KRISIS KOMUNIKASI“UU ITE”
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR
BELAKANG
Dinegara kita terkenal dengan Undang-Undang yang
berlaku untuk semua masyarakat Indonesia yang melakukan pelanggaran baik itu
pemerintahan ataupun masyarakat umum. Untuk dunia informasi teknologi dan
elektronik dikenal dengan UU ITE. Undang-Undang ITE ini sendiri dibuat
berdasarkan keputusan anggota dewan pada tahun 2008. Keputusan ini dibuat
berdasarkan musyawarah mufakat untuk melakukan hukuman bagi para pelanggar
terutama di bidang informasi teknologi elektronik.
Untuk dunia maya atau lebih dikenal dengan cyber
sudah semakin kita kenal dekat dengan kehidupan sehari-hari di kalangan
masyarakat Indonesia. Contoh yang paling gampang adalah situs jejaring sosial
yang saat ini ratingnya sangat bagus dalam dunia pertemanan yaitu Facebook. Di
dunia facebook itu sendiri sering terjadi pelanggaran yang disalahkan oleh
pengguna facebook itu sendiri yang bisa mengakibatkan nyawa seseorang
menghilang. Untuk pengguna facebook sendiri dibuat UU ITE No 11 Tahun 2008, ada tiga ancaman yang dibawa UU ITE
yang berpotensi menimpa facebook di Indonesia yaitu ancaman pelanggaran
kesusilaan [Pasal 27 ayat (1)], penghinaan/pencemaran nama baik [Pasal 27 ayat (3)] dan penyebaran kebencian berdasarkan
suku,agama dan ras (SARA) diatur oleh [Pasal 28 ayat (2)].
Dari undang-undang ITE ini bisa dilihat kalau dunia maya itu tidak sebaik yang
kita kira,kalau kita memakai jejaring sosial ini dengan semena-mena tidak
menutup kemungkinan kita bisa dijerat oleh UU ITE dengan pasal-pasal yang ada.
Tidak hanya untuk dunia maya seperti jejaring sosial
yang bisa menjerat kita dalam UU ITE, untuk kasus lainnya seperti menyebar
video-video porno melalui alat komunikasi serta pencemaran nama baik melalu
media televisi atau radio atau menulisnya dalam sebuah blog yang mayoritasnya
bisa diakses oleh para pengguna dunia maya, semua itu pun mempunyai
undang-undang ITE.
BAB II
PEMBAHASAN
A.BERITA KASUS UU ITE
Jakarta,
CNN Indonesia -- Nama mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara
Barat (NTB), Baiq Nuril Maknun, menuai perbincangan usai
dinyatakan bersalah menyebarkan rekaman bermuatan kesusilaan dan dihukum enam
bulan penjara serta denda Rp500 juta dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA).Baiq Nuril pun merasa
diperlakukan tidak adil lantaran dirinya adalah korban kasus perbuatan
pelecehan yang dilakukan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, M. Pelecehan itu disebutnya
terjadi lebih dari sekali.Rentetan kasus pelecehan itu dimulai pada medio 2012.
Saat itu, Baiq masih berstatus sebagai Pegawai Honorer di SMAN 7 Mataram. Satu
ketika dia ditelepon oleh M.
Perbincangan
antara M dan Baiq berlangsung selama kurang lebih 20 menit. Dari 20 menit
perbincangan itu, hanya sekitar 5 menitnya yang membicarakan soal pekerjaan.
Sisanya, M malah bercerita soal pengalaman seksualnya bersama dengan wanita
yang bukan istrinya.
Perbincangan itu pun terus berlanjut dengan nada-nada pelecehan terhadap Baiq. Terlebih M menelepon Baiq lebih dari sekali. Baiq pun merasa terganggu dan merasa dilecehkan oleh M melalui verbal. Tak hanya itu, orang-orang di sekitarnya menuduhnya memiliki hubungan gelap dengan M.
Perbincangan itu pun terus berlanjut dengan nada-nada pelecehan terhadap Baiq. Terlebih M menelepon Baiq lebih dari sekali. Baiq pun merasa terganggu dan merasa dilecehkan oleh M melalui verbal. Tak hanya itu, orang-orang di sekitarnya menuduhnya memiliki hubungan gelap dengan M.
Merasa jengah dengan semua itu, Baiq berinisiatif
merekam perbincangannya dengan M. Hal itu dilakukannya guna membuktikan dirinya
tak memiliki hubungan dengan atasannya itu. Kendati begitu, Baiq tidak pernah
melaporkan rekaman itu karena takut pekerjaannya terancam.
Hanya saja, ia bicara kepada Imam Mudawin, rekan kerja Baiq, soal rekaman itu. Namun, rekaman itu malah disebarkan oleh Imam ke Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Mataram.
Diketahui, penyerahan rekaman percakapnnya dengan M Baiq itu hanya dilakukan dengan memberikan ponsel. Proses pemindahan rekaman dari ponsel ke laptop dan ke tangan-tangan lain sepenuhnya dilakukan oleh Imam.
Hanya saja, ia bicara kepada Imam Mudawin, rekan kerja Baiq, soal rekaman itu. Namun, rekaman itu malah disebarkan oleh Imam ke Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Mataram.
Diketahui, penyerahan rekaman percakapnnya dengan M Baiq itu hanya dilakukan dengan memberikan ponsel. Proses pemindahan rekaman dari ponsel ke laptop dan ke tangan-tangan lain sepenuhnya dilakukan oleh Imam.
Merasa tidak terima aibnya didengar oleh banyak
orang, M pun melaporkan Baiq ke polisi atas dasar Pasal 27 Ayat (1)
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Padahal rekaman
tersebut disebarkan oleh Imam, namun malah Baiq yang dilaporkan oleh M.
Kasus ini pun berlanjut hingga ke persidangan. Setelah laporan diproses, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Baiq tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota.
Kalah dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Singkat cerita pada 26 September 2018 lalu, MA memutus Baiq bersalah.
Kasus ini pun berlanjut hingga ke persidangan. Setelah laporan diproses, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Baiq tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota.
Kalah dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Singkat cerita pada 26 September 2018 lalu, MA memutus Baiq bersalah.
Petikan Putusan Kasasi dengan Nomor
574K/Pid.Sus/2018 yang baru diterima 9 November 2018 menyatakan Baiq Nuril
bersalah melakukan tindak pidana, "Tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."
Ia kemudian dihukum enam bulan penjara dan dipidana denda senilai Rp500 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.
Putusan ini menuai kritik dan jadi bahan perbincangan. Dalam rilis resminya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut hakim seharusnya berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Pasal 3 huruf b Perma tersebut menyebutkan hakim mengidentifikasi situasi perlakuan tidak setara yang diterima perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Ia kemudian dihukum enam bulan penjara dan dipidana denda senilai Rp500 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.
Putusan ini menuai kritik dan jadi bahan perbincangan. Dalam rilis resminya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut hakim seharusnya berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Pasal 3 huruf b Perma tersebut menyebutkan hakim mengidentifikasi situasi perlakuan tidak setara yang diterima perempuan yang berhadapan dengan hukum.
ICJR juga menyoroti pemahaman hakim MA terhadap UU
ITE. Menurut ICJR Baiq tidak dapat dijatuhi hukuman lantaran putusan PN Mataram
menyatakan bahwa Baiq tak melanggar ketentuan pidana. Berdasarkan fakta
persidangan Baiq tidak pernah menyebarkan rekaman tersebut.Menurut ICJR, Pasal
27 ayat (1) UU ITE itu dalam penjelasannya didesain untuk penyebaran dalam
sistem elektronik dan harus dikaitkan dengan pasal kesusilaan dalam KUHP.
Perbuatan yang dilarang adalah penyebaran konten bermuatan pelanggaran asusila
yang diniatkan untuk menyebarkannya di muka umu
B.ANALISA KASUS BAIQ
NURIL
Dalam permasalahan ini baiq nuril terjerat kasus
soal penyebaran konten pornografi yang kemudian menjerat Nuril lewat Pasal 27
ayat 1 UU ITE 19 Tahun 2016.
Ada
tiga unsur pidana dalam pasal ini yaitu mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Putusan
kasasi menyatakan bahwa Nuril terbukti secara sah dan meyakinkan telah
mentransmisikan rekaman suara antaranya dengan Muslim. Padahal dalam fakta
persidangan tingkat pertama, yang memindahkan rekaman itu justru bukan Nuril
melainkan orang lain.
kasus ini merupakan
termasuk dalam komunikasi massa dimana di era modern sekarang orang dengan
mudah menyebarkan suatu berita dan langsung sampai kepada komunikan dengan
menggunakan media seperti televisi,radio,instagram,facebook dll.Dalam kasus ini
kita dapat belajar dimana di zaman sekarang ini kita tidak bisa asal dalam
menyampaikan sebuah berita karena kita diatur dakam sebuah undang-undang ITE dimana
bisa saja kita yang menjadi tersangka seperti kasus baiq nuril.
saya
juga berpendapat bahwa jika kasus ini dapat membuat orang takut dalam
menyampaikan sebuah berita kebenaran,dikarenakan isi dari pasal 27 ayat 1 UU
ITE 19 tahun 2016 ini dapat menyebabkan orang yang ingin menyampaikan sebuah
berita bisa saja dia jadi tersangka.Dan disinilah peran DPR sebagai pembuat undang-undang
tersebut dapat merevisi undang-undang ITE sehingga tidak membuat orang ragu
dalam menyampaikan sebuah kebenaran informasi.
Undang-undang ITE sebenarnya sangat baik karena bisa
mencegah orang-orang dalam melakukan perbuatan ucapan SARA dan pencemaran nama
baik yang gencar terjadi di media sosial.Tetapi dalam kasus baiq nuril ini
berbeda karena ini bisa membuat orang beranggapan bahwa hukum di Indonesia
sudah mati oleh sebab itu harus ada langkah yang signifikan dari pemerintah
agar kasus seperti ini tidak terulang lagi karena jika dibiarkan seperti ini
berarti undang-undang ITE itu hanya berlaku untuk para penguasa tetapi tidak
untuk rakyat biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar