--> FUNGSI ASAS HUKUM | Fragmen Ilmiah

Himpunan Makalah, Skripsi, dan Jurnal

Total Tayangan Halaman

03/10/19

FUNGSI ASAS HUKUM

| 03/10/19
BAB 2
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
            Asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatar belakangi  peraturan konkret dan pelaksanaan hukum dalam bahasa isnggris, kata “ asas” diformatkan sebagai “principle”, peraturan konkret seperti undang-undang tidak boleh bertentangan dengan asas hukum, demikian pla dalam putusan hakim, pelaksanaan hukum, hukum dasar, dasar sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat dan sistem hukum yang di pertegas oleh Milovanovie[1]
            Tentang batasan pengertian asas hukum ada beberapa pendapat yang
dikemukakan oleh  beberapa ahli yaitu:
1. Bellefroid, berpendapat bahwa asas hukum adalah norma dasar yang  dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan- aturan yang lebih umum.
2. Van Scholten, berpendapat bahwa asas hukum adalah kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum dan merupakan sifat- sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.
3. Van Eikema Hommes, berpendapat  asas hukum bukanlah norma-norma hukum konkrit, tetapi ia adalah sebagai dasar-dasar pikiran umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku.
4. Van der Velden, berpendapat asas hukum adalah tipe putusan yang digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman berperilaku.[2]

B. FUNGSI ASAS HUKUM
Fungsi asas hukum di uraikan Achmad Ali yang membagi kedalam beberapa fungsi sebagai berikut:
1. Fungsi Taat Asas (konsisten)
Fungsi taat asas dari hukum itu adalah bagaimana konsistensi dapat terjamin dalam sistem hukum. Contohnya dalam hukum asas perdata dianut asas pasif bagi hakim, artinya hakim hanya memeriksa dan mengadili pokok persengketaan yang ditentukan oleh para pihak yang berperkara.
2. Fungsi Mengatasi Konflik
Fungsi ini merupakan fungsi penting dari asas hukum, Asas lex superior derogat legi inferiori adalah asas yang mengatur bahwa peraturan hukum yang lebih tinggi hirarkinya harus didahulukan dari pada peraturan hukum yang lebih rendah. Jika suatu peraturan walikota bertentangan dengan peraturan-peraturan Gubernur maka harus diberlakukan peraturan
Gubernur.
3. Fungsi Rekayasa Sosial
Mengemukakan bahwa dilihat dari fungsi hukum sebagai alat perekayasa sosial (a tool of social engineering), maka sebenarnya suatu asas hukumpun dapat difungsikan sebagai alat perekayasa sosial. Hal ini tentunya tergantung pada inisiatif dan kreativitas para pelaksana dan penentu kebijakan hukum, sebagai contoh untuk ini adanya asas tidak ada keharusan untuk mewakilkan sebaliknya diganti dengan asas keharusan untuk mewakilkan, sebagai salah satu bentuk rekayasa sosial dibidang asas hukum, oleh karena itu dengan asas ini proses pengadilan setidaknya dapat berlangsung cepat, serta juga dapat mengaktifkan lebih banyak penggunaan sarjana hukum.

C. JENIS JENIS ASAS HUKUM
Jenis-Jenis Asas-Asas Hukum Beranjak pada pandangan tatanan internal sistem hukum bahwa asas-asas hukum bagian materiil dalam tata hukum positif, jenisnya dapat dirinci, menjadi tiga kelompok yaitu: asas-asas hukum umum universal; asas-asas hukum umum nasional; dan asas-asas hukum khusus bidang hukum sektoral.
1. Asas-asas Hukum Umum Universal
 Paul Scholten dalam makalahnya berjudul: Rechtsbeginselen Amsterdam, 1941, bahwa asas hukum yang merupakan pikiran dasar berakar pada akal-budi nurani manusia terdapat perbedaan berdasarkan derjat keumumamnya. Ia menyebutkan ada lima jenis asas hukum umum universal yang dinilai paling fundamental tatanan internal sistem hukum, yaitu: asas kebebasan (yang diidealkan oleh asas kepribadian); asas cinta kasih (yang diidealkan oleh asas kemasyarakatan), asas keadilan (yang diidealkan oleh asas persamaan); asas kepatuhan (yang diidealkan oleh asas kewibawaan); dan asas pemisahan baik dan buruk[3]
Di lain pihak, D. Meuwissen, dalam artikelnya Ars Aequi 40, 1991, secara sederhana membedakan asas hukum materiil dan asas hukum formal. Asas hukum materiil, mencakup: asas respek terhadap kepribadian manusia; asas respek terhadap aspek-aspek kerokhanian dan kejasmanian dari keberdaan manusia sebagai pribadi; asas kepercayaan yang menuntut sikap timbal balik; asas pertanggungjawaban; dan Asasasas hukum formal, mencakup: asas konsistensi; asas kepastian; dan asas persamaan[4]
Menarik analisis Budiono Kusumohamidjojo (Kusumohamidjojo: 2016), memaparkan bahwa ada dua golongan prinsip (berasal dari bahasa Latin: principum arti arfiahnya awal atau asal usul, dalam bahasa Inggris menjadi principal diterjemahkan prinsip atau asas (Indonesia). Budiono menggolongkan prinsip atau asas atas “asas sistematik” dan asas “aksiomatik”. Asas atau prinsip sistematik suatu struktur yang logis suatu sistem yang bermakna sama dengan rumusan prinsip yang bersangkutan. Di balik itu asas atau prinsip aksiomatik, hasil suatu pengamatan berdasarkan postulat yang tidak bisa diperdebatkan. Prinsip ini disebut dogma yang sama artinya dengan doktrin[5]
Selanjutnya dari asas atau prinsip sistematik, disebutkan ada lima prinsip hukum universal, dengan mengutip Article 38. 1. c the International Justice Statute yang menyebutkan: “general principle law recognized by civilized nations” (prinsip hukum umum yang diakui bangsa-banga beradab/ berbudaya).
Prinsip atau asas yang bersifaf aksiomatik yang diterima sebagai doktrin dalam dogmatika yakni prinsip yang tidak dapat dibantah, beberapa asas-asas umum universal yang telah dikenal luas, diantarnaya:
Ius cogens, doktrin bahwa hukum normanya bersifat memaksa (peremptory norm). Beberapa prinsip Ius cogens yakni larangan terhadap penggunaan kekerasan genoside dan penghormatan hak asasi yang mendasar (misalnya hak hidup, hak untuk tidak disiksa).
Pacta sund servanda, doktrin perjanjian harus ditaati (sanctity of contract), prinsip ini bersandar pada asas itikad baik (bonafides) logikanya tidak ada gunanya jika sejak semula kontrak dibuat untuk dilanggar.
Nebis in idem, lengkapnya “bis de eadem re ne sit action”mengandung arti arfiah dua kali dalam kasus tidak ada pengadilan. Asas hukum universal ini sudah berlaku dari zaman Romawi, dimaknai “suatu subyek hukum tidak bisa diadili untuk suatu tuduhan yang sama, terhadap mana sebelumnya sudah penah dilakukan proses hukum yang tuntas dan mengikat.
Nemo iudex in causa sua, asas nemo iudex, dimaknai bahwa tidak ada orang yang boleh diadili oleh hakim yang berkepentingan, prinsip ini didukung doktrin “no conflict of interest” diberlakukan ketat, hakim harus mengundurkan diri atas suatu perkara jika dalam perkara itu ada kelurganya sebagai pihak diadili. Bahkan doktrin ini daya lakunya diperluas mengikat terhadap advokat, konsultan, dan pejabat pajak.
Non ultra petita, doktrin ini berasal dari bahasa Latin, lengkapnya: “Ne eat iudex ultra petita partium”, arti arfiahnya: jangan membuat hakim meminta lebih dari para pihak. Prinsip ini dimknai bahwa pengadilan/hakim dilarang memutus melebihi dari apa yang dimohonkan atau digugat.
Ex aequo et bono, doktrin ini dimaknai bahwa pada prinsipnya demi keadilan pengadilan/hakim dapat memutus apa yang dipandang wajar dan adil yang diserahkan memutus kepadanya oleh pihak yang berperkara[6]
2. Asas-asas Hukum Umum Nasional
Asas-asas ini mendasari tata kehidupan suatu negara bangsa (nation state) baik kehidupan kenegaraannya (political life) maupun kehoidupan kemsyarakatannya (social life)[7] Menurut penelitian asas-asas nasional Indonesia yang bersumber dan diderivasi dari Pancasila, yaitu:
Asas Manfaat, terkait dengan Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Terkait pula dengan asas “fungsi sosial” Pasal 6 UUPA (UU No.5 Tahun 1960) bahwa “hak milik mempunyai fungsi sosial”. Implikasi yuridisnya, hukum Indonesia tidak dapat membenarkan penggunaan hak milik secara tidak wajar.
Asas Usaha Bersama dan Kekeluargaan, terkait Pasal 33 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan”. Menyebutan dalam teks “usaha bersama dengan asas kekeluargaan” jelas merupakan satu nafas, sehingan usaha bersama dan asas kekeluargaan saling berseanyaman atau jumbuh. Dengan asas usaha bersama dan kekeluargaan tata kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan Indonesia modern yang cenderung berkembang kearah indutrialisasi bergantung kepada IPTEK yang maju, harus tetap mempertahankan kehidupan kegotong-royongan.
Asas Demokrasi, terkait dengan Pasal 27 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib memjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dalam kaonteks ini Asas Demokrasi refleksi dari equality before the law principle (kesetaraan di muka hukum). Dengan demikian bagi bangsa Indonesia Asas Demokrsi berdasar atas hukum, sehingga dalam kehidupan kenegaraan (political life) dan kehidupan kemasyarakatan (social life), Indonesia adalah Negara Hukum yang Demokratis.
Asas Adil dan Merata, asas ini refleksi ideologis “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” karena itu asas adil dan merata mewarnai keseluruhan Tata Hukum Nasional. Dalam sistem perekonomian nasional, berdasar atas “demokrasi ekonomi” dengn prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional (Pasal 33 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945). Dengan demikian tugas hukum bagi bangsa Indonesia adalah mewujudkan keadilan baik keadilan procedural maupun keadilan substanti secara merata.
Asas Perikehidupan dalam Keseimbangan, mengandung makna Tata Hukum Nasional menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara dalam berbagai bidang kehidupan sosial dan pemerintahan. Sehubungan dengan itu, hak dan kewajiban warga negara diposisikan pada kedudukan yang seimbang.
Asas Kesadaran Hukum, dimaknai baik warga masyarakat maupun penguasa, penegak hukum harus dapat memahami, menghayati dan mematuhi hukum sesuai doktrin negara hukum yang demokratis. Dengan prinsip kesadaran hukum, maka hukum dapat bekerja sescara efikasi atau efektif mencapai tujuan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan (doelmatigheid).
Asas Kepercayaan pada diri sendiri, dimaknai dengan asas ini dalam pembangunan hukum nasional Indonesia harus mendasarkan nilai-nilai, asas-asas, dan norma-norma yang hidup dalam masyakat Indonesia yang sejiwa dengan Pancasila sebaga “sumber dari segala sumber hukum negara[8]Asas-asas Hukum Nasional melandasi pikiran dasar dan memberi arah nilai hukumiah-etis bagi kaidah, aturan, asas-asas dan lembaga berkembang menjadi sistem hukum nasional yang merupakan taranan hukum yang meliputi hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Sistem Hukum Nasional meganut asas-asas yang mendasari kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan bersumber pada pandangan hidup, cita hukum (rechtside) Pancasila sumber materiil serasi dengan pandangan “keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Asas-asas Hukum khusus atau Hukum Sektoral
Asas-asas dalam Hukum Tata Negara, pertrama ditelusuri dari UUD 1945, dapat dijabarkan pikiran-pikiran dasar yang seharusnya mendasari arah pembentukan dan penegakan hukum positif. Asas tersebut refleksi dari cita hukum Pancasila, mencakup: (i) Asas pengakuan atas hukum tertulis dan hukum tidak tertulis (hukum adat); (ii) Asas pemeliharaan budi pekerti; (iii) Asas kedaulatan rakyat, (iv) Asas negara hukum; (v) Asas pemerintahan konstitusional; dan (vi) Asas hierarkhi peraturan perundang-undangan, (vii) Asas mengutamakan kemakmuran rakyat[9]
 Dalam UU No.28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, disingkat UU Bebas KKN, ditentukan: (i) asas kepastian hukum bahwa dalam Negara Hukum yang landasan penyelenggaraan kekuasaan negara mengutamakan landasan peraturan perundangundangan, keadilan dan kepatutan dalam setiap kebijakan; (ii) asas tertib penyelenggaraan negara, bahwa dalam pengendalian penyelenggaraan negara fondasinya berlandaskan keteraturan, keserasian dan keseimbangan; (iii) asas keterbukaan, bahwa penyelenggara negara wajib membuka diri terhadap hak warga negara untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dengan tetap memperhatikan perlindungan ata hak asasi dan rahasia negara; (iv) asas proporsionalitas, bahwa penyelenggara negara mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam melaksanakan otoritas atau kewengannya; (v) asas profesionalitas, bahwa penyelenggara negara dalam melakasanakan kewenangannya mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan peraturan perundangundangan; dan (vi) asas akuntabilitas, bahwa setiap kebijakan penyelenggara negara dampaknya diprtanggungjawabkan kepada rakyat Asas-Asas Hukum Dalam Sistem Hukum pemegang kedaulatan sesuai ketentuan konstitusi. (Pasal 3 UU No. 28 Tahun 2009). Dua asas Hukum Tata Negara yakni asas keterbukaan (transparansi) dan akuntabilitas (pertanggungjawaban publik) merupakan asas universal dalam “good governance principle”.
Asas-asas Hukum Administrasi, beberapa asas yang penting yaitu “Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) dari penelusuran literatur dikutip A.M.A. van Massen dam bukunya “De Algemene beginselen van behoorlijk bestuur”; AAUPB, mencakup: (i) Asas kepastian hukum; (ii) Asas keseimbangan; (iii) Asas kesamaan; (iii) Asas Kecermatan; (iv) Asas motivasi pada setiap keputusan pemerintah; (v) Asas tidak menyalahgunakan kewenang; (vi) Asas tidak bertindak sewenang-wenang; (vii) Asas permainan yang wajar; (viii) Asas Keadilan atau kewajaran; (ix) Asas menanggapi harapan yang wajar; (x) Asas peniadaan keputusan yang batal; (xi) Asas perlindungan atas pandangan hidup yang wajar; (xii) Asas perlidungan atas pandangan hidup atau cara hidup[10]
AAUPB merupakan asas-asas yang sifatnya universal, seperti di Inggris disebut “General Principle of Proper Administraration” dan di Belanda: “Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur” (ABB). Karena bersifat universal, sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila tentu asas ini dapat diterapkan, dan UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 TAhun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara disingkat PTUN, menentukan pelanggaran terhadap AAUPB oleh Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara, merupakan dasar untuk menggugat pemerintah. Ada 5 (lima) asas dari AAUPB yang dominan diterapkan dalam Jurisprudensi di Indonesia yaitu: (i) asas larangan menyalahgunakan kewenangan (detournemant de povoir) bahwa Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) dalam membuat Keputusan Tata Usana Negara (KTUN) tidak boleh menyimpang dari tujuan UU yang menjadi dasar kewenangnnya untuk melakukan “tindak pemerintahan”; (ii) asas larangan bertindak sewenang-wenang (wilkeur) bahwa Badan dan/atau Pejabat TUN dalam menetapkan keputusan atau tidak harus mempertimbangkan semua kepentingan dari semua pihak yang tersangkut dengan keputusan itu atau dasar pertimbangan keputusan Pejabat TUN harus rasional; (iii) asas larangan diskriminasi (asas persamaan) bahwa Badan dan/ atau Pejabat TUN agar bertindak sama terhadap kasus-kasus yang sama faktanya bertumpu pada prinsip persamaan hak dan kewajiban bagi setiap orang (subyek hukum), (iv) asas bertindak cermat bahwa Badan dan/atau Pejabat TUN senantiasa bertindak hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian terhadap warga masyarkat; dan (v) asas keseimbangan (proporsionalitas) bahwa Badan dan/atau Pejabat TUN dalam menerapkan sanksi administratif haruslah seimbang dengan bobot pelanggaran/kesalahan, sehingga memenuhi rasa keadilan. Contoh: (1) jika pelanggaran atas garis sempadan hanya selebar 40 cm tidak perlu seluruh gedung harus dibongkar; (2) hukuman jabatan harus seimbang dengan kesalahan atau kelalaian pegawai[11]
Tahun 2014, diberlakukan UU No.30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, menentukan AAUPB, terdiri atas 7 (tujuh) asas, yaitu: (i) asas kepastian hukum; (ii) asas kemanfaatan; (iii) asas ketidakberpihakan; (iv) asas kecermatan, (v) asas tidak menyalah gunakan wewenang, (vi) asas keterbukaan, (vi) asas kepentingan umum, dan (vii) asas pelayanan yang baik. Dari ketujuh asas tersebut tampak ada dua asas tidak disebutkan secsra eksplisi baik dalam literature maupun jurisprudensi di Indonesia yakni asas kepentingan umum, dan asas pelayanan yang baik dalam penyelengaraan pemerintahan. Pengertian AAUPB dalam Undang -Undang Administrasi Pemerintahan dijelasakan secara otentik pada penjelasan Pasal 10 UU No. 30 Tahun 2014. Selanjutnya asas hukum yang penting dalam Hukum Administrasi berkenaan doktrin tanggung gugat pemerintah (government liability) terkait penyelengaraan pelayanan publik yakni: (i) asas praesumtio iustse causa arti arfiahnya asas praduga keabsahan, dan (ii) asas vicarious liability arti arfiahnya asas tanggung gugat/tanggunjawab terhadap perbuatan orang lain). Kedua asas tersebut dianalisis, sebagai berikut: Asas praesumptio iustse causa (asas praduga keabsahan) dimaknai bahwa setiap tindakan pemerintahan dalam bentuk KTUN atau tindakan hukum di ranah hukum perdata dan hukum publik harus dianggap sah sampai ada pencabutan atau pembatalan oleh pejabat atau institusi hukum (pengadilan) yang berwenang. Asas precarious liability (asas tanggung gugat terhadap perbuatan orang lain) dimaknai atasan beertanggung gugat/bertanggung jawab pebuatan pegawai bawahannya atas kerugian yang diderita oleh setiap orang atau badan hukum perdata yang diakibatkan kesalahan jabatan dalam hal pegawai bawahannya melakukan pelayanan publik; kesalah jabatan dalam pelayanan publik disebut maladministrasi[12]
Asas-asas Hukum Pidana, yang dipandang penting dan secara luas telah dikenal, yaitu: (i) asas legalitas[13] asas ini baik di Belanda maupun di Indonesia tercantum pada Pasal 1 ayat (1) WvS (Wetboek van Strafsrecht Blanda) dan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Indonesia. Asas legalitas dalam hukum pidana dikenal dengan adagium: “nullum delictum noela poena previa lege poenali”. Secara singkat nulum crimen sine lege berarti tidak ada tindak pidana tanpa undang-undang, dan noela poena sine lege berarti tidak ada pidana tanpa unadang. Menurut Komariah Emong Sapardjaja memahami bahwa adagium noela poene previa lege poenali, bahwa undang-undanglah yang menetapkan dan membatasi perbuatan mana dan pidana (sanksi) mana yang dapat dijatuhkan pada pelanggarnya[14] Selanjutnya ia mengutip pendapat M.S. Groenhuijsen ada empat makna yang terkandung dalam asas legalitas, dua yang petama ditujukan kepada legislator (pembentu undang-undang) dan dua lainnya pedoman bagi hakim, sebagai berikut:
Pertama, bahwa pembentuk undang-undang tidak boleh memberlakukan ketentuan pidana berlaku mundur (surut). Kedua, bahwa semua perbuata yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana berdasarkan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi[15]
Asas-asas berlakunya undang-undang pidana, yaitu: 1) asas teritorialitet atau asas kewilayahaan dimaknai bahwa “ketentuan pidana Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” (lihat Pasal 2 KUHP); asas teritorialitet ini diperluas dijabarkan dalam Pasal 3 KUHP: “Ketentuan pidana dalam perundangundang pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayan Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”; 2) asas asas nasionalitet atau asas kebangsaan aktif dimaknai bahwa “perunundang-undangan pidana suatu negara tetap dapat diberlakukan terhadfap warga negaranya dimanapun mereka berada, bahakan bila mereka berada di luar negeri”. (lihat Pasal 5 KUHP, Pasal 7 KUHP); 3) asas perlindungan atau asas kebangsaan pasif, dimaknai: “berlakunya perundang-undangan pidana suatu negara tidak tergantung pada tempat seorang pelaku telah melakukan tindak pidananya, melainkan pada kepentingan hukum yang telah menjadi sasaran tindak pidana tersebut”, sehingga negara yang kepentingan hukumnya menjadi sasara tindak pidana itu berwenang untuk menghukum pelaku tindak pidana tersebut.
Asas dalam hukum pidana yang perlu juga dipahami yaitu:
Asas tiada hukuman tanpa kesalahan dimaknai bahwa setiap orang hanya dapat di pidana jika si terdakwa dapat dibuktikan kesalahannya.
Asas-Asas dalam Hukum Acara Pidana, yang dominan berkenaan dengan pembuktian, karena menurut Hukum Acara Pidana dalam mencari “kebenaran materiil” alat bukti “saksi” dipandang paling penting.
Asa-asas Hukum di bidang Hukum Perdata, beberapa asas dalam hukum perdata, yaitu: (i) asas kebebasan berkontrak, dimaknai bahwa para pihak yang sepakat mengikatkan diri dalam suatu perjanjian wajib menaatinya sebagai undangundang; asas ini dijabarkan dalam Pasal 1338 BW/ KUHPerd. alinea pertama: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”; (ii) asas itikad baik, yakni pihak yang menjalankan kontrak dengan itikad baik mendapat perlindungan hukum (Pasal 1338 alinea ketiga BW/KUHPerd); (iii) asas permainan yang layak (fairness principle), dimaknai bahwa dalam kebebasan berkontrak para pihak harus menaati prinsip kejujuran; menurut Peter Mahmud Marzuki bahwa “kebebasan berkontrak” dibatasi oleh fairness principle, karena itu meskipun “asas kebebasan berkontrak dijunjung tinggi, apabila asas itu menimbulkan sesuatu yang bersifat unfair dan unfairness ini kemudian membahayakan keselamatan pihak lawan, hakim harus mendahulukan keselamatan pihak tersebut dan membatalkan klausula yang tidak mengandung fairness tersebut”[16]
Asa-asas Hukum di bidang Hukum Acara Perdata, prinsip-prinsip bagi hakim dan para pihak yang berperkara untuk bertindak sesuai ketentuan formal beracara di muka pengadilan.
Asas hakim tidak memihak (asas obyektivitas), dimaknai bahwa hakim karena jabatannya dalam memerikasa perkara tidak boleh memihak, dijabarkan dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (3) UU Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Asas Putusan Harus Disertai Alasan-alasan, dimaknai bahwa semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Catatan akhir analisis asas-asas hukum lingkungan yang merupakan contoh bidang hukum sektoral fungsional yang juga dikenal sebagai “payung hukum” (umbrella law) dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagai diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup.

BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
1. Asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatar belakangi  peraturan konkret
2. - Fungsi Taat Asas (konsisten)
    - Fungsi Mengatasi Konflik
    - Fungsi Rekayasa Sosial
3. Jenis-jenis asas-asas hukum terbagi 3 yaitu:
            a. asas-asas hukum umum universal
            b. asas-asas hukum umum nasional
            c. asas-asas hukum khusus ata hukum sektoral

B. Saran
            Dalam penyusunan makalah ini, kami sebagai penulis menyadari bahwa dalam pembahasan masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik sangat kami butuhkan dalam memperbaiki makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya untuk penulis dan pembaca.



[1] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum Legal Theory Dan Teori Peradilan Judicialprudance. Kencana, Makasar, 2007,hlm. 14.
[2] https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.unpas.ac.id/
[3] J.J.H. Bruggink, op.cit., hal. 135
[4] Ibid
[5] Budiono Kusumohamidjjo, Teori Hukum Dilema antara Hukum dan Kekuasaan, Yrama Widya, Bandung, 2016, hal. 193.
[6]Ibid, hal 201, 202, 203, dan 26.
[7] M. Soly Lubis, “ASas-Asas HUkum Nasional Di Bidang Hukum Tata Negara”, dalam Majalah Hukum Nasional No 2, 1989, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Jakarta, hal. 46.
[8] 19. Ibid. hal. 47, lihat juga, Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia, 1945-1990, Muhammadyah University Press Surakarta, 2005, hal. 195.
[9] Moh. Koesnoe, “Nilai-nilai Dasar Tata Hukum Nasional Kita”, Makalah dalam Pra Seminar: Identitas Hukum Nasional, 19-21 Oktober 1987 di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, hal. 16.
[10] M. Solly Lubis, op.cit, hal. 60.
[11] W. Riawan Tjandra, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atma Jaya, Yoyakarta, 2008, hal. 83
[12] Philipus M. Hadjon, dkk., Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2012, hal. 21.
[13] Menurut Dupont (1990) “asas legalitas adsalah asas yang paling penting dalam huklum pidana”; lihat, Ny. Komariah Emonng Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan – Hukum Materiil Dalam Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 2002, hal.6
[14] ibid.  
[15] Ibid.
[16] Peter Mahmud Marzuki, “ Tugas Teori Hukum”, Makalah Hukum Universitas Airlangga, hal. 14

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar