan kehidupan manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. 

Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seprti memakai sutra bagi laki-laki yang telanjang, dan sebagainya;

2. Hajiah, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. 

Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya, seseorang yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram; Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak.

Maka hukum diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. 

Misalnya, makan makanan pokok seprti beras, ikan, sayur- mayur, lauk pauk, dan sebagainya;

3. Fudu, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar untuk berlebih- lebihan, yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. 
4. Kondisi semacam ini dikenakan hukum Saddud Dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan kerusakan. 
Contoh kaidah diatas adalah bahwa darah para pejuang Islam ketika perang dianggap suci untuk dipakai shalat, tetapi bila mengenai orang lain dianggap najis, dan sebagainya.

C. Landasan Kaidah (Kemudharatn Dihilangkan) Kaidah Fiqh “Adh-Dhararu Yuzalu” menunjukkan bahwa kemadharatan itu telah terjadi atau akan terjadi, dengan demikian setiap kemadharatan memang harus dihilangkan. 

Dasar dari kaidah ini adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 56:

Artinya: dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). 

Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S al-a’raf : 56) dan Surat al-Qashash ayat 77:

Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. 

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S al-Qashash : 77)

Islam tidak menghendaki adanya kemudaratan bagi pemeluknya, maka harus dihilangkan jika ada. 

Kaedah ini sering diungkapakan melalui adits nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas::

Dari Abu Sa’id, Sa’ad bin Sinan Al Khudri radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak boleh melakukan perbuatan yang memudharatkan, dan tidak boleh membalas kemudharatan dengan cara yang salah” ( H.R. Imam Ahmad dan Ibnu Majah)

Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan dharar dan dhirar yaitu:
1. Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu ada mudarat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan “bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi orang lain memudaratkan”.
2. Ulama lain mengartikan al-dharar dengan “ membuat kemudaratan” dan al-dhirar diartikan membawa kemudaratan diluar ketentuan syari’ah.
D. Penerapan Kaidah (Kemudharatn Dihilangkan).
Beberapa contoh mengenai kaidah ad-dhararu yuzalu antara lain:
1. Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
2. Larangan menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk menghilangkan kemudaratan.
3. Jika seseorang membuat pekerjaan yang menyebabkan kerusakan dinding rumah tetangganya, maka pekerjaan ini tidak diperbolehkan mengingat bahaya yang begitu jelas di dalamnya.
4. Jika seseorang membangun rumah disamping pabrik telah berdiri sebelumnya, maka ia tidak berhak menuntut penutupan pabrik karena ada efek negatif yang diterima dirinya. Hal itu dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah bahaya dengan keinginan dan pilihannya sendiri.

Kaidah Hukum Hajr, Khiyar Aib, Khiyar Ghabn, Tas’ir, Dharibah, dan Syuf’ah
Penerapan Kaidah “Adh-Dhararu Yuzalu” dalam beberapa hukum antara lain:
1.nHukum pencegahan (Hajr)
Hukum Islam telah membuat batasan-batasan terhadap akad dari suatu pihak yang memiliki karakter membahayakan orang lain dan transaksi yang kemungkinkan besar membahayakan orang lain. 

Tindakan mencegah seseorang dari transaksi tersebut termasuk mencegah dari menyia-nyiakan hartanya disebut hajr. Alasan-alasan penting dari pencegahan tersebut adalah : 
- Safah atau pemborosan. Hal ini merujuk pada penyalahgunaan harta yang berlawanan dengan akal dan syariah dengan cara menghabiskannya tanpa tujuan yang benar atau menggunakan harta secara berlebihan di luar kebutuhan.
- Orang yang memiliki penyakit yang mematikan dilarang melakukan transaksi atas seluruh harta yang dimilikinya karena dia harus memikirkan kepentingan ahli warisnya. Sebagai contoh transaksi searah yang dilakukannya adalah memberikan donasi, waqaf, infaq dan sedekah yang hanya dibatasi pada sepertiga dari hartanya.
- Orang yang telah dinyatakan bangkrut oleh pengadilan maka terlarang baginya untuk mempergunakan hartanya karena hartanya itu adalah untuk melindungi hak kreditor (pemberi piutang) dan mencegah membuat transaksi yang membahayakan kreditor.
2. Melanjutkan kontrak bagi hasil sampai masa panen tiba Kontrak tersebut tetap berlanjut walau salah satu atau kedua belah pihak meninggal dunia. Hal ini untuk mencegah terjadi kemudaratan.

Untuk mencegah atau menghilangkan kemudharatan ada beberapa ketentuan yaitu :
- Khiyar al-‘ayb (hak untuk membatalkan kontrak karena barangnya cacat)
- Khiyar al-gabn (hak untuk membatalkan kontrak karena penipuan).

Penghentian kontrak karena beberapa keadaan.
Kebijakan penetapan harga (Tas’ir)
Tas’ir menurut bahasa adalah kesepakatan atas suatu harga. 
Adapun menurut pengertian syariah adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu, dan mereka dilarang menambah atas harga itu agar mereka tidak melonjakkan harga, atau mengurangi dari harga itu agar mereka tidak merugikan lainnya. 

Artinya, mereka dilarang menambah atau mengurangi dari harga itu demi kemaslahatan masyakarat (Imam Taqiyuddin An-Nabhani).
4. Dharibah (Pajak)
Dharibah atau pajak adalah harta yang diwajibkan Allah atas kaum muslimin dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka serta pihak-pihak yang diwajibkan atas mereka, namun Baitul mal tidak dapat memenuhi hal tersebut.

Kebutuhan-kebutuhan tersebut antara lain untuk:
- Pembiayaan untuk jihad
- Pembiayaan orang-orang fakir, miskin, dan ibnu sabil.
- Pembiayaan untuk kemaslahatan kaum muslimin, memberikan layanan umum, serta hal-hal yang sangat vital bagi kaum muslimin.

Diwajibkan dharibah atas seorang muslimin yang telah mampu memenuhi kebutuhan pokok dan sekundernya, sesuai standar kebutuhan pada saat itu. 

Dharibah diwajibkan atas kelebihan harta tersebut, namun sebatas terpenuhinya kebutuhan Baitul mal untuk mampu memenuhi kebutuhan seperti yang dijelaskan di atas.

Negara tidak boleh mewajibkan pajak tidak langsung, pajak bumi dan bangunan, pajak jual beli (muamalat) dan sebagainya sebagaimana diterapkan dalam sistem kapitalis.

5. Syuf’ah (Penggabungan)
Menurut bahasa, Syuf’ah berarti “penggabungan”, yakni penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke pihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota perserikatan (syarikah). 

Dalam kerangka inilah, syuf’ah berarti pemilikan barang yang diperkongsikan (al masyfu’) oleh pihak yang bergabung pada suatu persekutuan milik secara paksa dari pihak yang membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang sudah dilakukan. 

Dengan istilah lain dapat pula dikatakan bahwa syuf’ah adalah pemilikan harta perserikatan yang telah dijual oleh salah satu pihak ke pihak lain yang tidak termasuk dalam persekutuan itu serta tidak pula seizin anggota persekutuan dengan cara mengganti uang penjual ke pihak pembeli. 

Ilustrasi: A dan B meiliki sebuah rumah secara bersama. Tanpa sepengetahuan dan seizin A, B menjual haknya kepada C. Dalam keadaan demikian, A mempunyai hak syuf’ah dengan secara paksa mengambil rumah itu dari C melalui cara ganti rugi sebesar penjualan yang dilakukan B kepada C. 

Jadi pengambilan harta secara paksa atas harta perkongsian yang telah dijual kepada pihak luar tanpa kerelaan atau persetujuan pihak pihak yang berserikat dengan cara menebus harga jual, itulah yang dimaksud syuf’ah.

E. Kaidah Cabang
Terdapat beberapa kaidah penting, 2 diantaranya adalah:
1. Menghilangkan mudharat yang berat dengan mudharat yang ringan
  اذا تعارض مفسدتان روعى اعظمهما ضررا بارتكاب اخفِّهما
“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih yang lebih ringan madharatnya” (Abdul Hamid Hakim, 1956:82).

Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua mudarat artinya, apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya yang salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar dari pada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. 

Namun, apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan. Misalnya penggusuran tenda pemprotes/pengungsi di jalan umum/jalan tol.
2. Menahan mudahrat yang khusus dari mudharat yang umum
الحاجة العا مة اوالخاصة تنزل منزلة الضرورة
“Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempat Dharar” (Wahbah az-Zuhaili, 1982:261).

Kaidah diatas menunjukkkan bahwa keringanan itu tidak hanya berlaku bagi kemadharatan, baik kebutuhan umum maupun khusus, sehingga dapat dikatakan bahwa keringanan itu diperbolehkan karena kebutuhan sebagaimana kebolehan keringanan atas kemadharatan, karena itu hajat itu hampir sama kedudukannya dengan mudharat.

Misalnya, pada dasarnya transaksi jual beli diharuskan terpenuhi semua rukun dan syaratnya, namun untuk mempermudah transaksi tersebut maka diperbolehkan akad salam (pesanan) walaupun pada dasarnya hal itu tidak mengikuti hukum asal.

BAB III, Penutup. A. Kesimpulan
Arti dari kaidah “ laa dharaara wa laa dhiraara “ adalah Tidak boleh ada penderitaan dari penindasan, baik oleh dirinya maupun orang lain. 

Kalimat " Dharar" yang berarti mendatangkan kesulitan dan kerusakan kepada pihak lain segala hal yang mengakibatkan kemudharatan, penderitaan, kesulitan itu tidak boleh ada. 

Maka upayanya bagaimana untuk mencegah kemunculannya, ketika kenyataannya telah muncul maka hal tersebut harus dihilangkan. 

Dan setelahnya harus dihindari keberulangannya. Dan dasar hukum yang melandasi kaidah ini yang terdapat dalam firman Allah surat Al-Qashash ayat 77 dan menurut hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah ra ditakhrijkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas yang berbunyi “Tidak boleh membuat kemudharatan dan membalas kemudharatan”.

Dan turunan yang dapat diambil dari kaidah ini adalah Kemudharatan yang terjadi tidak dapat dianggap sesuatu yang telah lama adanya, Kemudharatan itu harus dihindarkan sedapat mungkin, Kemudharatan yang lebih berat dapat dihilangkan dengan mengerjakan kemudharatan yang lebih ringan, Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding, Kerusakan tidak dihilangkan dengan yang merusak, Keterpaksaan dapat memperbolehkan hal-hal yang dilarang, dan Menolak bahaya didahulukan dari pada menarik keuntungan.