MAQASHID AL-SYARI’AH SEBAGAI METODE IJTIHAD
Abstrak
Syari’ah
tidaklah dikatakan syari’ah jika tidak mempunyai tujuan dari implementasinya,
yang hadir sebagai respon solutif terhadap problematika aktual man. Adanya maqashid
syari’ah adalah sebagai tanda dan petanda adanya dialektika antara teks (nash)
dengan realitas. Pengetahuan mengenai maqashid syari’ah bertujuan
memahami teks dengan memahami tujuan dari teks mengeluarkan dalalahnya, karena
pengetahuan tentang syari’ah melahirkan pengetahuan tentang maqashid.
Kajian mengenai maqashid syari’ah membawa kita kepada pemahaman
tentang hakikat at-tasyri’, khususnya dalam ayat-ayat hukum.
A. Pendahuluan
Hukum Islam
melarang perbuatan yang pada dasarya merusak kehidupan manusia, sekalipun
perbuatan itu disenangi oleh manusia dan perbuatan itu dilakukan hanya oleh seorang
tanpa merugikan orang lain. Seperti seorang yang meminum khamar (minuman yang
dapat memabukkan). Dalam pandangan Islam perbuatan orang tersebut tetap
dilarang, karena dapat merusak akalnya yang seharusnya ia pelihara.
Allah
mensyari’atkan hukum Islam untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus
untuk menggindari mafsadat baik di dunia maupun di akhirat. Dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, menurut para ulama’ ushul fiqih,
ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima pokok
tersebut adalah agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Seorang hamba akan
memperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima aspek pokok
tersebut, sebaliknya ia akan memperoleh kemafsadatan manakala ia tidak dapat meme-lihara
kelima unsur tersebut dengan baik.
Kelima pokok
di atas kemudian oleh ulama’ ushul fiqih di-katakan sebagai al-kulliyyay
al-khams yang kemudian menjadi ba-gian dari pada al-maqashid al-syari’ah
(maksud atau tujuan syari’at hukum Islam) yang kemudian oleh ulama’ ushul fiqih
dijadikan sebagai alat dalam menetapkan hukum yang kasusnya tidak disebutkan
secara eksplisit baik dalam Al Qur’an maupun As Hadist.
Makalah ini
akan membahas maqashid al-syari’ah, namun untuk mendapatkan gambaran dan
pemahaman yang lebih sistematis dan terarah, maka permasalahan dalam makalah
ini akan difokuskan pada beberapa persoalan, yaitu: Apa itu maqashid
al-syari’ah? Bagaimana peranan maqashid al-syari’ah dalam
pengembangan Islam? Dan bagaimana hubungan maqashid al-syari’ah den-gan
metode-metode ijtihad lainnya?
B. Konsep Maqashid al-Syari’ah
Konsep maqashid al-Syari’ah sebenarnya telah dimulai
dari masa Al-Juwaini yang terkenal dengan Imam Haramain dan oleh Imam
al-Ghazali kemudian disusun secara sistimatis oleh seorang ahli ushul fiqih
bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi (w. 790 H).
Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, al-Muwwafaqat fi Ushul
al-Ahkam. Menurut al-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan
kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat.
Kemaslahatan inilah, dalam pandangan beliau, menjadi maqashid al-Syari’ah.
Dengan kata lain, penetapan syariat, baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun
secara rinci (tafshilan), didasarkan pada suatu ‘illat (motif penetapan hukum),
yaitu mewu-judkan kemaslahatan hamba.[1]
Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut
al-Syatibi membagi Maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu: Maqashid
dharuriyat, Maqashid hajiyat, dan Maqashid tahsiniyat. Dharuriyat
artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan
menimbul-kan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hajiyat maksudnya sesuatu
yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukh-sah (keringanan)
tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsiniyat artinya sesuatu yang diambil
untuk kebaikan kehidupan dan meng-hindarkan keburukan, semisal akhlak yang
mulia, menghilangkan najis, dan menutup aurat. Dharuriyat beliau
jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifz
ad-din); (2) menjaga jiwa (hifz an-nafs); (3) menjaga akal (hifz al-‘aql); (4)
men-jaga keturunan (hifz an-nasl); (5) menjaga harta (hifz al-mal).
Maqashid
al-Syari’ah terdiri
dari dua kata yakni maqashid dan al-syari’ah. Maqashid adalah
jamak dari maksud yang berasal dari fiil qashada yang berarti
menghendaki atau memaksudkan. Maqasid berarti hal-hal yang dikehendaki
dan dimaksudkan. Sedangkan Syari’ah berarti jalan menuju sumber air yang dapat
pula diartikan sebagai jalan ke arah sumber keadilan dan jalan menuju sumber
kehidupan.[2]
Pengertian Maqashid Syari’ah
secara istilah tidak ada definisi khusus yang dibuat oleh para ulama Usul fiqh,
boleh jadi hal ini sudah maklum di kalangan mereka. Termasuk Syekh Maqasid
(al-Syathibi) itu sendiri tidak membuat ta’rif yang khusus, beliau Cuma
mengungkapkan tentang syari’ah dan fungsinya bagi manusia seperti ungkapannya
dalam kitab al-Muwwafakat, “Sesung-guhnya syariat itu ditetapkan
bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia dan
Akhirat”, dan “Hukum-hukum diundangkan untuk kemashlahatan hamba”.[3]
Dari ungkapan al-Syatibi tersebut bisa
dikatakan bahwa al-Syatibi tidak mendefinisikan maqasid al-syariah secara
konfrehensif, hanya saja ia menegaskan bahwa doktrin maqasid al-syariah adalah satu, yaitu maslahah atau
kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun diakhirat. Oleh
karena itu al-Syatibi meletakkan posisi maslahat sebagai ‘illat
hukum atau alasan pensyariatan hukum.
Hanya saja,
sebagian ulama ushul mendefinisikan maqasid al-syari’ah dengan makna dan tujuan
yang dikehendaki dalam mensyari’atkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat
manusia. Maqasid al-syari’ah dikalangan ulama’ ushul juga disebut sebagai asrar
al-syari’ah, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat dibalik hu-kum yang
ditetapkan oleh syara’, berupa kemaslahatan umat ma-nusia baik di dunia maupun
di akhirat.[4]
Sementara menurut Wah-bah al-Zuhaili, maqasid al-syariah berarti nilai-nilai
dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari
hu-kum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan
dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari’ dalam setiap ketentuan
hukum.[5] Dari
defnisi tersebut dapat di-ambil kesimpulan bahwa maqasid al-syari’ah adalah tujuan
yang ingin dicapai dalam hukum Islam yang telah ditentukan oleh Al-lah dan
Rasul-Nya, untuk dapat mengetahui tujuan hukum terse-but dapat ditelusuri
melalu teks-teks al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai alasan logis bagi rumusan
suatu hukum yang berorientasi pada kemaslahatan umat manusia.
C.
Peranan Maqasid al-Syari’ah dalam Pengembangan Hukum Islam
Secara garis besar, metode istimbat dalam usul fiqh dibagi kedalam
tiga bagian, yaitu: Tariqah al-Ijtihad al-Bayani (metode ijtihad semantik/kebahasaan),
tariqah al-Ijtihad at-Taufiqi (penalaran ter-hadap pertentangan dalil-dalil
keagamaan), dan Tariqah al-Ijtihad at-ta’lili, salah satunya adalah dengan
metode maqasid al-syari’ah. Metode maqasid al-syari’ah dikembangkan untuk
mencapai tujuan akhir dari ditetapkan dan dilaksanakannya hukum Islam yaitu
kemaslahatan umat manusia. bagi as-Syatibi sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, kemaslahatan yang hendak diwujudkan hukum Islam terbagi menjadi
tiga tingkatan, yaitu kebutuhan daruriyyah, kebutuhan hajiyah, dan kebutuhan
tahsinyyah. Kebutuhan atau al-maqasid al-daruriyyah adalah tingkatan kebutuhan
yang harus ada atau dapat disebut sebagai kebutuhan primer. Bila dalam
tingkatan kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan terancam kemaslahatan seluruh
umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Menurut as-Syatibi ada lima hal
yang terma-suk ke dalam ketegori kebutuhan daruriyyah ini, yaitu: memeli-hara
agama (hifz al-din), memelihara jiwa (hifz al-nafs), memelihara akal
(hifz al-aql), memelihara keturunan (hifz al-nasl), dan memelihara harta (hifz
al-mal). Untuk
menyelamatkan agama, Islam mewajibkan ibadah sekaligus melarang hal-hal yang
merusaknya. Untuk menyelamatkan jiwa Islam mewajibkan memakan makanan yang
baik-baik lagi halal dan melarang memakan makanan yang haram (karena adanya
hal-hal yang tidak baik bagi diri manusia), selain itu Islam mewajibakan
memelihara jiwa seseorang dan meng-haramkan membunuh jiwa manusia. Untuk
menyelamatkan akal, Islam melarang hal-hal yang dapat merusak fungsi akal,
misalnya meminum minuman yang memabukkan sehingga menyebabkan manusia hilang
kesadaran dirinya. Untuk menyelamatkan keturunan Islam mewajibkan nikah dan
mengharamkan zina. Dan untuk menyelamatkan harta Islam mensyari’atkan hukum
mua’malah yang baik dan benar dan melarang upaya-upaya yang merusaknya seperti
melakukan pencurian.
Kedua, maqasid al-hajiyyah, ialah kebutuhan sekunder, dimana dalam
tingkatan ini apabila kebutuhan tersebut tidak dapat diwu-judkan tidak sampai
mengancam kemaslahatan manusia, namun bisa mengakibatkan terjadinya hambatan
dan kesulitan untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut. Oleh karena itu kebutuhan
atau maqasid al-hajiyyah dibutuhkan untuk mempermudah mencapai kepentingan yang
bersifat daruriyyah dan menyingkarkan hal-hal yang mempersulit terwujudnya kebutuhan
daruriyyah. Oleh karena fungsinya yang mendukung dan melengkapi tujuan perimer,
maka kebutuhan hajiyyah ini kehadirannya sangat dibu-tuhkan. Misalnya untuk
melaksanakan ibadah shalat sebagai tu-juan perimer maka dibutuhkan berbagai
fasilitas misalnya masjid, tanpa adanya masjid tujuan untuk memelihara agama
(hifz al-din) tidaklah gagal atau rusak secara total namun bisa megakibatkan
munculnya berbagai kesulitan.
Ketiga, kebutuhan takhsiniyyah atau kebutuhan tersier, adalah
tingkatan kebutuhan yang apabila tidak dpenuhi tidak akan men-gancam eksistensi
salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak menimbulkan kesulitan. Menurut
al-Syatibi pada tingkatan ini yang menjadi ukuran adalah hal-hal yang merupakan
kepatutan menurut adat istiadat, menghindari hal-hal yang tidak enak di-pandang
menurut kepatutan dan sesuai dengan tuntutan norma sosial dan akhlak. Pada
tingkatan ini kebutuhan hajiyyah bersi-fat relatif dan lokal sejauh tidak
bertentangan dengan nash al-Qur’an dan al-Hadis. Sebagai contoh dalam tingkatan
kebutuhan ini adalah apakah masjid yang dibutuhkan dala rangka mewu-judkan
kebutuhan daruriyyah yakni memelihara agama melalui ibadah shalat, dalam bentuk
bentuk arstektur susai dengan taraf perkembangan kebudayaan lokal, misalnya
menggunakan model kubah Madinah, Mekah, atau yang lainnya. semua itu diserahkan
pada rasa dan nilai estetika dan kemampuan lokal.
Baca juga : https://simba-corp.blogspot.com/
Baca juga : https://simba-corp.blogspot.com/
D.
Hubungan Maqasid al-Syari’ah dengan beberapa Metode
Ijtihad
Sebagaimana telah dijelaskan, pada dasaarnya tujuan utama
disyari’atkannya hukum Islam adalah untuk memelihara ke-maslahatan dan
sekaligus menghindari kemafsadatan, bak di dunia maupun di akhirat. Pencarian
para ahli ushul fiqih terha-dap al-maslahah atau kemaslahatan itu diwujudkan
dalam ben-tuk metode ijtihad. Berbagai macam istilah telah digunakan oleh
mereka untuk menyebut metode penemuan hukum. Namun pada dasarnya, semua metode
itu bermuara pada upaya penemuan kemaslahatan umat manusia, dan menjadikannya
sebagai alat untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak disebutkan secara eksplisit
baik dalam Al Qu’ran maupun dalam Hadis. Atas dasar asumsi ini maka dapat
dikatakan, bahwa setiap metode peneta-pan hukum yang dipakai oleh para ahli
ushul fiqih beruara pada al-maqasid al-syari’ah.
Metode istimbat hukum dengan menggunakan qiyas dan maslahah
al-mursalah ataupun yang lainnya adalah metode yang dapat digunakan dalam
pengembangan hukum Islam dengan meng-gunakan atau dikaitkan dengan maqasid
al-syari’ah sebagai dasar untuk memperoleh kemaslahatan yang hendak dicapai
dalam hu-kum yang ditetapkannya. Misalnya metode qiyas baru bisa dilak-sanakan
apabila dapat ditentukan maqasid al-syari’ah yaitu denga cara menemukan illat hukum
dari sebuah permasalahan hukum. Contoh hukum tentang khamar adalah karena
sifatnya yang dapat memambukkan dan bisa merusak akal manusia, dengan demikian
yang menjadi illat hukum khamar adalah memabukkan dan merusak akal. Khamar
adalah hanya salah satu contoh dari sekian banyak hal yang memiliki kesamaan
sifat dengannya. Terlebih dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
dewasa ini maka sangat banyak sifat-sifat dari zat-zat kimiawi yang memiliki
kesamaan sidat dan fungsi dengan khamar di atas.
Dari sini dapat dilihat betapa erat hubungan antara metode qiyas
dengan maqasid al-syari’ah. Para ahli ushul fiqih mengelaborasi keterkaitannya,
menurut mereka illat baru bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum setelah
diketahui dan ditelusuri maksud disyari’atkannya hukum itu. Dalam menentukan
maksud dan tujuan hukum, tidak dapat diabaikan pemahaman tentang maslahat dan
mafsadat yang menjadi inti kajian maqasid al-syari’ah.
Selain itu, untuk mengetahui kedudukan maslahah al-mursalah dalam
pandanga para ulama’, tampaknya memag harus dikaitkan dengan analisis maqasid
al-syari’ah. Analisis ini dapat melahirkan dua dampak positif. Pertama, dapat
menampakkan titik temu perbedaan pendapat antara ulama’ yang menggunakan
maslahah al-mursalah. Kedua, analisis keterkaitan ini dapat menunjukkan bahwa
betapa pentingnya maqasid al-syari’ah dalam rangka pena-jaman analisis metode maslahah
al-mursalah sebagai corak penal-aran istislahi untuk memecahkan
permasalahan-permasalhan hukum dalam Islam.
Dalam hubungannya dengan dampak yang pertama, yakni titik temu
perbedaan pendapat para ulama’, amat penting dan menarik untuk mengemukakan pendapat
Imam al-Ghazali. Menurut al-Ghazali, apabila yang dimaksud dengan maslahah
adalag dalam rangka memelihara dan mewujudkan tujuan syara’, maka tidak perlu
diperselisihkan, bahkan harus diikuti karena ia merupakan hujjah. Oleh
karenanya Abu Zahrah misalnya lang-sung mengatkan maqasid al-syari’ah dengan
batasan maslahah al-mursalahnya.[6]
Baginya suatu kemaslahatan harus sesuai den-gan maksud-maksud pembuat hukum
secara umum. Keterkaitan maqasid al-syariah secara tegas dinyatakan oleh
al-Syatibi. Setiap kemaslahatan yang tidak ditunjukkan oleh nash secara khusus,
akan tetapi hal itu sesuai dengan tindakan syara’, maka maslahah seperti ini
dapat menjadi dasar hukum, namun ia membatasi la-pangan peranan maslahah
al-mursalah dalam arti pengembangan hukum untuk bidang mua’malah.
Dalam karyanya al-I’tisham, al-Syatibi banyak mengemu-kakan contoh
maslahah al-mursalah yang ia kaitkan secara erat denga maqasid al-syari’ah.
Antara lain, tentang pentadwinan atau kodifikasi al-Qur’an dan kesaksian
anak-anak. Terkait dengan kodifikasi al-Qur’an, memang tidak ada nash yang
memerintahkannya. Akan tetapi juga tidak terdapat nash yang melarangnya. Sikap
diam al-Syari’ ini dapat diduga bahwa pada waktu itu tidak ada motif yang
menjadi pendorong keharusan pentadwinan al-Qur’an. Dengan demikian pentadwinan
Qur’an yang terjadi kemu-dian tidaklah bertentangan dengan dengan al-Syari’.
Sedangkan dalam masalah kesaksian anak-anak, atas dasar kemaslahatan kesaksian
mereka dapat dipertimbangkan hakim dalam memu-tuskan suatu perkara, walaupun
tidak ada ketetapan dari al-Syari’. Al-Syari’ hanya mengatakan bahwa kesaksian
hanya sah dari seorang yang dewasa. Kasus-kasus penganiyaan yang terjadi di
kalangan anak-anak, yang sulit mencari persaksian dari orang de-wasa, maka
persaksian anak-anak menjadi bahan pertimbangan.
Dari uraian dan contoh-contoh di atas, tampaklah akan pent-ingnya
pertimbangan maqasid al-syari’ah dan metode mehaminya untuk memperkuat dan
mempertajam analisis metode maslahah al-mursalah sebagai corak penalaran
istishlahi bagi setiap upaya pengembangan dan dinamika hukum Islam.
Baca Juga : https://simba-corp.blogspot.com/
Baca Juga : https://simba-corp.blogspot.com/
E.
Kesimpulan
Pensyari’atan hukum Islam oleh al-Syari’ dalam hal ini adalah Allah
swt. tidak lain hanya untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dan menjauhkan
manusia dari kemafsadatan yang dapat merugikannya baik di dunia maupun di
akhirat. Hanya saja pensyari’atan hukum Islam yang tertuang dalam Alquran dan
hadis Rasulullah saw. adakalanya penunjukan terhadap maksud diturunkan atau
disyari’atkannya syari’at tersebut bersifat ekspilisit atau jelas dan adakalanya
tidak tidak jelas. Selain itu, perkembangan dan kemajuan hidup manusia membuat
munculnya persoalan-perso-alan hukum baru yang ketentuan hukumnya tidak
terdapat dalam Alquran dan hadis. Oleh karena itu, dalam hal ini peranan para
mujtahid sangat dibutuhkan untuk memecahkan kasus-kasus hukum tersebut dan
menemukan kemaslahatan dalam setiap ijtihad hukumnya. Maka dalam rangka
pengembangan hukum Islam dalam konteks ini, maqasid al-syari’ah memilki peranan
yang sangat penting untuk menjaga dan mewujudkan kemaslahatan ummat manusia
baik di dunia dan juga di akhirat.
DAFTAR PUSAKA
Abu Al- Syatiby
Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah. jilid II. Kairo: Mustafa
Muhammad. t.th. 2-3.
Qorib Ahmad. Ushul
Fikih 2. cet. Ke-2 Jakarta: PT. Nimas Multima. 1997. 170.
Asafri Bakrie
Jaya. Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi. cet. Ke-1 Jakarta:
P.T. Raja grafindo Persada. 1996. 64.
Abdul Dahlan
Azis., dkk., Ensiklopedi Hukum Isla., cet. Ke-1 Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve. 1996. 1108.
Zuhaili Wahbah.
Ushul Fiqh Islamy. juz II Damaskus: Dar al Fikr. 1986. 225.
Muhammad Zahra
Abu. Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy. 1958. 221.
[1]
Abu
Ishaq Al- Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, jilid II (Kairo:
Mustafa Muhammad, t.th.), 2-3.
[2] Ahmad Qorib, Ushul
Fikih 2, cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), 170.
[3] Asafri Jaya
Bakrie, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, cet. Ke-1
(Ja-karta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996), 64.
[4]
Abdul
Azis Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, cet. Ke-1 (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1996), 1108.
[5] Wahbah
Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, juz II (Damaskus: Dar al Fikr, 1986), 225.
[6] Muhammad Abu
Zahra, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1958), 221.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar