--> MAQASHID AL-SYARI’AH SEBAGAI METODE IJTIHAD | Fragmen Ilmiah

Himpunan Makalah, Skripsi, dan Jurnal

Total Tayangan Halaman

24/12/17

MAQASHID AL-SYARI’AH SEBAGAI METODE IJTIHAD

| 24/12/17

MAQASHID AL-SYARI’AH SEBAGAI METODE IJTIHAD 

Abstrak

Syari’ah tidaklah dikatakan syari’ah jika tidak mempunyai tujuan dari implementasinya, yang hadir sebagai respon solutif terhadap problematika aktual man. Adanya maqashid syari’ah adalah sebagai tanda dan petanda adanya dialektika antara teks (nash) dengan realitas. Pengetahuan mengenai maqashid syari’ah bertujuan memahami teks dengan memahami tujuan dari teks mengeluarkan dalalahnya, karena pengetahuan tentang syari’ah melahirkan pengetahuan tentang maqashid. Kajian mengenai maqashid syari’ah membawa kita kepada pemahaman tentang hakikat at-tasyri’, khususnya dalam ayat-ayat hukum.

A.     Pendahuluan

Hukum Islam melarang perbuatan yang pada dasarya merusak kehidupan manusia, sekalipun perbuatan itu disenangi oleh manusia dan perbuatan itu dilakukan hanya oleh seorang tanpa merugikan orang lain. Seperti seorang yang meminum khamar (minuman yang dapat memabukkan). Dalam pandangan Islam perbuatan orang tersebut tetap dilarang, karena dapat merusak akalnya yang seharusnya ia pelihara.
Allah mensyari’atkan hukum Islam untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menggindari mafsadat baik di dunia maupun di akhirat. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, menurut para ulama’ ushul fiqih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima pokok tersebut adalah agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Seorang hamba akan memperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima aspek pokok tersebut, sebaliknya ia akan memperoleh kemafsadatan manakala ia tidak dapat meme-lihara kelima unsur tersebut dengan baik.
Kelima pokok di atas kemudian oleh ulama’ ushul fiqih di-katakan sebagai al-kulliyyay al-khams yang kemudian menjadi ba-gian dari pada al-maqashid al-syari’ah (maksud atau tujuan syari’at hukum Islam) yang kemudian oleh ulama’ ushul fiqih dijadikan sebagai alat dalam menetapkan hukum yang kasusnya tidak disebutkan secara eksplisit baik dalam Al Qur’an maupun As Hadist.
Makalah ini akan membahas maqashid al-syari’ah, namun untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman yang lebih sistematis dan terarah, maka permasalahan dalam makalah ini akan difokuskan pada beberapa persoalan, yaitu: Apa itu maqashid al-syari’ah? Bagaimana peranan maqashid al-syari’ah dalam pengembangan Islam? Dan bagaimana hubungan maqashid al-syari’ah den-gan metode-metode ijtihad lainnya?

B.     Konsep Maqashid al-Syari’ah


Konsep maqashid al-Syari’ah sebenarnya telah dimulai dari masa Al-Juwaini yang terkenal dengan Imam Haramain dan oleh Imam al-Ghazali kemudian disusun secara sistimatis oleh seorang ahli ushul fiqih bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi (w. 790 H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, al-Muwwafaqat fi Ushul al-Ahkam. Menurut al-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah, dalam pandangan beliau, menjadi maqashid al-Syari’ah. Dengan kata lain, penetapan syariat, baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan), didasarkan pada suatu ‘illat (motif penetapan hukum), yaitu mewu-judkan kemaslahatan hamba.[1]
Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut al-Syatibi membagi Maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu: Maqashid dharuriyat, Maqashid hajiyat, dan Maqashid tahsiniyat. Dharuriyat artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbul-kan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hajiyat maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukh-sah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsiniyat artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan meng-hindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis, dan menutup aurat. Dharuriyat beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifz ad-din); (2) menjaga jiwa (hifz an-nafs); (3) menjaga akal (hifz al-‘aql); (4) men-jaga keturunan (hifz an-nasl); (5) menjaga harta (hifz al-mal).

Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata yakni maqashid dan al-syari’ah. Maqashid adalah jamak dari maksud yang berasal dari fiil qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan. Maqasid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan Syari’ah berarti jalan menuju sumber air yang dapat pula diartikan sebagai jalan ke arah sumber keadilan dan jalan menuju sumber kehidupan.[2]
Pengertian Maqashid Syari’ah secara istilah tidak ada definisi khusus yang dibuat oleh para ulama Usul fiqh, boleh jadi hal ini sudah maklum di kalangan mereka. Termasuk Syekh Maqasid (al-Syathibi) itu sendiri tidak membuat ta’rif yang khusus, beliau Cuma mengungkapkan tentang syari’ah dan fungsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam kitab al-Muwwafakat, “Sesung-guhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”, dan “Hukum-hukum diundangkan untuk kemashlahatan hamba”.[3]
       Dari ungkapan al-Syatibi tersebut bisa dikatakan bahwa al-Syatibi tidak mendefinisikan maqasid al-syariah secara konfrehensif, hanya saja ia menegaskan bahwa doktrin maqasid al-syariah adalah satu, yaitu maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun diakhirat. Oleh karena itu al-Syatibi meletakkan posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum.
Hanya saja, sebagian ulama ushul mendefinisikan maqasid al-syari’ah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki dalam mensyari’atkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia. Maqasid al-syari’ah dikalangan ulama’ ushul juga disebut sebagai asrar al-syari’ah, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat dibalik hu-kum yang ditetapkan oleh syara’, berupa kemaslahatan umat ma-nusia baik di dunia maupun di akhirat.[4] Sementara menurut Wah-bah al-Zuhaili, maqasid al-syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hu-kum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari’ dalam setiap ketentuan hukum.[5] Dari defnisi tersebut dapat di-ambil kesimpulan bahwa maqasid al-syari’ah adalah tujuan yang ingin dicapai dalam hukum Islam yang telah ditentukan oleh Al-lah dan Rasul-Nya, untuk dapat mengetahui tujuan hukum terse-but dapat ditelusuri melalu teks-teks al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi pada kemaslahatan umat manusia.

C.     Peranan Maqasid al-Syari’ah dalam Pengembangan Hukum Islam

Secara garis besar, metode istimbat dalam usul fiqh dibagi kedalam tiga bagian, yaitu: Tariqah al-Ijtihad al-Bayani (metode ijtihad semantik/kebahasaan), tariqah al-Ijtihad at-Taufiqi (penalaran ter-hadap pertentangan dalil-dalil keagamaan), dan Tariqah al-Ijtihad at-ta’lili, salah satunya adalah dengan metode maqasid al-syari’ah. Metode maqasid al-syari’ah dikembangkan untuk mencapai tujuan akhir dari ditetapkan dan dilaksanakannya hukum Islam yaitu kemaslahatan umat manusia. bagi as-Syatibi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kemaslahatan yang hendak diwujudkan hukum Islam terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu kebutuhan daruriyyah, kebutuhan hajiyah, dan kebutuhan tahsinyyah. Kebutuhan atau al-maqasid al-daruriyyah adalah tingkatan kebutuhan yang harus ada atau dapat disebut sebagai kebutuhan primer. Bila dalam tingkatan kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan terancam kemaslahatan seluruh umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Menurut as-Syatibi ada lima hal yang terma-suk ke dalam ketegori kebutuhan daruriyyah ini, yaitu: memeli-hara agama (hifz al-din), memelihara jiwa (hifz al-nafs), memelihara akal (hifz al-aql), memelihara keturunan (hifz al-nasl), dan memelihara harta (hifz al-mal). Untuk menyelamatkan agama, Islam mewajibkan ibadah sekaligus melarang hal-hal yang merusaknya. Untuk menyelamatkan jiwa Islam mewajibkan memakan makanan yang baik-baik lagi halal dan melarang memakan makanan yang haram (karena adanya hal-hal yang tidak baik bagi diri manusia), selain itu Islam mewajibakan memelihara jiwa seseorang dan meng-haramkan membunuh jiwa manusia. Untuk menyelamatkan akal, Islam melarang hal-hal yang dapat merusak fungsi akal, misalnya meminum minuman yang memabukkan sehingga menyebabkan manusia hilang kesadaran dirinya. Untuk menyelamatkan keturunan Islam mewajibkan nikah dan mengharamkan zina. Dan untuk menyelamatkan harta Islam mensyari’atkan hukum mua’malah yang baik dan benar dan melarang upaya-upaya yang merusaknya seperti melakukan pencurian.
Kedua, maqasid al-hajiyyah, ialah kebutuhan sekunder, dimana dalam tingkatan ini apabila kebutuhan tersebut tidak dapat diwu-judkan tidak sampai mengancam kemaslahatan manusia, namun bisa mengakibatkan terjadinya hambatan dan kesulitan untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut. Oleh karena itu kebutuhan atau maqasid al-hajiyyah dibutuhkan untuk mempermudah mencapai kepentingan yang bersifat daruriyyah dan menyingkarkan hal-hal yang mempersulit terwujudnya kebutuhan daruriyyah. Oleh karena fungsinya yang mendukung dan melengkapi tujuan perimer, maka kebutuhan hajiyyah ini kehadirannya sangat dibu-tuhkan. Misalnya untuk melaksanakan ibadah shalat sebagai tu-juan perimer maka dibutuhkan berbagai fasilitas misalnya masjid, tanpa adanya masjid tujuan untuk memelihara agama (hifz al-din) tidaklah gagal atau rusak secara total namun bisa megakibatkan munculnya berbagai kesulitan.
Ketiga, kebutuhan takhsiniyyah atau kebutuhan tersier, adalah tingkatan kebutuhan yang apabila tidak dpenuhi tidak akan men-gancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak menimbulkan kesulitan. Menurut al-Syatibi pada tingkatan ini yang menjadi ukuran adalah hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindari hal-hal yang tidak enak di-pandang menurut kepatutan dan sesuai dengan tuntutan norma sosial dan akhlak. Pada tingkatan ini kebutuhan hajiyyah bersi-fat relatif dan lokal sejauh tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an dan al-Hadis. Sebagai contoh dalam tingkatan kebutuhan ini adalah apakah masjid yang dibutuhkan dala rangka mewu-judkan kebutuhan daruriyyah yakni memelihara agama melalui ibadah shalat, dalam bentuk bentuk arstektur susai dengan taraf perkembangan kebudayaan lokal, misalnya menggunakan model kubah Madinah, Mekah, atau yang lainnya. semua itu diserahkan pada rasa dan nilai estetika dan kemampuan lokal.

Baca juga : https://simba-corp.blogspot.com/

D.     Hubungan Maqasid al-Syari’ah dengan beberapa Metode Ijtihad

Sebagaimana telah dijelaskan, pada dasaarnya tujuan utama disyari’atkannya hukum Islam adalah untuk memelihara ke-maslahatan dan sekaligus menghindari kemafsadatan, bak di dunia maupun di akhirat. Pencarian para ahli ushul fiqih terha-dap al-maslahah atau kemaslahatan itu diwujudkan dalam ben-tuk metode ijtihad. Berbagai macam istilah telah digunakan oleh mereka untuk menyebut metode penemuan hukum. Namun pada dasarnya, semua metode itu bermuara pada upaya penemuan kemaslahatan umat manusia, dan menjadikannya sebagai alat untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak disebutkan secara eksplisit baik dalam Al Qu’ran maupun dalam Hadis. Atas dasar asumsi ini maka dapat dikatakan, bahwa setiap metode peneta-pan hukum yang dipakai oleh para ahli ushul fiqih beruara pada al-maqasid al-syari’ah.
Metode istimbat hukum dengan menggunakan qiyas dan maslahah al-mursalah ataupun yang lainnya adalah metode yang dapat digunakan dalam pengembangan hukum Islam dengan meng-gunakan atau dikaitkan dengan maqasid al-syari’ah sebagai dasar untuk memperoleh kemaslahatan yang hendak dicapai dalam hu-kum yang ditetapkannya. Misalnya metode qiyas baru bisa dilak-sanakan apabila dapat ditentukan maqasid al-syari’ah yaitu denga cara menemukan illat hukum dari sebuah permasalahan hukum. Contoh hukum tentang khamar adalah karena sifatnya yang dapat memambukkan dan bisa merusak akal manusia, dengan demikian yang menjadi illat hukum khamar adalah memabukkan dan merusak akal. Khamar adalah hanya salah satu contoh dari sekian banyak hal yang memiliki kesamaan sifat dengannya. Terlebih dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini maka sangat banyak sifat-sifat dari zat-zat kimiawi yang memiliki kesamaan sidat dan fungsi dengan khamar di atas.
Dari sini dapat dilihat betapa erat hubungan antara metode qiyas dengan maqasid al-syari’ah. Para ahli ushul fiqih mengelaborasi keterkaitannya, menurut mereka illat baru bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum setelah diketahui dan ditelusuri maksud disyari’atkannya hukum itu. Dalam menentukan maksud dan tujuan hukum, tidak dapat diabaikan pemahaman tentang maslahat dan mafsadat yang menjadi inti kajian maqasid al-syari’ah.
Selain itu, untuk mengetahui kedudukan maslahah al-mursalah dalam pandanga para ulama’, tampaknya memag harus dikaitkan dengan analisis maqasid al-syari’ah. Analisis ini dapat melahirkan dua dampak positif. Pertama, dapat menampakkan titik temu perbedaan pendapat antara ulama’ yang menggunakan maslahah al-mursalah. Kedua, analisis keterkaitan ini dapat menunjukkan bahwa betapa pentingnya maqasid al-syari’ah dalam rangka pena-jaman analisis metode maslahah al-mursalah sebagai corak penal-aran istislahi untuk memecahkan permasalahan-permasalhan hukum dalam Islam.
Dalam hubungannya dengan dampak yang pertama, yakni titik temu perbedaan pendapat para ulama’, amat penting dan menarik untuk mengemukakan pendapat Imam al-Ghazali. Menurut al-Ghazali, apabila yang dimaksud dengan maslahah adalag dalam rangka memelihara dan mewujudkan tujuan syara’, maka tidak perlu diperselisihkan, bahkan harus diikuti karena ia merupakan hujjah. Oleh karenanya Abu Zahrah misalnya lang-sung mengatkan maqasid al-syari’ah dengan batasan maslahah al-mursalahnya.[6] Baginya suatu kemaslahatan harus sesuai den-gan maksud-maksud pembuat hukum secara umum. Keterkaitan maqasid al-syariah secara tegas dinyatakan oleh al-Syatibi. Setiap kemaslahatan yang tidak ditunjukkan oleh nash secara khusus, akan tetapi hal itu sesuai dengan tindakan syara’, maka maslahah seperti ini dapat menjadi dasar hukum, namun ia membatasi la-pangan peranan maslahah al-mursalah dalam arti pengembangan hukum untuk bidang mua’malah.
Dalam karyanya al-I’tisham, al-Syatibi banyak mengemu-kakan contoh maslahah al-mursalah yang ia kaitkan secara erat denga maqasid al-syari’ah. Antara lain, tentang pentadwinan atau kodifikasi al-Qur’an dan kesaksian anak-anak. Terkait dengan kodifikasi al-Qur’an, memang tidak ada nash yang memerintahkannya. Akan tetapi juga tidak terdapat nash yang melarangnya. Sikap diam al-Syari’ ini dapat diduga bahwa pada waktu itu tidak ada motif yang menjadi pendorong keharusan pentadwinan al-Qur’an. Dengan demikian pentadwinan Qur’an yang terjadi kemu-dian tidaklah bertentangan dengan dengan al-Syari’. Sedangkan dalam masalah kesaksian anak-anak, atas dasar kemaslahatan kesaksian mereka dapat dipertimbangkan hakim dalam memu-tuskan suatu perkara, walaupun tidak ada ketetapan dari al-Syari’. Al-Syari’ hanya mengatakan bahwa kesaksian hanya sah dari seorang yang dewasa. Kasus-kasus penganiyaan yang terjadi di kalangan anak-anak, yang sulit mencari persaksian dari orang de-wasa, maka persaksian anak-anak menjadi bahan pertimbangan.
Dari uraian dan contoh-contoh di atas, tampaklah akan pent-ingnya pertimbangan maqasid al-syari’ah dan metode mehaminya untuk memperkuat dan mempertajam analisis metode maslahah al-mursalah sebagai corak penalaran istishlahi bagi setiap upaya pengembangan dan dinamika hukum Islam.
Baca Juga : https://simba-corp.blogspot.com/

E.     Kesimpulan

Pensyari’atan hukum Islam oleh al-Syari’ dalam hal ini adalah Allah swt. tidak lain hanya untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dan menjauhkan manusia dari kemafsadatan yang dapat merugikannya baik di dunia maupun di akhirat. Hanya saja pensyari’atan hukum Islam yang tertuang dalam Alquran dan hadis Rasulullah saw. adakalanya penunjukan terhadap maksud diturunkan atau disyari’atkannya syari’at tersebut bersifat ekspilisit atau jelas dan adakalanya tidak tidak jelas. Selain itu, perkembangan dan kemajuan hidup manusia membuat munculnya persoalan-perso-alan hukum baru yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam Alquran dan hadis. Oleh karena itu, dalam hal ini peranan para mujtahid sangat dibutuhkan untuk memecahkan kasus-kasus hukum tersebut dan menemukan kemaslahatan dalam setiap ijtihad hukumnya. Maka dalam rangka pengembangan hukum Islam dalam konteks ini, maqasid al-syari’ah memilki peranan yang sangat penting untuk menjaga dan mewujudkan kemaslahatan ummat manusia baik di dunia dan juga di akhirat.

DAFTAR PUSAKA
Abu Al- Syatiby Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah. jilid II. Kairo: Mustafa Muhammad. t.th. 2-3.
Qorib Ahmad. Ushul Fikih 2. cet. Ke-2 Jakarta: PT. Nimas Multima. 1997. 170.
Asafri Bakrie Jaya. Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi. cet. Ke-1 Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada. 1996. 64.
Abdul Dahlan Azis., dkk., Ensiklopedi Hukum Isla., cet. Ke-1 Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 1996. 1108.
Zuhaili Wahbah. Ushul Fiqh Islamy. juz II Damaskus: Dar al Fikr. 1986. 225.
Muhammad Zahra Abu. Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy. 1958. 221.






[1] Abu Ishaq Al- Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, jilid II (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), 2-3.
[2] Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), 170.
[3] Asafri Jaya Bakrie, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, cet. Ke-1 (Ja-karta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996), 64.
[4] Abdul Azis Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, cet. Ke-1 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 1108.
[5] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, juz II (Damaskus: Dar al Fikr, 1986), 225.

[6] Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1958), 221.

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar