BAB 2
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Asas hukum adalah aturan dasar dan
prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatar belakangi peraturan konkret dan pelaksanaan hukum dalam
bahasa isnggris, kata “ asas” diformatkan sebagai “principle”, peraturan
konkret seperti undang-undang tidak boleh bertentangan dengan asas hukum,
demikian pla dalam putusan hakim, pelaksanaan hukum, hukum dasar, dasar sesuatu
yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat dan sistem hukum yang di
pertegas oleh Milovanovie[1]
Tentang
batasan pengertian asas hukum ada beberapa pendapat yang
dikemukakan oleh beberapa
ahli yaitu:
1. Bellefroid, berpendapat bahwa asas hukum adalah norma dasar
yang dijabarkan dari hukum
positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan- aturan
yang lebih umum.
2. Van Scholten, berpendapat bahwa asas hukum adalah kecenderungan
yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum dan merupakan sifat-
sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu,
tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.
3.
Van Eikema Hommes, berpendapat asas
hukum bukanlah norma-norma hukum konkrit, tetapi ia adalah sebagai dasar-dasar
pikiran umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku.
4.
Van der Velden, berpendapat asas hukum adalah tipe putusan yang digunakan
sebagai tolak ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman
berperilaku.[2]
B. FUNGSI ASAS HUKUM
Fungsi
asas hukum di uraikan Achmad Ali yang membagi kedalam beberapa fungsi sebagai
berikut:
1.
Fungsi Taat Asas (konsisten)
Fungsi taat asas dari hukum itu adalah
bagaimana konsistensi dapat terjamin dalam sistem hukum. Contohnya dalam hukum
asas perdata dianut asas pasif bagi hakim, artinya hakim hanya memeriksa dan
mengadili pokok persengketaan yang ditentukan oleh para pihak yang berperkara.
2. Fungsi Mengatasi Konflik
Fungsi ini merupakan fungsi penting dari
asas hukum, Asas lex superior derogat legi inferiori adalah asas
yang mengatur bahwa peraturan hukum yang lebih tinggi hirarkinya harus
didahulukan dari pada peraturan hukum yang lebih rendah. Jika suatu peraturan
walikota bertentangan dengan peraturan-peraturan Gubernur maka harus
diberlakukan peraturan
Gubernur.
3. Fungsi Rekayasa Sosial
Mengemukakan bahwa dilihat dari fungsi
hukum sebagai alat perekayasa sosial (a tool of social engineering),
maka sebenarnya suatu asas hukumpun dapat difungsikan sebagai alat perekayasa
sosial. Hal ini tentunya tergantung pada inisiatif dan kreativitas para
pelaksana dan penentu kebijakan hukum, sebagai contoh untuk ini adanya asas
tidak ada keharusan untuk mewakilkan sebaliknya diganti dengan asas keharusan
untuk mewakilkan, sebagai salah satu bentuk rekayasa sosial dibidang asas
hukum, oleh karena itu dengan asas ini proses pengadilan setidaknya dapat
berlangsung cepat, serta juga dapat mengaktifkan lebih banyak penggunaan
sarjana hukum.
C.
JENIS JENIS ASAS HUKUM
Jenis-Jenis
Asas-Asas Hukum Beranjak pada pandangan tatanan internal sistem hukum bahwa
asas-asas hukum bagian materiil dalam tata hukum positif, jenisnya dapat
dirinci, menjadi tiga kelompok yaitu: asas-asas hukum umum universal; asas-asas
hukum umum nasional; dan asas-asas hukum khusus bidang hukum sektoral.
1.
Asas-asas Hukum Umum Universal
Paul Scholten dalam makalahnya berjudul:
Rechtsbeginselen Amsterdam, 1941, bahwa asas hukum yang merupakan pikiran dasar
berakar pada akal-budi nurani manusia terdapat perbedaan berdasarkan derjat
keumumamnya. Ia menyebutkan ada lima jenis asas hukum umum universal yang
dinilai paling fundamental tatanan internal sistem hukum, yaitu: asas kebebasan
(yang diidealkan oleh asas kepribadian); asas cinta kasih (yang diidealkan oleh
asas kemasyarakatan), asas keadilan (yang diidealkan oleh asas persamaan); asas
kepatuhan (yang diidealkan oleh asas kewibawaan); dan asas pemisahan baik dan
buruk[3]
Di
lain pihak, D. Meuwissen, dalam artikelnya Ars Aequi 40, 1991, secara sederhana
membedakan asas hukum materiil dan asas hukum formal. Asas hukum materiil,
mencakup: asas respek terhadap kepribadian manusia; asas respek terhadap
aspek-aspek kerokhanian dan kejasmanian dari keberdaan manusia sebagai pribadi;
asas kepercayaan yang menuntut sikap timbal balik; asas pertanggungjawaban; dan
Asasasas hukum formal, mencakup: asas konsistensi; asas kepastian; dan asas
persamaan[4]
Menarik
analisis Budiono Kusumohamidjojo (Kusumohamidjojo: 2016), memaparkan bahwa ada
dua golongan prinsip (berasal dari bahasa Latin: principum arti arfiahnya awal
atau asal usul, dalam bahasa Inggris menjadi principal diterjemahkan prinsip
atau asas (Indonesia). Budiono menggolongkan prinsip atau asas atas “asas
sistematik” dan asas “aksiomatik”. Asas atau prinsip sistematik suatu struktur
yang logis suatu sistem yang bermakna sama dengan rumusan prinsip yang
bersangkutan. Di balik itu asas atau prinsip aksiomatik, hasil suatu pengamatan
berdasarkan postulat yang tidak bisa diperdebatkan. Prinsip ini disebut dogma
yang sama artinya dengan doktrin[5]
Selanjutnya
dari asas atau prinsip sistematik, disebutkan ada lima prinsip hukum universal,
dengan mengutip Article 38. 1. c the International Justice Statute yang
menyebutkan: “general principle law recognized by civilized nations” (prinsip
hukum umum yang diakui bangsa-banga beradab/ berbudaya).
Prinsip
atau asas yang bersifaf aksiomatik yang diterima sebagai doktrin dalam
dogmatika yakni prinsip yang tidak dapat dibantah, beberapa asas-asas umum
universal yang telah dikenal luas, diantarnaya:
Ius
cogens, doktrin bahwa hukum normanya bersifat memaksa (peremptory norm).
Beberapa prinsip Ius cogens yakni larangan terhadap penggunaan kekerasan
genoside dan penghormatan hak asasi yang mendasar (misalnya hak hidup, hak
untuk tidak disiksa).
Pacta
sund servanda, doktrin perjanjian harus ditaati (sanctity of contract), prinsip
ini bersandar pada asas itikad baik (bonafides) logikanya tidak ada gunanya
jika sejak semula kontrak dibuat untuk dilanggar.
Nebis
in idem, lengkapnya “bis de eadem re ne sit action”mengandung arti arfiah dua
kali dalam kasus tidak ada pengadilan. Asas hukum universal ini sudah berlaku
dari zaman Romawi, dimaknai “suatu subyek hukum tidak bisa diadili untuk suatu
tuduhan yang sama, terhadap mana sebelumnya sudah penah dilakukan proses hukum
yang tuntas dan mengikat.
Nemo
iudex in causa sua, asas nemo iudex, dimaknai bahwa tidak ada orang yang boleh
diadili oleh hakim yang berkepentingan, prinsip ini didukung doktrin “no
conflict of interest” diberlakukan ketat, hakim harus mengundurkan diri atas
suatu perkara jika dalam perkara itu ada kelurganya sebagai pihak diadili.
Bahkan doktrin ini daya lakunya diperluas mengikat terhadap advokat, konsultan,
dan pejabat pajak.
Non
ultra petita, doktrin ini berasal dari bahasa Latin, lengkapnya: “Ne eat iudex
ultra petita partium”, arti arfiahnya: jangan membuat hakim meminta lebih dari
para pihak. Prinsip ini dimknai bahwa pengadilan/hakim dilarang memutus
melebihi dari apa yang dimohonkan atau digugat.
Ex
aequo et bono, doktrin ini dimaknai bahwa pada prinsipnya demi keadilan pengadilan/hakim
dapat memutus apa yang dipandang wajar dan adil yang diserahkan memutus
kepadanya oleh pihak yang berperkara[6]
2.
Asas-asas Hukum Umum Nasional
Asas-asas
ini mendasari tata kehidupan suatu negara bangsa (nation state) baik kehidupan
kenegaraannya (political life) maupun kehoidupan kemsyarakatannya (social life)[7]
Menurut penelitian asas-asas nasional Indonesia yang bersumber dan diderivasi
dari Pancasila, yaitu:
Asas
Manfaat, terkait dengan Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 bahwa “bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Terkait pula dengan
asas “fungsi sosial” Pasal 6 UUPA (UU No.5 Tahun 1960) bahwa “hak milik
mempunyai fungsi sosial”. Implikasi yuridisnya, hukum Indonesia tidak dapat
membenarkan penggunaan hak milik secara tidak wajar.
Asas
Usaha Bersama dan Kekeluargaan, terkait Pasal 33 ayat (1) UUD Negara RI Tahun
1945: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan”.
Menyebutan dalam teks “usaha bersama dengan asas kekeluargaan” jelas merupakan
satu nafas, sehingan usaha bersama dan asas kekeluargaan saling berseanyaman
atau jumbuh. Dengan asas usaha bersama dan kekeluargaan tata kehidupan
kenegaraan dan kemasyarakatan Indonesia modern yang cenderung berkembang kearah
indutrialisasi bergantung kepada IPTEK yang maju, harus tetap mempertahankan
kehidupan kegotong-royongan.
Asas
Demokrasi, terkait dengan Pasal 27 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945: “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
memjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dalam
kaonteks ini Asas Demokrasi refleksi dari equality before the law principle
(kesetaraan di muka hukum). Dengan demikian bagi bangsa Indonesia Asas Demokrsi
berdasar atas hukum, sehingga dalam kehidupan kenegaraan (political life) dan
kehidupan kemasyarakatan (social life), Indonesia adalah Negara Hukum yang
Demokratis.
Asas
Adil dan Merata, asas ini refleksi ideologis “Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia” karena itu asas adil dan merata mewarnai keseluruhan Tata
Hukum Nasional. Dalam sistem perekonomian nasional, berdasar atas “demokrasi
ekonomi” dengn prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan
kesatuan ekonomi nasional (Pasal 33 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945). Dengan
demikian tugas hukum bagi bangsa Indonesia adalah mewujudkan keadilan baik
keadilan procedural maupun keadilan substanti secara merata.
Asas
Perikehidupan dalam Keseimbangan, mengandung makna Tata Hukum Nasional menjamin
keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara dalam berbagai bidang
kehidupan sosial dan pemerintahan. Sehubungan dengan itu, hak dan kewajiban
warga negara diposisikan pada kedudukan yang seimbang.
Asas
Kesadaran Hukum, dimaknai baik warga masyarakat maupun penguasa, penegak hukum
harus dapat memahami, menghayati dan mematuhi hukum sesuai doktrin negara hukum
yang demokratis. Dengan prinsip kesadaran hukum, maka hukum dapat bekerja
sescara efikasi atau efektif mencapai tujuan keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan (doelmatigheid).
Asas
Kepercayaan pada diri sendiri, dimaknai dengan asas ini dalam pembangunan hukum
nasional Indonesia harus mendasarkan nilai-nilai, asas-asas, dan norma-norma
yang hidup dalam masyakat Indonesia yang sejiwa dengan Pancasila sebaga “sumber
dari segala sumber hukum negara[8]Asas-asas
Hukum Nasional melandasi pikiran dasar dan memberi arah nilai hukumiah-etis
bagi kaidah, aturan, asas-asas dan lembaga berkembang menjadi sistem hukum
nasional yang merupakan taranan hukum yang meliputi hukum tertulis dan hukum
tidak tertulis. Sistem Hukum Nasional meganut asas-asas yang mendasari
kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan bersumber pada pandangan hidup, cita
hukum (rechtside) Pancasila sumber materiil serasi dengan pandangan “keadilan
sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia.
3.
Asas-asas Hukum khusus atau Hukum Sektoral
Asas-asas
dalam Hukum Tata Negara, pertrama ditelusuri dari UUD 1945, dapat dijabarkan
pikiran-pikiran dasar yang seharusnya mendasari arah pembentukan dan penegakan
hukum positif. Asas tersebut refleksi dari cita hukum Pancasila, mencakup: (i)
Asas pengakuan atas hukum tertulis dan hukum tidak tertulis (hukum adat); (ii)
Asas pemeliharaan budi pekerti; (iii) Asas kedaulatan rakyat, (iv) Asas negara
hukum; (v) Asas pemerintahan konstitusional; dan (vi) Asas hierarkhi peraturan
perundang-undangan, (vii) Asas mengutamakan kemakmuran rakyat[9]
Dalam UU No.28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
disingkat UU Bebas KKN, ditentukan: (i) asas kepastian hukum bahwa dalam Negara
Hukum yang landasan penyelenggaraan kekuasaan negara mengutamakan landasan peraturan
perundangundangan, keadilan dan kepatutan dalam setiap kebijakan; (ii) asas
tertib penyelenggaraan negara, bahwa dalam pengendalian penyelenggaraan negara
fondasinya berlandaskan keteraturan, keserasian dan keseimbangan; (iii) asas
keterbukaan, bahwa penyelenggara negara wajib membuka diri terhadap hak warga
negara untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
dengan tetap memperhatikan perlindungan ata hak asasi dan rahasia negara; (iv)
asas proporsionalitas, bahwa penyelenggara negara mengutamakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban dalam melaksanakan otoritas atau kewengannya; (v) asas
profesionalitas, bahwa penyelenggara negara dalam melakasanakan kewenangannya
mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan peraturan
perundangundangan; dan (vi) asas akuntabilitas, bahwa setiap kebijakan
penyelenggara negara dampaknya diprtanggungjawabkan kepada rakyat Asas-Asas
Hukum Dalam Sistem Hukum pemegang kedaulatan sesuai ketentuan konstitusi.
(Pasal 3 UU No. 28 Tahun 2009). Dua asas Hukum Tata Negara yakni asas
keterbukaan (transparansi) dan akuntabilitas (pertanggungjawaban publik)
merupakan asas universal dalam “good governance principle”.
Asas-asas
Hukum Administrasi, beberapa asas yang penting yaitu “Asas-asas Umum Pemerintahan
Yang Baik (AAUPB) dari penelusuran literatur dikutip A.M.A. van Massen dam
bukunya “De Algemene beginselen van behoorlijk bestuur”; AAUPB, mencakup: (i)
Asas kepastian hukum; (ii) Asas keseimbangan; (iii) Asas kesamaan; (iii) Asas
Kecermatan; (iv) Asas motivasi pada setiap keputusan pemerintah; (v) Asas tidak
menyalahgunakan kewenang; (vi) Asas tidak bertindak sewenang-wenang; (vii) Asas
permainan yang wajar; (viii) Asas Keadilan atau kewajaran; (ix) Asas menanggapi
harapan yang wajar; (x) Asas peniadaan keputusan yang batal; (xi) Asas
perlindungan atas pandangan hidup yang wajar; (xii) Asas perlidungan atas
pandangan hidup atau cara hidup[10]
AAUPB
merupakan asas-asas yang sifatnya universal, seperti di Inggris disebut
“General Principle of Proper Administraration” dan di Belanda: “Algemene
Beginselen van Behoorlijk Bestuur” (ABB). Karena bersifat universal, sepanjang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila tentu asas ini dapat diterapkan, dan UU No.
5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 TAhun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
disingkat PTUN, menentukan pelanggaran terhadap AAUPB oleh Badan dan/atau
Pejabat Tata Usaha Negara, merupakan dasar untuk menggugat pemerintah. Ada 5
(lima) asas dari AAUPB yang dominan diterapkan dalam Jurisprudensi di Indonesia
yaitu: (i) asas larangan menyalahgunakan kewenangan (detournemant de povoir)
bahwa Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) dalam membuat Keputusan
Tata Usana Negara (KTUN) tidak boleh menyimpang dari tujuan UU yang menjadi
dasar kewenangnnya untuk melakukan “tindak pemerintahan”; (ii) asas larangan
bertindak sewenang-wenang (wilkeur) bahwa Badan dan/atau Pejabat TUN dalam
menetapkan keputusan atau tidak harus mempertimbangkan semua kepentingan dari
semua pihak yang tersangkut dengan keputusan itu atau dasar pertimbangan
keputusan Pejabat TUN harus rasional; (iii) asas larangan diskriminasi (asas
persamaan) bahwa Badan dan/ atau Pejabat TUN agar bertindak sama terhadap
kasus-kasus yang sama faktanya bertumpu pada prinsip persamaan hak dan
kewajiban bagi setiap orang (subyek hukum), (iv) asas bertindak cermat bahwa
Badan dan/atau Pejabat TUN senantiasa bertindak hati-hati agar tidak
menimbulkan kerugian terhadap warga masyarkat; dan (v) asas keseimbangan
(proporsionalitas) bahwa Badan dan/atau Pejabat TUN dalam menerapkan sanksi
administratif haruslah seimbang dengan bobot pelanggaran/kesalahan, sehingga
memenuhi rasa keadilan. Contoh: (1) jika pelanggaran atas garis sempadan hanya
selebar 40 cm tidak perlu seluruh gedung harus dibongkar; (2) hukuman jabatan
harus seimbang dengan kesalahan atau kelalaian pegawai[11]
Tahun
2014, diberlakukan UU No.30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan,
menentukan AAUPB, terdiri atas 7 (tujuh) asas, yaitu: (i) asas kepastian hukum;
(ii) asas kemanfaatan; (iii) asas ketidakberpihakan; (iv) asas kecermatan, (v)
asas tidak menyalah gunakan wewenang, (vi) asas keterbukaan, (vi) asas
kepentingan umum, dan (vii) asas pelayanan yang baik. Dari ketujuh asas
tersebut tampak ada dua asas tidak disebutkan secsra eksplisi baik dalam
literature maupun jurisprudensi di Indonesia yakni asas kepentingan umum, dan
asas pelayanan yang baik dalam penyelengaraan pemerintahan. Pengertian AAUPB
dalam Undang -Undang Administrasi Pemerintahan dijelasakan secara otentik pada
penjelasan Pasal 10 UU No. 30 Tahun 2014. Selanjutnya asas hukum yang penting
dalam Hukum Administrasi berkenaan doktrin tanggung gugat pemerintah
(government liability) terkait penyelengaraan pelayanan publik yakni: (i) asas
praesumtio iustse causa arti arfiahnya asas praduga keabsahan, dan (ii) asas
vicarious liability arti arfiahnya asas tanggung gugat/tanggunjawab terhadap
perbuatan orang lain). Kedua asas tersebut dianalisis, sebagai berikut: Asas
praesumptio iustse causa (asas praduga keabsahan) dimaknai bahwa setiap
tindakan pemerintahan dalam bentuk KTUN atau tindakan hukum di ranah hukum
perdata dan hukum publik harus dianggap sah sampai ada pencabutan atau
pembatalan oleh pejabat atau institusi hukum (pengadilan) yang berwenang. Asas
precarious liability (asas tanggung gugat terhadap perbuatan orang lain)
dimaknai atasan beertanggung gugat/bertanggung jawab pebuatan pegawai
bawahannya atas kerugian yang diderita oleh setiap orang atau badan hukum
perdata yang diakibatkan kesalahan jabatan dalam hal pegawai bawahannya
melakukan pelayanan publik; kesalah jabatan dalam pelayanan publik disebut
maladministrasi[12]
Asas-asas
Hukum Pidana, yang dipandang penting dan secara luas telah dikenal, yaitu: (i)
asas legalitas[13]
asas ini baik di Belanda maupun di Indonesia tercantum pada Pasal 1 ayat (1)
WvS (Wetboek van Strafsrecht Blanda) dan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) Indonesia. Asas legalitas dalam hukum pidana dikenal dengan adagium:
“nullum delictum noela poena previa lege poenali”. Secara singkat nulum crimen
sine lege berarti tidak ada tindak pidana tanpa undang-undang, dan noela poena
sine lege berarti tidak ada pidana tanpa unadang. Menurut Komariah Emong
Sapardjaja memahami bahwa adagium noela poene previa lege poenali, bahwa
undang-undanglah yang menetapkan dan membatasi perbuatan mana dan pidana
(sanksi) mana yang dapat dijatuhkan pada pelanggarnya[14]
Selanjutnya ia mengutip pendapat M.S. Groenhuijsen ada empat makna yang
terkandung dalam asas legalitas, dua yang petama ditujukan kepada legislator
(pembentu undang-undang) dan dua lainnya pedoman bagi hakim, sebagai berikut:
Pertama,
bahwa pembentuk undang-undang tidak boleh memberlakukan ketentuan pidana
berlaku mundur (surut). Kedua, bahwa semua perbuata yang dilarang harus dimuat
dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa
terdakwa melakukan perbuatan pidana berdasarkan hukum tidak tertulis atau hukum
kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi[15]
Asas-asas
berlakunya undang-undang pidana, yaitu: 1) asas teritorialitet atau asas
kewilayahaan dimaknai bahwa “ketentuan pidana Indonesia diterapkan bagi setiap
orang yang melakukan tindak pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia” (lihat Pasal 2 KUHP); asas teritorialitet ini diperluas dijabarkan
dalam Pasal 3 KUHP: “Ketentuan pidana dalam perundangundang pidana Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayan Indonesia melakukan tindak
pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”; 2) asas asas
nasionalitet atau asas kebangsaan aktif dimaknai bahwa “perunundang-undangan
pidana suatu negara tetap dapat diberlakukan terhadfap warga negaranya
dimanapun mereka berada, bahakan bila mereka berada di luar negeri”. (lihat Pasal
5 KUHP, Pasal 7 KUHP); 3) asas perlindungan atau asas kebangsaan pasif,
dimaknai: “berlakunya perundang-undangan pidana suatu negara tidak tergantung
pada tempat seorang pelaku telah melakukan tindak pidananya, melainkan pada
kepentingan hukum yang telah menjadi sasaran tindak pidana tersebut”, sehingga
negara yang kepentingan hukumnya menjadi sasara tindak pidana itu berwenang
untuk menghukum pelaku tindak pidana tersebut.
Asas
dalam hukum pidana yang perlu juga dipahami yaitu:
Asas
tiada hukuman tanpa kesalahan dimaknai bahwa setiap orang hanya dapat di pidana
jika si terdakwa dapat dibuktikan kesalahannya.
Asas-Asas
dalam Hukum Acara Pidana, yang dominan berkenaan dengan pembuktian, karena
menurut Hukum Acara Pidana dalam mencari “kebenaran materiil” alat bukti
“saksi” dipandang paling penting.
Asa-asas
Hukum di bidang Hukum Perdata, beberapa asas dalam hukum perdata, yaitu: (i)
asas kebebasan berkontrak, dimaknai bahwa para pihak yang sepakat mengikatkan
diri dalam suatu perjanjian wajib menaatinya sebagai undangundang; asas ini
dijabarkan dalam Pasal 1338 BW/ KUHPerd. alinea pertama: “Semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”; (ii) asas itikad baik, yakni pihak yang menjalankan kontrak dengan
itikad baik mendapat perlindungan hukum (Pasal 1338 alinea ketiga BW/KUHPerd);
(iii) asas permainan yang layak (fairness principle), dimaknai bahwa dalam
kebebasan berkontrak para pihak harus menaati prinsip kejujuran; menurut Peter
Mahmud Marzuki bahwa “kebebasan berkontrak” dibatasi oleh fairness principle,
karena itu meskipun “asas kebebasan berkontrak dijunjung tinggi, apabila asas
itu menimbulkan sesuatu yang bersifat unfair dan unfairness ini kemudian
membahayakan keselamatan pihak lawan, hakim harus mendahulukan keselamatan
pihak tersebut dan membatalkan klausula yang tidak mengandung fairness
tersebut”[16]
Asa-asas
Hukum di bidang Hukum Acara Perdata, prinsip-prinsip bagi hakim dan para pihak
yang berperkara untuk bertindak sesuai ketentuan formal beracara di muka
pengadilan.
Asas
hakim tidak memihak (asas obyektivitas), dimaknai bahwa hakim karena jabatannya
dalam memerikasa perkara tidak boleh memihak, dijabarkan dari ketentuan Pasal 5
ayat (1) dan Pasal 4 ayat (3) UU Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Asas
Putusan Harus Disertai Alasan-alasan, dimaknai bahwa semua putusan pengadilan
harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Catatan
akhir analisis asas-asas hukum lingkungan yang merupakan contoh bidang hukum
sektoral fungsional yang juga dikenal sebagai “payung hukum” (umbrella law)
dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagai diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009
tentang Lingkungan Hidup.
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
1. Asas hukum adalah aturan dasar dan
prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatar belakangi peraturan konkret
2. - Fungsi Taat Asas (konsisten)
- Fungsi Mengatasi Konflik
- Fungsi Rekayasa Sosial
3. Jenis-jenis
asas-asas hukum terbagi 3 yaitu:
a. asas-asas hukum umum universal
b. asas-asas hukum umum nasional
c. asas-asas hukum khusus ata hukum
sektoral
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini, kami sebagai penulis
menyadari bahwa dalam pembahasan masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu
saran dan kritik sangat kami butuhkan dalam memperbaiki makalah berikutnya.
Semoga makalah ini bermanfaat khususnya untuk penulis dan pembaca.
[1] Achmad
Ali, Menguak Teori Hukum Legal Theory Dan
Teori Peradilan Judicialprudance. Kencana, Makasar, 2007,hlm. 14.
[2]
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.unpas.ac.id/
[3] J.J.H. Bruggink, op.cit., hal. 135
[4] Ibid
[5] Budiono Kusumohamidjjo, Teori Hukum
Dilema antara Hukum dan Kekuasaan, Yrama Widya, Bandung, 2016, hal. 193.
[6]Ibid, hal 201, 202, 203, dan 26.
[7] M. Soly Lubis, “ASas-Asas HUkum
Nasional Di Bidang Hukum Tata Negara”, dalam Majalah Hukum Nasional No 2, 1989,
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Jakarta, hal. 46.
[8] 19. Ibid. hal. 47, lihat juga,
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum
Di Indonesia, 1945-1990, Muhammadyah University Press Surakarta, 2005, hal.
195.
[9] Moh. Koesnoe, “Nilai-nilai Dasar Tata
Hukum Nasional Kita”, Makalah dalam Pra Seminar: Identitas Hukum Nasional,
19-21 Oktober 1987 di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, hal. 16.
[10] M. Solly Lubis, op.cit, hal. 60.
[11] W. Riawan Tjandra, Hukum Administrasi
Negara, Universitas Atma Jaya, Yoyakarta, 2008, hal. 83
[12] Philipus M. Hadjon, dkk., Hukum
Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 2012, hal. 21.
[13] Menurut Dupont (1990) “asas legalitas
adsalah asas yang paling penting dalam huklum pidana”; lihat, Ny. Komariah Emonng
Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan – Hukum Materiil Dalam Hukum Pidana Indonesia
Studi Kasus tentang Penerapan dan perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni,
Bandung, 2002, hal.6
[15] Ibid.
[16] Peter
Mahmud Marzuki, “ Tugas Teori Hukum”, Makalah Hukum Universitas Airlangga, hal.
14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar