--> MAKALAH ULUMUL HADIST HADIST MAUDHU’ | Fragmen Ilmiah

Himpunan Makalah, Skripsi, dan Jurnal

Total Tayangan Halaman

11/11/19

MAKALAH ULUMUL HADIST HADIST MAUDHU’

| 11/11/19

MAKALAH ULUMUL HADISTHADIST MAUDHU’

Hasil gambar untuk HADITS MAUDHU’



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Masalah hadits maudhu berawal dari pertentangan politik yang terjadi pada masa khalifah Ali Bin Abi Thalib yang berujung pada pembuatan hadits-hadits palsu yang tujuannya adalah untuk mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang tertentu. Akibat perpecahan politik ini, hampir setiap golongan membuat hadits maudhu untuk memperkuat golongannya masing-masing.
Ulumul hadits merupakan suatu ilmu pengetahuan yang komplek dan sangat menarik untuk diperbincangkan, salah satuanya adalah mengenai hadits maudhu yang menimbulkan kontrofersi dalam keberadaannya. Suatu pihak menanggapnya dengan apa adanya, ada juga yang menanggapinya dengan beberapa pertimbangan dan catatan, bahkan ada pihak yang menolaknya secara langsung.
Kemudian kami sebagai Mahasiswa yang dituntut untuk mengkaji dan memahami polemik problematika umat yang salah satunya ditimbulkan dari adanya hadits maudhu.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Hadist Maudhu’?
2.      Bagaimana sejarah kemunculan Hadist Maudhu’?
3.      Apa latar belakang Hadist Maudu’?
4.      Apa Kakteristik Kepalsuan Hadist Maudhu’ dan contohnya?
C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui Apa pengertian Hadist Maudhu’?
2.      Untuk mengetahui Bagaimana sejarah kemunculan Hadist Maudhu’?
3.      Untuk mengetahui Apa latar belakang Hadist Maudu’?
4.      Untuk mengetahui Apa Kakteristik Kepalsuan Hadist Maudhu’ dan contohnya?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadist Maudhu’
Untuk mencapai suatu pemahaman yang sesuai dengan konteks Ilmu Hadis. Maka memahami pengertian Hadis Mauḍū’ dapat dicapai melalui pendekatan etimologis (kebahasaan) dan terminologis (keistilahan). Secara etimologis, kata مَوْضُوع berasal dari kata وضع - يضع . Kata وضع , sebagaimana dikemukakan Dr. Muhammad Ajaj Al-Khatib (2007:275), mengandung beberapa makna, antara lain: الإِسْقَاط (menggugurkan), التَرْكُ (meninggalkan),وَ الاِخْتِلَاقُ  الاِفْتِرَاءُ (mengada-ada dan membuat-buat). Sementara itu, Dr. Mohamad Najib (2001:38), merujuk keterangan para ulama, menguraikan konotasi makna lainnya selain dari makna-makna tersebut, yakni, الحِطَة  (menurunkan/ merendahkan derajat) dan الإِلصَاقُ (melekatkan).[1]
Makna-makna tersebut sangat relevan untuk memaknai Hadis Mauḍū’.
1.      Dikatakan الإِسْقَاط, karena ia tidak dapat dijadikan dasar hukum.
2.      Dikatakan التَرْكُ, karena ia ditinggalkan, tidak dapat dijadikan hujjah.
3.      Dikatakan وَ الاِخْتِلَاقُ  الاِفْتِرَاءُ, karena ia dibuat-buat oleh rawinya.
4.      Dikatakan الحِطَة, karena kedudukannya yang rendah.
5.      Dikatakan الإِلصَاقُ, karena ia dilekatkan kepada Nabi Saw. padahal beliau tidak mensabdakannya.
Adapun secara terminologis, dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli Hadis, diantaranya ialah:
ما نسب إلى الرّسول صلّى الله عليه وسلّم اختلاقا و كذبا ممّا لم يقله أو يفعله أو يقرّه
Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasul Saw. dengan cara mengada-ngada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, tidak beliau perbuat, dan tidak beliau taqrir-kan.
Dari pengertian diatas, unsur penting yang merepresentasikan kedudukannya sebagai suatu Hadis yang palsu ialah  اختلاقا (dibuat-buat) dan كذبا (dusta). Dengan demikian setiap Hadis yang dibuat-buat dan dinisbahkan kepada Nabi Saw. secara dusta, maka itulah Hadis Mauḍū’.
Namun persoalan muncul mengenai batasan apakah mesti ada faktor kesengajaan atau tidak. Sebab dalam ranah Ilmu Hadis ada terma lain yang bentuknya mirip dengan Hadis Mauḍū’, misalnya Hadis Bāṭil. 
Persoalan lainnya ialah adanya silang pendapat dikalangan ulama mengenai status Hadis Mauḍū’ itu sendiri, apakah layak untuk dikategorikan sebagai Hadis atau tidak. Dalam hal ini sebagian ulama –diantaranya Ibn Ṣalaḥ- menganggap bahwa Hadis Mauḍū’ adalah Hadis Ḍa’īf yang ke-ḍa’īf-annya sangat rendah. Sementara sebagian yang lain –diantaranya Ibn Ḥajar- tidak menganggap Hadis Mauḍū’ sebagai Hadis. Namun jumhur muḥaddiṡīn menganggap Hadis Mauḍū’ sebagai bagian dari Hadis Ḍa’īf.

B.     Sejarah Kemunculan Hadist Maudhu’
Masuknya secara massal penganut agama lain kedalam islam, yang merupakan dari keberhasilan dakwah islamiyah keseluruh pelosok dunia, secara tidak langsung menjadi faktor munculnya hadits-hadits palsu. Kita tidak bisa menafikan bahwa masuknya mereka keislam,disamping ada yang benar-benar ikhlas, ada juga segolongan mereka yang mennganut agama islam hanya karena terpaksa tnduk pada kekuasaan islam pada waktu itu. Golomngan ini kita kenal dengan kaum Munafik
Golongan tersebut senantiasa menyimpan dendam dan dengki terhadap islah dan senantiasa menunggu peluang yang tepat untuk merusak dan menimbulkan keraguan dalam hati-hati orang-orang islam. Maka datanglah waktu yang ditunggu-tunggu oleh mereka, yaitu pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Golongan inilah yang mulai menaburkan benih-benih fitnah yang pertama. salah seorang tokoh yang berperan dalam upaya menghancurkan Islam pada masa Utsman bin Affan adalah Abdullah bin Saba’, seorang yahudi  yang menyatakan telah memeluk islam.
Dengan bertopengkan pembelaan kepada saydina Ali dan Ahli Bait, ia menabur fitnah untuk fitnah kepada orang ramai. Ia menyatakan bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah dari pada Utsman, bahkan lebih berhak daripada Abu Bakar dan Umar. Halitu karena, menurut Abdullah bin Saba’, sesuai dengan wasiat dari Nabi Saw. Lalu, untuk mendukung propoganda tersebut, ia membuat suatu haditds maudhu’ yang artinya “ setiap Nabi ada penerima wasiatnya dan penerima mwasiatku dalahali”.
Namun penyebaran hadits Maudhu’ pada masa ini belum begitu meluas karena masih banyak sahabat utama yang masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin akan suatu kepalsuan suatu hadits. Setelah zaman shahabat berlalu, penelitian terhadap hadits-hadits Nabi SAW, mulai melemah. Ini menyebabkan bayaknya periwayatan dan penyebaran hadits secara tidak langsung telah menyebabkan terjadunya pendustaan terhadap Rasulullah dan sebagian shahabat. Ditambah lagi dengan adanya konflik politik antara umat Islam yang semakin hebat, telah membuka peluang kepada golongan tertentu yang memcoba bersengkongkol dengan penguasa untuk memalsukan hadits.[2]

C.    Latar Belakang Kemunculan Hadist Maudhu’
Terjadi silang pendapat dikalangan ahli terkait masa awal kemunculan Hadis Mauḍū’; Satu pendapat mengatakan bahwa pemalsuan Hadis telah terjadi sejak zaman Rasulullah Saw. Adapula yang berpendapat bahwa pemalsuan Hadis mulai terjadi pada tahun 40 Hijriah. Sedangkan pendapat lainnya menyatakan bahwa pemalsuan Hadis baru terjadi pada akhir abad kesatu Hijriah.[3]
Diantara tokoh yang meyakini munculnya Hadis Mauḍū’ sejak zaman Rasulullah Saw. adalah Aḥmad Amin. Ia berpandangan bahwa ungkapan Hadis من كذب عليّ متعمّدا... (Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja…) yang disabdakan oleh Rasulullah Saw. merupakan konsekuensi logis bahwa Hadis telah dipalsukan sejak zaman beliau. Dalam ungkapan lain telah terjadi kebohongan atas nama Rasulullah Saw. pada saat itu, sehingga beliau memberikan peringatan dan ancaman bagi orang-orang yang berdusta atas namanya. Akan tetapi, pendapat ini dianggap tidak memiliki alasan historis, apalagi pemalsuan Hadis pada zaman Rasulullah Saw. tidak termuat dalam kitab-kitab standar terkait dengan asbāb al-wurud.
Dalam hal ini, Ajaj Al-Khatib menafikan terjadinya pemalsuan Hadis sejak zaman Rasulullah Saw. Menurutnya hal itu tidak mungkin terjadi, apalagi jika dilakukan oleh para sahabat, sangat tidak logis. Ia menggambarkan bagaimana perjuangan para sahabat mendampingi Rasulullah Saw., berkorban dengan harta dan jiwa demi tegaknya agama Allah Swt., serta menghadapi berbagai siksaan. Disamping itu para sahabat hidup dibawah bimbingan Rasulullah Saw. dan mereka menjalani hidup dengan penuh ketaqwaan dan wara. Sehingga tidak mungkin jika ada salah seorang diantara mereka yang melakukan kedustaan atas nama Rasulullah Saw. Dalam ungkapan lain, anggapan bahwa ada diantara sahabat yang melakukan pemalsuan Hadis sangat kontradiktif dengan konsep "الصحابة جميعهم عدول". Selain menafikan partisipasi sahabat dalam pemalsuan Hadis, ia juga menafikan keikutsertaan para pembesar dan ulama dari kalangan tabi’in. Karena pada masa tabi’in pemalsuan Hadis relatif lebih sedikit dan itupun dilakukan oleh kalangan jahil yang terdorong oleh perbedaan politik maupun aliran.
Sementara pendapat lainnya menyebutkan bahwa Hadis Mauḍū’ telah muncul sejak masa kekhalifahan ‘Uṡmān bin ‘Affān. Diantara yang berpendapat demikian adalah Akram al-Umari, Abū Syuhbah, dan Abū Zahu.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh para ahli, setidaknya dapat dideskripsikan latar belakang dan motif kemunculan Hadis Mauḍū’.
Pemalsuan Hadis tidak hanya dilakukan oleh orang­orang Islam, akan tetapi juga oleh orang­orang non­islam yang berusaha mencemarkan Hadis sebagai sumber ajaran islam. Ada beberapa faktor penyebab yang mendorong orang­orang membuat hadis palsu, diantaranya:
1.     Pertentangan politik dalam soal pemilihan khalifah
2.     Adanya kesengajaan dari pihak lain untuk merusak Ajaran islam
3.     Mempertahankan Madzhab fiqih dan masalah kalam
4.     Menarik simpati kaum Awam
5.     Membangkitkan gairah beribadah untuk mendekatkan diri kepada Alla
6.     Menjilat atau mencari muka kepada penguasa
D.    Karakteristik Kepalsuan Hadist Maudhu’ serta contohmya
Para ulama’ menentukan bahwa ciri­ciri ke­Maudhu’an suatu Hadis terdapat pada sanad dan matan.
1.       Ciri­ciri yang terdapat pada sanad[4]
a.Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada seorang rawi yang terpercaya yang meriwayatkan hadis dari dia.
b.    Pengakuan dari sipembuat sendiri.
c.Kenyataan sejarah, mereka tidak mungkin bertemu.
d.    Keadaan rawi dan faktor­faktor yang mendorongnya membuat hadis maudhu’.
Misalnya seperti yang dilakukan oleh Giyats bin Ibrahim, kala ia berkunjung kerumah Al- Mahdi yang sedang bermain dengan burung merpati yang berkata:
e.                   لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ أَوْ جَنَاحٍ
“Tidak sah perlombaan itu, selain mengadu anak panah, mengadu unta, mengadu kuda, atau mengadu burung
Ia menambahkan kata, “au janahin” (atau mengadu burung), untuk menyenagkan Al-Mahdi, lalu Al-Mahdi memberinya sepuluh ribu dirham. Setelah ia berpaling, sang Amir berkata: “ aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta, atas Nama Rasulullah SAW, lalu ia memerintahkan tentang kemaudhu’an suatu Hadits.
2.       Ciri­ciri yang terdapat pada Matan
a.     Kerancuan redaksi atau makna hadis
b.     Maknanya rusak
c.     Matannya bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertentangan dengan al­Quran atau hadis yang lebih kuat atau ijma’
d.    Hadis yang bertentangan dengan kenyataan sejarah yang terjadi dimasa Rasul.
Hadis yang terlalu berlebih­lebihkan salah satu sahabat.
Karena berlawanan dengan akal sehat, seperti Hadits:
اَنَّ سَفِيْنَةَ نَوْحٍ بِا لْبَيْتِ سَبْتِ سَبْعًا وَصَلَّتْ بِالْمَقَامِ رَكْعَتَيْ
Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf tujuh kali keliling ka’bah dan bersembahyang dimaqam Ibrahim dua raka’at.

Karena berlawanan dengan hukum akhlak yang umum, atau menyalahi kenyataan, seperti Hadits:
لاَيُوْلَدُ بَعْدَ الْمِائَةِ مَوْلُوْدٌ لِلّهِ فِيْهِ حَاجَةٌ
Tiada dilahirkan seorang anak sesudah tahun seratus, yang ada padanya keperluan bagi Allah.
Karena bertentangan dengan ilmu kedokteran, seperti hadits:
اَلْبَاذِنْجَانُ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
Buah terong itu penawar bagi penyakit.
Karena menyalahi undang-undang (ketentuan-ketentuan) yang ditetapkan akal kepada Allah.  Akal menetapkan bahwa Allah suci dari serupa dengan makhluqnya. Oleh karena itu, kita menghukumi palsu hadits berikut ini:
إِنَّ الَّلهَ خَلَقَ الْفَرَسَ فَأَجْرَاهَا فَعَرِقَتْ فَخَلَقَ نَفْسَهَا مِنْهَا
Sesungguhnya Allah menjadikan kuda betina, lalu ia memacukannya, maka berpeluhlah kuda itu, lalu tuhan menjadikan dirinya dari kuda itu.
Karena menyalahi hukum-hukum Allah dalam menciptakan alam, seperti hadits yang menerangkan bahwa ‘Auj ibnu Unuq mempunyai panjang tigab ratus hasta. Ketika Nuh menakutinya dengan air bah, ia berkata: “ketika topan terjadi, air hanya sampai ketumitnya saja. Kalu mau makan, ia memasukan tangannya kedalam laut, lalu  membakar ikan yang diambilnya kepanas matahari yang tidak seberapa jauh dari ujung tangannya.
Karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal sama sekali, seperti hadits:
اَلدِّيْكُ الْأَبْيَضُ حّبِيْبِيْ وحَبِيْبُ حَبِيْبِيْ
Ayam putih kekasihku dan kekasih dari kekasihku jibril.
Bertentangan dengan keterangan Al-Qur’an, Hadits mutawatir, dan kaidah-kaidah kulliyah. Seperti Hadits:
وَلَدُ الزِّنَا لاَيَدْ خُلُ الجَنَّةَ إِلَى سّبْعَةِ أبْنَاءٍ
Anak zina itu tidak dpat masuk syurga sampai tujuh turunan.
Makna hadits diatas bertentangan dengan kandungan Q. S. Al-An’am : 164, yaitu:
وَلاَتَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَأُخْرَى
Dan seorang yang berdosa tidak akanmemikul dosa orang lain.
Ayat diatas menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orng lain. Seorang anak sekali pun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat kecil, atau siksa yang sangat besar terhadap perbuatan yang kecil. Contohnya:
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَسَمَّاهُ مُحَمَّدًا، كَانَ هُوَ وَمَوْلُوْدُهُ فِى الْجَنَّةِ
Barangsiapa mengucapkan tahlil (la ilaha illallh) maka Allah menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan, dan setiap lisan yang mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya[5].





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Demikianlah uraian ringkas mengenai Hadis Mauḍū’. Dari uraian tersebut, maka dapatlah dibedakan antara Hadis yang benar-benar disabdakan oleh Nabi Saw. dengan Hadis yang hanya dilekatkan kepada beliau tanpa beliau mensabdakannya. Karena sifatnya yang dibuat-buat dan dilekatkan kepada Nabi Saw. maka tidaklah berlebihan jika disebut sebagai Hadis palsu.
Apabila sekelompok cendikiawan bersikeras melontarkan tuduhan-tuduhan terhadap Islam –dalam hal ini terhadap Hadis- yang didasari oleh keraguan terhadapnya, maka untuk menjawab keraguan tersebut, para ulama telah memberikan rumusan dengan cara apa dan bagaimana Hadis itu ditransmisikan. Artinya, benar dan tidaknya suatu Hadis berasal dari Nabi Saw. dapat diukur melalui mekanisme periwayatannya.
Temuan para ulama terhadap eksistensi Hadis-hadis palsu dan penolakan atasnya sebagai norma agama, menegaskan kepada umat muslim maupun non-muslim bahwasanya secara umum umat Islam tidak berpandangan bahwa seluruh Hadis itu saḥīḥ
B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwasannya dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu kami mengaharap saran dan kritik dari pembaca mengenai makalah yang kami susun ini agar menjadikan kami lebih baik di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kami khususnya dan pembaca padaa umumnya. Kami mohon maaf apabila terdapat salah tulisan atau salah kata dalam makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA


https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/ pada 11 November 2019

https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/56116108/makalah_hadist_palsu.docx

https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents

https://api11o.ilovepdf.com/v1/download/

https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/56116108/makalah_hadist_palsu.docx




[1] Di akses di : https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/ pada 11 November 2019
[2] Di akses di : https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/56116108/makalah_hadist_palsu.docx pada 11 November 2019
  [3] Di akses di : https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents pada 11 November 2019
[4] Di akses di : https://api11o.ilovepdf.com/v1/download/ pada 11 November 2019
[5] Di akses di : https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/56116108/makalah_hadist_palsu.docx pada 11 November 2019

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar