--> Makalah Muhkamat dan Mutasyabihat | Fragmen Ilmiah

Himpunan Makalah, Skripsi, dan Jurnal

Total Tayangan Halaman

11/11/19

Makalah Muhkamat dan Mutasyabihat

| 11/11/19


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab. Karena itu, untuk memahami hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an diperlukan  pemahaman dalam kebahasaan. Para ulama’ yang ahli dalam bidang ushul fiqh, telah mengadakan penelitian secara sesama terhadap nash-nash al-Qur’an, lalu hasil penelitian itu diterapkan dalam kaidah-kaidah yang menjadi pegangan umat Islam guna memahami kandungan al-Qur’an dengan benar.
Adapun ilmu yang mempelajari tentang muhkam dan mutasyabih adalah Ilmu Muhkam wal Mutasyabih. Ilmu ini dilatar belakangi oleh adanya perbedaan pendapat ulama tentang adanya hubungan ayat atau surat yang lain. Sementara yang lain mengatakan bahwa di dalam Al-Qur’an ada ayat atau surat yang tidak berhubungan. Oleh karenanya, suatu ilmu yang mempelajari ayat atau surat Al-Qur’sn cukup penting kedudukannya. Sementara itu muhkam dan mutasyabih adalah Sebuah kajian yang sering menimbulkan kontroversial dalam sejarah penafsiran Al-Qur’an, karena perbedaan ’interpretasi’ antara ulama mengenai hakikat muhkam dan mutasyabih.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan Muhkamat dan Mutasyabihat?
2.      Seperti apa karakteristik Muhkam dan Mutasyabih?
3.      Bagaiaman pandangan para ulama tentang ayat Muhkam?
4.      Bagaimana pandangan para ulama tentang ayat Mutasyabihat?
5.      Bagaimana pembagian ayat-ayat Mutasyabih?
6.      Bagaimana pandangan ulama dalam menghadapi Ayat-ayat Mutasyabih?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui pengertian Muhkamat dan Mutasyabihat.
2.      Mengetahui Karakteristik Muhkam dan Mutasyabih.
3.      Mengetahui Pandangan para ulama tentang ayat Muhkam.
4.      Mengetahui bagaimana Pandangan para ulama tentang ayat Mutasyabihat.
5.      Mengetahui bagaimana Pembagian Ayat-ayat Mutasyabih.
6.      Mengetahui bagaimana Pandangan Ulama dalam Menghadapi Ayat-ayat Mutasyabih.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Muhkamat dan Mutasyabihat
Kata muhkam diambil dari kata ahkam artinya mencegah. Al-hukmu artinya memisahkan antara dua hal, maka seseorang dikatakan hakim karena ia mencegah kezhaliman dan memisahkan antara dua orang yang berselisih, membedakan antara yang hak dan yang batil, antara benar dan dusta. Kata muhkam artinya diyakinkan dan dipastikan.
Dengan pengertian ini Allah mensifati Al-Quran bahwa seluruh isinya muhkam sebagaimana ditegaskan dalam QS Hud ayat 1
الر ۚ كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.”
Dan QS Yunus ayat 1
الر ۚ تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْحَكِيمِ                                                              
“Alif laam raa. Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah.
Ketika Al-Quran dikatakan seluruhnya muhkam, maka maksudnya adalah Al-Quran itu kata-katanya kokoh, fasih (indah dan jelas) dan membedakan antara yang hak dan yang batil dan antara yang benar dan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-ihkam al-‘amm atau muhkam dalam arti umum.
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan di  mana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkret maupun abstrak.
Dikatakan pula mutasyabih adalah mutamatsil (sama atau serupa) dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain.
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Al-Quran bahwa seluruhnya adalah mutasyabih, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Az-Zumar ayat 23.
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.”
Dengan demikian, berdasarkan pengertian ini maka Al-Quran itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. inilah yang dimaksud dengan mutasyabih al-‘amm atau mutasyabih dalam arti umum.
Secara terminologis menurut pendapat Ar-Razi bahwa muhkam adalah ayat-ayat yang dalalah (maksud)nya jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan kekliruan pemahaman. Sementara mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalah (maksud)nya samar, tidak jelas dan tidak tegas, sehingga jika dipahami secara laterlek akan menimbulkan kerancuan dan kekeliruan pemahaman.[1]
Dari ungkapan kamus Arab kata muhkam terambil dari kata ahkama dan hakama yang bisa berarti kuat atau kokoh dan bisa berarti mencegah dari pengaruh kerusakan.
Firman Allah SWT surah Ali-Imran 3 ayat 7:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
"Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Ayat ini menjadi dalil bahwa ayat-ayat Al-Quran itu terbagi dua jenis ayat yaitu muhkam dan mutasyabih. Para ulama mendefinisikan arti ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, yaitu. Muhkam adalah ayat-ayat bisa dilihat pesannya dengan gamblang atau dengan ta’wil dan ayat-ayat yang ditakwil memiliki pengertian lebih dari satu kemungkinan. Adapun ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang pengertian pastinya hanya diketahui oleh Allah.[2]
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh ulama tafsir mengenai muhkam dan mutasyabih:
1.      Menurut As-Suyuti muhkam adalah sesuatu yang telah jelas artinya, sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya.
2.      Menurut Imam Ar-Razi muhkam adalah ayat-ayat yang dalalahnya kuat baik maksud ataupun lafaznya, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalahnya lemah. Masih bersifat mujmal memerlukan takwil dan sulit di pahami.
3.      Menurut Manna’ Al-Qathan muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih tidak seperti itu, dia memerlukan penjelasan dengan munjuk kepada ayat lain.
Dari pendapat-pendapat tentang ayat-ayat Alquran yang muhkamat dan mutasyabih di atas, dapat disimpulkan bahwa ayat muhkamat adalah ayat yang sudah jelas baik, lafaz maupun maksudnya sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang membacanya. Ayat-ayat mutasyabih ini merupakan kumpulan ayat-ayat yang terdapat dalam Alquran yang masih belum jelas maksudnya, hal ini dikarenakan ayat mutasyabih bersifat mujmal (global) dia membutuhkan rincian lebih dalam.[3]
B.     Karakteristik Muhkam dan Mutasyabih
Muhkam dan Mutasyabih secara khusus mulai diperdebatkan para ulama ketika menafsirkan firman Allah Swt: Ali-Imran ayat 7
Dari kajian yang mendalam di atas ini, para ulama memiliki beragam pandangan terhadap pengertian muhkam dan mutasyabih secara khusus (terminologis). Namun, dari sekian sebanyak pendapat tersebut, yang terpenting di antaranya sebagai berikut:
1.      Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasyabih hanya diketahui maksudnya oleh Allah Swt.
2.      Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang mutasyabih mengandung banyak wajah.
3.      Muhkam adalah ayat yang meksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain (takwil), sedang mutasyabih tidak demikian, ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.
Tiga hal tersebut, selain sebagai pembeda juga sebagai karaktristik bagi ayat-ayat muhkam dan mutasyabih dalam pengertiannya yang khusus.
Contoh ayat-ayat muhkam dalam Al-Quran dengan ayat-ayat masikh, ayat-ayat tentang halal dan haram, hudud (hukuman), larangan dan kewajiban, janji dan ancaman. Sementara ayat-ayat mutasyabih contohnya dengan ayat-ayat tentang asma’ Allah dan sifat sifat-Nya, antara lain: dalam surah Thaha ayat 5, Al-Qashash ayat 88, Al-An’am ayat 18, Al-Fath ayat 6, 10 dan 22, Al-Bayyinah ayat 8, Ali-Imran ayat 31, dan masih banyak yang lainnya.
Dari pemahaman ayat di atas pula, akhirnya para ulama membagi mutasyabih menjadi tiga macam:
1.      Makna kandungannya mustahil diketahui manusia, seperti sifat Allah, hari kiamat, dan lain-lain.
2.      Melalui penelitian, seperti ayat-ayat yang kandungannya bersifat umum, samar dari lahir dari singkatnya redaksi.
3.      Bahwa ayat-ayat mutasyabih, dapat diketahui oleh sebagian ulama dengan melakukan penyusian diri.[4]
C.     Pandangan para ulama tentang ayat Muhkam
1.      Ayat yang telah terjamin aman dari perubahan atau pengertian (nasikh mansukh).
2.      Ayat yang tidak mengandung arti ganda atau kemungkinan ada keraguan.
3.      Ayat yang jelas artinya, dan pasti dalam keterangan hukumnya.
4.      Ayat yang merupakan ajaran khusus dari Al-Quran.
5.      Ayat yang telah disepakati oleh syariat langit.
6.      Ayat yang menghapuskan sesuatu ayat hukum.
7.      Ayat yang menerangkan tentang halal dan haram.
8.      Yang hanya menerima satu pemahaman saja.
9.      Kisah-kisah yang dijelaskan secara terperinci.
10.  Segala ayat yang wajib diimani dan diamalkan.
11.  Semua ayat Al-Quran muhkam kecuali ayat permulaan yang menggunakan huruf hijaiyah.
12.  Ayat yang jelas dan tegas.
13.  Ayat-ayat yang mengandung makna tertentu, yang tidak menyulitkan atau meragukan dan tidak menyamarkan kita dalam merepresentasikan gambaran ataau menentukan nukti konkritnya.
14.  Ayat yang dalilnya jelas, seperti dalil-dalil tentang Keesaan, Kekuasaan, dan Hikmah Allah.
15.  Ayat-ayat yang diimani dan dapat diamalkan.[5]
D.    Pandangan para ulama tentang ayat Mutasyabihat
1.      Ayat-ayat yang mansukh (yang dihapus).
2.      Ayat-ayat yanag mengandung arti ganda dan dapat ditafsirkan berbeda-beda.
3.      Ayat yang masih samar artinya, baru jelas setelah dihubung-hubungkan.
4.      Ayat yang makna sebenarnya mengandung persamaan dengan artian yang tidak dimaksudkan.
5.      Ayat yang arti sebenarnya diketahui hanya dengan menunjuk kepada apa yang disebut muhkam.
6.      Ayat yang tidak dapat dipahami dengan segera tanpa pengamatan berulang-ulang.
7.      Ayat yang berisi ajaran sesuai dengan atau menyerupai apa yang dikandung oleh kitab-kitab wahyu terdahulu.
8.      Ayat yang diluar hukum halal haram.
9.      Kisah yang tidak dijelaskan secara terperici.
10.  Ayat yang perlu diimani tapi tidak wajib diamalkan.
11.  Pembukaan surah yang menggunakan huruf hijaiyah
12.  Ayat yang global (mujmal).
13.  Ayat yang mengandung makna khusus, yang membuat kita tersamar antara gambaran rill dan representasi luarnya.
14.  Ayat yaang membutuhkan perenunngan dan pemikiran untuk menjelaskannya.[6]
E.     Pembagian Ayat-ayat Mutasyabih
1.      Mutasyabih dari segi lafaz
Mutasyabih dari segi lafaz ini dapat pula dibagai dua macam:  
a.       Yang dikembalikan kepada lafaz yang tunggal yang sulit pemaknaannya
b.      Lafaz yang dikemvalikan pada susunan kalimatnya
1)      Mutasyaih karena ringkasan kalimat
2)      Mutasyabih karena luasnya kalimat
3)      Mutasaybih karena susunan kalimatnya
2.      Mutasyabih dari segi Maknanya
Mutasyabih ini adalah menyangkut sifat-sifat Allah, sifat hari kiamat, bagaimana dan kapan terjadinya. Semua ini yang tidak dapat digambarkan secara konkret karena kajadiannya belum pernag di alami siapa pun.
3.      Mutasyabih dari segi Lafaz dan Maknyanya
Mutasyabih dari segi ini menurut As-Suyuti, ada lima yaitu:
a.       Mutasyabih dari segi kadarnya
b.      Mutasyabih dari segi caranya
c.       Mutasyabih dari segi waktu
d.      Mutasyabih dari segi tempat dan suasana di mana ayat itu diturunkan
e.       Mutasyabih dari segi syarat-syarat,sehingga suatu amalan itu tergantung dengan ada atau tidaknya syarat yang dibutuhkan. Misalnya ibadah dan nikah tidak dapat dilaksanakan jika tidak cukup syaratnya.[7]
F.      Pandangan Ulama dalam Menghadapi Ayat-ayat Mutasyabih
Di kalangan ulama tafsir terdapat perbedaan pendapat mengenai ayat-ayat Mutasyabih ini. Apakah ayat-ayat itu dapat diketahui artinya atau takwilnya atau tidak, kemudian perbedaan apakah manusia berhak mengetahui maksud yang tersembunyi itu atau hanya Allah yang tahu. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid (dari kalangan sahabat) berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui arti dan takwil ayat-ayat Mutasyabihat.
Menurut mereka jika hanya Allah yang mengetahui dan tidak melimpahkan kepada manusia (ulama) yang mendalamai ilmunya tentang ayat-ayat mutasyabihat baik tentang pengertian maupun takwil, berarti mereka sama saja dengan orang awam. Melihat pendapat ini penulis berpendapat bahwa alasan mereka sangat logis sebab jika hanya Allah lah yang mengetahui maksud ayat-ayat mutasyabih dalam Alquran, tentu saja Alquran itu akan kering maknanya serta tidak menjadi rahmat bagi alam semesta. Hal ini di sebab kan banyak ayat-ayat Mutasyabih yang diungkapkan dalam Alquran.
Walaupun ada ulama yang mengatakan bahwa ayat-ayat Mutasyabih itu dapat ditakwilkan oleh manusia, namun menurut sebagian besar ualam berpendapat bahwa ayat-ayat Mutasyabih itu tidak dapat diketahui oleh seseorang pun kecuali Allah. Menurut ulama ini kita sebagai makhluk ciptaan Allah tidak perlu mencari-cari takwil tentang ayat-ayat mutasyabih, tetapi kita harus menyerahkan persoalnnya kepada Allah semata.
Dari dua pendapat yang kelihatanyya kontradiksi diatas, ada lagi ulama yang berpendapat lain. Dalam hal ini Ar-Raghib Al-Asfahani dia mengambil jalan tengah dari kedua pendapat di atas. Ar-Raghib membagi ayat-ayat Mutasyabihat menjad tiga bagian:
1.         Ayat yang sama sekalai tidak diketahui hakikatnya oleh manusia, seperti waktu tibanya hari kiamat.
2.         Ayat mutasyabih yang dapat diketahui oleh manusia (orang awam) dengan menggunakan berbagai sarana terutama kemampuan akal pikiran.
3.         Ayat-ayat mutasyabih yang khusus hanya dapat diketahui maknanya oleh orang-orang yang ilmunya dalam dan tidak dapat diketahui oleh orang-orang selain mereka.
Sedangkan ayat-ayat mutasyabih tentang sifat-sifat Allah terdapat lagi perbedaan di kalangan ulama:
Pertama, Mazhab Salaf mengimani sifat-sifat Mutasyabih dan menyerahkan maknanya kepada Allah. Pendapat ini di dasari oleh ayat 5 surah Thaha yang berbunyi:
Artinya: yaitu tuhan yang maha pemurah yang bersemayam di atas Arasy.
Dari ayat di atas muncul kisah di mana pada suatu hari Malik ditanya tentang makna tentang makna istiwa (bersemayam), lalu ia menjawab : “Lafaz Istiwa dapat di mengerti, tetapi tentang bagaiaman tidaklah dapat diketahui oleh seseorang pun selain Allah”. Bahkan Iman Malik mengatakan bahwa pertanyaan seperti itu adalag bid’ah.
Kedua, Mazhab Khallaf menyikapi sifat-sifat mutasyabih Allah, dengan menetapkan makna-makna bagi lafaz-lafaz yang menuntuu lahirny mustahil bagi Allah, engan pengertian yang layak bagi zat Allah, golongan ini dinamakan juga dengan golongan muawwilah.
Dari kedua pendapat tentang ayat-ayat mutasyabih mengenai sifat Allah dapat disimpulkan bahwa kaum Salaf mensucikan Allah dari makna lafaz dan menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah. Lain halnya dengan kaum Khallaf, mereka mengartikan bahwa kata istiwa dengan Maha Berkuasa Allah dalam menciptakan segala sesuatu tanpa susah.
Untuk melengkapi pembahasan ini ada baiknya di paparkan tentang beberapa ayat Alquran yang menyebutkan sifat-sifat mutasyabit-Nya seperti:
1.         QS Thaha ayat 5:  artinya: (Allah) maha pemurah bersemayam di atas Arsy
2.         QS. Ar Rahman ayat 27:  artinya: dan tetap kekal wajah Tuhan mu yang mempunyai kenesaran dan kemuliaan.
3.         QS Thaha ayat 39: artinya:  Agar engkau di asuh di bawah pengawasan-Ku
4.         QS Al Fath ayat 10:
 
artinya: bahwa orang-orang yang berjanji setia kepada mu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di aas tangan-tangan meerka, makan barang siapa melnggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka dia akan memberinya pahala yang besar.
5.         QS Ali Imran mengenai ayat 28:
artinya: janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takut dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali.[8]
G.    Hikmah Muhkam dan Mutasyabih 
Dari ayat 7 surat Ali-Imran sejatinya tersirat berbagi hikmah dan rahasia di balik adanya muhkam dan mutasyabih dalam Al-Quran. Karena itu para ulama berusaha untuk menggalinya dan di antara sekian banyak hikmahnya adalah sebagai berikut:
1.      Memperlihatkan keagungan dan kebenaran Al-Quran. Ketika orang-orang Arab berbangga-bangga dengan balaghah dan bayan, ijaz dan ithnaab, majaz dan kinayah, maka demikian juga Al-Quran ia datang dengan gaya bahasa yang sama bahkan jauh lebih tinggi dari bahasa yang mereka banggakan.  
2.      Sebagai salah satu bentuk ujian dari Allah agar yang beriman semakin kuat keimanannya dan yang munafik kelihatan wajah kemunafikannya, karena itu, tidak semua ayat dijelaskan maknanya (muhkam) dan ada sebagian ayat yang disamarkan (mutasyabih).
3.      Memberi peluang dan kesempatan kepada umat Islam untuk mengkaji dan meneliti aayat-ayat Al-Quran, seandainya semua ayat berbentuk muhkamat maka kegiatan pengkajian dan penelaahan terhadap isi kandungan Al-Quran akan dapat dilakukan dengan mudah karena ayat-ayatnya relatif kebih mudah dimengerti, berbeda halnya ketika ada yang mutasyabihat, mereka akan semakin giat mempelajari Al-Quran.[9]

                                                                             


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa ayat muhkamat adalah ayat yang sudah jelas baik, lafaz maupun maksudnya sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang membacanya. Ayat-ayat mutasyabih ini merupakan kumpulan ayat-ayat yang terdapat dalam Alquran yang masih belum jelas maksudnya, hal ini dikarenakan ayat mutasyabih bersifat mujmal (global) dia membutuhkan rincian lebih dalam.
B.     Saran
Dalam memahami ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat tentunya akan menemui perbedaan antara ulamak satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, kita sebagi mahasiswa tidak sepantasnya saling salah menyalahkan pendapat satu dengan yang lainnya. Karena setiap pendapat yang dikeluarkan oleh para ulamak tentunya semuanya memiliki dasar. Kita harus lebih bijak dalam mengatasi perbedaan.












Daftar Pustaka

Abu Anwar, Ulumul Quran, 2002, Jakarta: Amzah.
Anshori, Lal, Ulumul Quran, 2013, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Muchtar Adam, Ulum Quran, 2013, Bandung: Makrifat Media Utama.




[1] Anshori, Lal, Ulumul Quran, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada), 2013, hlm. 133-135
[2] Muchtar Adam, Ulum Quran, (Bandung: Makrifat Media Utama), 2013, hlm. 103-104
[3] Abu Anwar, Ulumul Quran, (Jakarta: Amzah), 2002, hlm. 77-78
[4] Anshori, Lal, Ulumul Quran, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada), 2013, hlm.135-138
[5] Muchtar Adam, Ulum Quran, (Bandung: Makrifat Media Utama), 2013, hlm. 104                                                 
[6] Ibid, hlm. 105
[7] Abu Anwar, Ulumul Quran, (Jakarta: Amzah), 2002, hlm. 79-80
[8] Abu Anwar, Ulumul Quran, (Jakarta: Amzah), 2002, hlm. 81-86
[9] Anshori, Lal, Ulumul Quran, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada), 2013, hlm. 142

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar