MAKALAH“ STUDI ISLAM DI INDONESIA
(PEMKIRAN PARA TOKOH DI INDONESIA)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak awal mula, Islam
sangat mendorong umatnya untuk menggali ilmu dengan melakukan pengkajian dan
pengamatan terhadap fenomena alam yang merupakan tanda kekuasaan Allah SWT.
Dengan mengamati dan memperhatikan berbagai fenomena alam yang terbentang luas
itu, niscaya manusia akan memahami eksistensi dirinya sebagai makhluk dan Allah
SWT sebagai Sang Khalik. Dalam kontek itulah maka setiap muslim diwajibkan
untuk mencari Ilmu sejak lahir sampai meninggal.
Memahami pendidikan
Islam tidak semudah mengurai kata “Islam” dari kata “pendidikan”, karena selain
sebagai predikat, Islam juga merupakan satu subtansi dan subjek penting yang
cukup komplek. Karenanya, untuk memahami pendidikan Islam berarti kita harus
melihat aspek utama missi agama Islam yang diturunkan kepada umat manusia dari
sisi pedagogis. Sesungguhnya merefleksikan nilai-nilai pendidikan yang mampu
membimbing dan mengarahkan manusia sehingga menjadi manusia sempurna. Islam
sebagai agama universal telah memberikan pedoman hidup bagi manusia menuju
menuju kehidupan bahagia, yang pencapaiannya bergantung pada pendidikan.
Pendidikan merupakan kunci penting untuk membuka jalan kehidupan manusia.[1]
Untuk dapat mengenal
pendidikan secara lebih mendalam perlu ditelaah pandangan-pandangan orang-orang
yang berdedikasi dalam dunia pedidikan. Dalam makalah ini akan dibahas tentang
pendidikan Islam dalam pemikiran beberapa tokoh yang terkenal di
Indonesia. Semoga mampu memberikan kesegaran dalam dahaga kita akan wacana
tentang pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari pendidikan Islam
?
2.
Bagaimana pemikiran
para ahli tentang pendidikan ?
C. Tujuan
1.
Mengetahui pengertian pendidikan Islam.
2.
Mengetahui pemikiran para ahli tentang
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan
Islam
Hakekat
pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar
mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan
dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan
perkembangannya.[2]
Al-Qur'an dan Sunnah Rasul
merupakan sumber ajaran Islam, maka pendidikan Islam pada hakekatnya tidak
boleh lepas dari kedua sumber tersebut. Dalam kedua sumber tersebut pendidikan
lebih dikenal dengan istilah-istilah yang pengertiannya terkait dengan
pendidikan, yaitu at-Tarbiyah. Pendidikan atau at-Tarbiyah menurut
pandangan Islam adalah bagian dari tugas manusia sebagai Khalifah Allah di
bumi. Allah adalah Rabb al-’Alamin juga Rabb al-Nas. Tuhan adalah “yang
mendidik makhluk alamiah dan juga yang mendidik manusia.”[3]
Jadi, jelaslah bahwa
proses pendidikan merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi
hidup manusia yang berupa kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan belajar,
sehingga terjadilah perubahan di dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk
individual dan sosial serta dalam hubungannya dengan alam sekitar di mana ia
hidup. Proses tersebut harus senantiasa berada di dalam nilai-nilai
Islami, yaitu nilai-nilai yang melahirkan norma-norma syari’ah yang sesuai
dengan pendidikan Islam.
B. Pemikiran Pendidikan Menurut Para Ahli
1. Zainuddin Labay
Zainuddin Labay al-Yunusi, dilahirkan di Bukit Surungan, Padang
Panjang pada tahun 1980. Menurut Deliar Noer, Zainuddin Labay dapat disebut
seorang otodidak yang menjadi “orang” dengan tenaga sendiri.[4] Ia
tidak pernah memperoleh pendidikan yang sistematis. Ia hanya belajar dua tahun
di sekolah negeri dan dua tahun lagi belajar agama pada Syaikh Muhammad
Yunus, ayahnya. Karena ayahnya seorang ulama’, dia belajar agama
di Surau ayahnya dan beberapa Surau lainnya. Namun, sumber lain
menyebutkan bahwa Labay ketika kecil masuk sekolah gubernemen selama 4 tahun.[5]
Dalam bidang pendidikan Labay termasuk seorang yang
mula-mula memperkenalkan sistem sekolah yang baru. Dengan mernbuka sekolah
guru Diniyah (1915)[6] ia
mempergunakan sistem berkelas dengan kurikulurn yang lebih teratur yang
mencakup juga pengetahuan umum seperti bahasa, matematika, sejarah, ilmu
bumi, di samping pelajaran agama. Ia juga mengorganisir sebuab klub musik
untuk murid-muridnya.
Pada tahun 1916 ketika dia masih menjadi murid dan membantu
mengajar H. Abdul Karim Amrullah di Jembatan Besi, Zainuddin Labay mendirikan
Madrasah Diniyah, yang merupakan madrasah sore untuk pendidikan agama yang
diorganisasikan berdasarkan sistem klasikal dan tidak mengikuti sistem
pengajaran tradisional yang individual. Begitu pula susunan pelajarannya
berbeda dengan yang lain, yaitu dimulai dengan pengetahuan dasar bahasa Arab
sebelum mulai membaca al-Qur’an. Di samping pendidikan agama, juga diberikan
pendidikan umum, terutama sejarah dan ilmu bumi. Dalam kelas tertinggi mata
pelajaran tersebut menggunakan buku-buku bahasa Arab dan dengan begitu mata
pelajaran ini lebih bersifat ekstra bahasa Arab daripada ilmu bumi atau
sejarah.[7]
Dari uraian di atas, dapat diambil beberapa hal-hal sebagai
berikut. Pertama, ia berjasa dalam mengembangkan bahasa Arab baik sebagai
bahasa pengantar, maupun bahasa yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari.
Kedua, ia telah memperkenalkan model pendidikan yang masa itu belum lazim
digunakan, yaitu model klasikal. Ketiga, ia telah memperkenalkan
pengetahuan modern ke dalarn kurikulum pendidikan Islam.
2. KH. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan dilahirkan pada tahun 1868 sebagai
anak salah seorang dari 12 khatib Masjid Agung Yogyakarta. Sumber lain
menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 dengan
nama Muhammad Darwis, anak dari seorang KH. Abubakar bin Kyai Sulaiman. Ibunya
adalah anak Haji Ibrahim.[8] Setelah
ia menyelesaikan pendidikan dasarnya dalam nahwu, fiqih dan tafsir di Yogya dan
sekitarnya, ia pergi ke Mekkah tahun 1890 di mana ia belajar selama setahun.
Salah seorang gurunya ialah Syaikh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903 ia
mengunjungi kembali tanah suci di mana ia menetap di sana selama dua tahun.[9]
Pada tanggal 18 November 1912 Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
Muhammadiyah bersama teman-temannya. Tujuan Muhammadiyah terutama untuk
mendalami agama Islam di kalangan anggota sendiri dan menyebarkan ajaran agama
Islam di luar anggotanya. Pandangan Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan dapat
dilihat pada kegiatan pendidikan yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah. Dalam
bidang pendidikan, Muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkan
dengan sistem pendidikan gubernemen. Di samping sekolah desa di kampungnya
sendiri, Ahmad Dahlan juga membuka sekolah yang sama di kampung Yogya yang
lain.[10]
Di samping mendirikan sekolah yang mengikuti model gubernemen,
Muhammadiyah dalam waktu singkat juga mendirikan sekolah yang lebih bersifat
agama, usaha tersebut dapat dianggap sebagai realisasi dari rencana Sarekat
Islam yang semenjak tahun 1912 berusaha mendirikan sekolah pendidikan agama,
yang dapat menyaingi sekolah pendidikan gubernemen. Pada tanggal 8 Desember
1921, Muhammadiyah sudah dapat mendirikan Pondok Muhammadiyah sebagai sekolah
pendidikan guru agama.[11]
Muhammadiyah berhasil melanjutkan model pembaharuan pendidikan
disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa ia menghadapi lingkungan sosial yang
terbatas pada pegawai, guru maupun pedagang di kota. Kelompok menengah di kota
dalam banyak hal merupakan latar belakang sosial yang dominan dalam
Muhammadiyah hingga sekarang ini. Kelompok ini juga mementingkan pendidikan
model Barat. Oleh karena itu, Muhammadiyah dengan menyediakan model pendidikan
Barat ditambah dengan pendidikan agama, mendapatkan hasil yang baik dalam
kalangan ini.[12]Pada
masa Indonesia merdeka, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah, madrasah-madrasah
berlipat ganda banyaknya dari pada masa penjajahan Belanda dahulu. Yang terdiri
dari sekolah agama dan terdapat pula sekolah umum Muhammadiyah.[13]
Dari uraian tersebut dapat diketahui ide-ide
pendidikan yang dikemukakan oleh Ahmad Dahlan yaitu beliau sebagai pembawa
pembaharuan dalam sistem pendidikan, yang semula sistem pesantren menjadi
sistem sekolah, memasukkan pelajaran umum ke dalam sekolah-sekolah agama atau
madrasah, dan Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Islam yang paling pesat dalam
mengembangkan lembaga pendidikan yang lebih bervariasi yaitu Muhammadiyah.
3. KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asy’ari lahir di Gedang. Jombang Jawa Timur,
hari Selasa 24 Dzulqo’dah 1287 H. bertepatan dengan 14 Februari 1871
M. Ayahnya bernama Asy’ani ulama asal Demak, yang merupakan keturunan ke-8 dan
Jaka Tingkir yang menjadi Sultan Pajang di tahun 1568, dan Jaka
Tingkir ini merupakan anak Brawijaya IV yang menjadi raja Majapahit.
Sedangkan ibunya bernama Halimah. puteri kiai Usman. pendiri dan pengasuh
pesantren Gedang Jawa Timur, tempat ia dilahirkan.[14]
KH. Hasyim Asy’ari
merupakan pendiri Nahdhatul Ulama (NU), bersama KH. Wahab Hasbullah dan KH.
Bisri Syansuri, yang didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344,
bertepatan tanggal 31 Januari 1926. Organisasi NU bermaksud untuk
mempertahankan praktik keagamaan yang sudah mentradisi di Nusantara untuk
mengimbangi gencarnya ekspansi pembaruan Islam. NU sendiri memberikan perhatian
besar bagi pendidikan, khususnya pendidikan tradisional yang harus
dipertahankan keberadaannya. Kemudian NU mendirikan madrasah-madarasah dengan
model Barat.[15]
Dalam hidupnya, beliau
juga ikut berperan penting dalam bidang politik nasional. Di samping itu,
beliau menjadi salah satu motivator para pejuang bangsa Indonesia dalam mengusir
pendudukan kolonial di tanah air, untuk meraih kemerdekaan. Akhir hayatnya, KH.
Hasyim Asy’ari wafat pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H, bertepatan tanggal 25 Juli
1947, disebabkan tekanan darah tinggi.[16]
Tentang pemikiran pendidikan KH. Hasyim seperti tertuang dalam
bukunya Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, sebenarnya sudah banyak
mendapat perhatian. Kitab yang terdiri atas delapan bab, secara garis besar
dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian penting, menyangkut siginifikansi
pendidikan, tanggung jawab dan tugas murid, serta tanggung jawab dan tugas
guru, menurut Zuhairi Misrawi, merupakan resume dari tiga kitab: Adâb
al-Mu’allim Ibn Sahnun (w. 871 M), Ta’lîm al-Muta’allim fî Wariqat
al-Ta’allum al-Zarnuji (w. 1222 M), dan Tadhkirah al-Syam’i wa
al-Mutakallim fî Adab al-‘Alim wa al-Mutakallim Ibnu Jamaah (w. 1333
M) .[17]
Terdapat dua hal yang
harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, pertama bagi murid, hendaknya ia
berniat suci menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi
dan jangan melecehkan atau menyepelekan. Kedua, bagi guru, dalam mengajarkan
ilmu hendaknya ia meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi
semata-mata. Dalam hal belajar, yang menjadi titik penekanannya adalah pada
pengertian bahwa belajar itu merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah yang
mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan
akhirat. Karenanya, belajar harus diniati untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai-nilai Islam, bukan sekadar menghilangkan kebodohan.[18]
Jadi, KH. Hasyim
Asy’ari merupakan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu
Nahdhatul Ulama (NU). Beliau juga menjadi salah satu motivator para
pejuang bangsa Indonesia dalam mengusir pendudukan kolonial di tanah air, untuk
meraih kemerdekaan dan tentang pemikiran pendidikan KH. Hasyim tertuang
dalam bukunya Adâb al-‘Âlim wa al-Muta’allim, yang lebih
menekankan pada adab (etika) dalam pendidikan.
4. KH. Imam Zarkasyi
KH. Imam Zarkasyi
dilahirkan di Gontor, 21 Maret 1910 dan wafat di Madiun, 30 April 1985. KH.
Imam Zarkasyi adalah putra bungsu dari tujuh bersaudara, dari pasangan Kyai
Santoso Anom Bashri dan Nyai Sudarmi Santoso. Imam Zarkasyi dibesarkan di
lingkungan keluarga muslim yang taat beragama, ayahnya seorang kyai besar di
Pondok Gontor.
Pemikiran pendidikan
KH. Imam Zarkasyi yang cukup terkenal dalam pengembangan dunia pendidikan
pesantren salah satunya adalah panca jiwa. Panca jiwa tersebut merupakan
nilai-nilai yang terdiri atas lima unsur yang yang harus dijadikan
pegangan setiap santri. Diantara isi dari panca jiwa tersebut antara lain:
a. Nilai keihklasan, sebagai
poin pertama isi dari panca jiwa yang bisa diartikan sebagai berbuat sesuatu
bukan karna didorong oleh keinginan memperoleh keuntungan tertentu, namun yang
dilakukan dengan niat semata mencari ibadah kepada Allah SWT.
b. Nilai
kesederhanaan, yakni mendidik orang untuk hidup apa adanya menggunakan
sesuatu sesuai keperluannya tanpa berlebih-lebihan.
c. Nilai kemandirian
(menolong diri sendiri) juga menjadi bagian dari jiwa setiap santri,
kemandirian merupakan senjata utama menuju masa depan yang penuh harapan.
Kemandirian pun tidak sebatas bersifat lahir namun tidak bersifat objek tetapi
subjek yang menentukan pola, agenda yang dilakukan kegiatan sehari-hari.
d. Nilai persaudaraan,
kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana persaudaraan yang akrab,
sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan ukhuwah
Islamiyah. Tidak ada dinding yang dapat memisahkan antara mereka. Ukhuwah ini
bukan saja selama mereka di pesantren, tetapi juga mempengaruhi ke arah
persatuan umat dalam masyarakat setelah mereka terjun di lapangan kehidupan
sesungguhnya.
e. Nilai
kebebasan, berarti mengandung pengertian bukan terlalu bebas (liberal)
sehingga kehilangan arah dan tujuan serta prinsip bukan juga terlalu
bebas untuk dipengaruhi, bukan bebas semau-maunya sendiri sebagaimana seperti
anarkis. Dengan demikian kebebasan ini diberikan kepada setiap santri untuk
secara jujur menjawab sesuatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan itu baik
dan buruk .[19]
Sedangkan dalam aspek
kurikulum menurut KH. Imam Zarkasyi merancang secara komprehensif. Artinya
kurikulum tidak sebatas diartikan sebagai rencana studi, tetapi mencakup segala
pengalaman belajar yang penting untuk dilalui para santri selama proses
belajar. Adapun isi kurikulum pondok modern gontor tidak hanya pendidikan
islam saja namun pendidikan umum juga.[20]
Pemikiran pendidikan
KH. Imam Zarkasyi dalam pengembangan dunia pendidikan pesantren salah satunya
adalah panca jiwa. ada juga dalam gagasan beliau akan pentingnya pendidikan
kemandirian menjadi sebuah keniscayaan agar santri berani menatap dan
menentukan
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Arifin,H.M. 1991. Ilmu Pendidikan Islam
Suatu Tinjauan Teoritis Dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta:
Bumi Aksara
Aziz, Safrudin. 2015. Pemikiran Pendidikan
Islam (Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer). Yogyakarta: Kalimedia
Khuluq, Lathiful, 2000. Fajar Kebangunan Ulama Biografi
KH. Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: Lkis
Kurniawan, Syamsul & Erwin Mahrus. 2013. Jejak
Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Maguwoharjo: Ar Ruzz Media,
Nata, Abudin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Noer, Delier. 1985. Gerakan Modern Islam di Indonesia
1900-1942. Jakarta: LP3ES
Rahman, Musthofa. 2001. Pendidikan Islam dalam
Perspektif al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suwendi. 2004. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan
Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Zuhairini. 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
Bumi Aksara
[1]Musthofa Rahman, Pendidikan
Islam dalam Perspektif al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001,
hlm. 2
[2]M. Arifin, Ilmu
Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis Dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 32.
[14]Lathiful Khuluq, Fajar
Kebangunan Ulama Biografi KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Lkis,
2000), hlm. 15
[17]Suwendi, Sejarah
dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hlm. 146.
[18] Syamsul
Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam
(Maguwoharjo: Ar Ruzz Media, 2013), hlm. 212
[19] Safrudin Aziz, Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Tokoh
Klasik dan Kontemporer), (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm. 284
Tidak ada komentar:
Posting Komentar