--> Biografi dan Ide-Ide Muhammad Abduh | Fragmen Ilmiah

Himpunan Makalah, Skripsi, dan Jurnal

Total Tayangan Halaman

08/04/19

Biografi dan Ide-Ide Muhammad Abduh

| 08/04/19

Hasil gambar untuk Muhammad Abduh

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana Biografi Muhammad Abduh?
2.      Apa Saja Ide-Ide Pembaharuannya?
C.    Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang ada, maka tujuan dari makalah ini yaitu :
1.      Untuk Mengetahui Bagaimana Biografi Muhammad Abduh?
2.      Untuk Mengetahui Apa Saja Ide-Ide Pembaharuannya?


















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di Mahallat Delta Nil, Al- Buhairoh Provinsi Gharbiyyah, yang sekarang masuk dalam wilayah Mesir pada tahun 1266 H / 1849 M. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, bukan seorang bangsawan yang kaya tetapi cukup berwibawa dan terhormat, dan telah lama menetap di Mesir (imigran dari Turki). Adapun sang Ibu berkebangsaan Arab yang memiliki garis keturunan dari Khalifah Umar Ibn Khatab (khalifah kedua). Muhammad Abduh berasal dari keluarga petani sederhana yang taat beragama dan cinta ilmu. Dia belajar membaca dan menulis dari kedua orang tuanya. Berkat otak-nya yang cemerlang, Muhammad Abduh bisa menghafal Al-Qur’an dalam waktu 2 (dua) tahun pada usia yang ke-12 tahun dalam bimbingan lagsung dari sang Ayah.
Ketika usianya sekitar 13 (tiga belas) tahun, ia dikirim ayahnya untuk belajar secara formal ke perguruan di Masjid Ahmadi, yang terletak di Desa Thanta untuk mempelajari bahasa Arab, Nahwu, Shorof, dan lain-lain. Namun pendidikan-nya tidak begitu lama karena Ia merasa tidak puas dengan metode mengajar yang digunakan disana (pengajaran dengan menghafal ulasan teks-teks kuno tanpa memahami maknanya. Kemudian, Muhammad Abduh memutuskan untuk kembali ke kampungnya yaitu ke Mahallah Nashr dan menikah di Umur yang ke-16 tahun.
Sang Ayah tidak menyetujui langkah yang diambil oleh Abduh untuk meninggalkan dunia pendidikan, kemudian Ayahnya memerintahkan Abduh untuk kembali ke Thanta sekitar 40 hari setelah pernikahannya dan menekuni kembali pelajarannya. Namun, ditengah perjalanan ia membelokkan arah tujuannnya menuju sebuah Desa tempat tinggal pamannya, yaitu Syekh Darwisy Khadir (Paman dari pihak Ayah) di Kanisah Urin. Syeikh Darwisy adalah seorang alim penganut aliran tasawuf Thariqat Syadziliyah dan memiliki pengetahuan yang luas dan kepribadian yang lembut.
Kisah perjalanan hidup Muhammad Abduh diabadikan dalam buku yang berjudul “Muzakirat al-Imam Muhammad Abduh” karya muridnya, Muhammad Rasyid Ridha. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa pada saat itu Ia benci melihat buku, dan buku yang diberikan Darwisy itu dibuangnya jauh-jauh. Lalu buku tersebut dipungut lagi oleh Darwisy dan diberikan lagi pada Abduh. Darwisy selalu sabar menghadapi Abduh, dan pada akhirnya Abduh mau juga membaca buku tersebut beberapa baris. Satiap barisnya Darwisy memberikan penjelasan yang luas tentang arti dan maksud yang terkandung dalam kalimat tersebut. Akhirnya Abduh berubah sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan. Dia mulai paham dengan apa yang dibacanya. kemudian ia kembali ke Thanta pada bulan oktober 1865 M / 1286 H.
Setelah selesai studi di Thanta, Abduh kemudian melanjutkan perjalanan studinya ke al-Azhar di Kairo, dari tahun 1865 M. Disini, Abduh hanya mendapatkan pelajaran ilmu-ilmu agama dengan metode yang sama dengan di Thanta. Hal ini membuatnya kembali kecewa. Dalam salah satu tulisannya, ia menyatakan bahwa metode pengajaran yang verbalistik itu telah merusak akal dan daya nalarnya.
Rasa kecewa itulah yang menyebabkan Abduh akhirnya menekuni dunia sufistik. Pada tahun 1871 Abduh bertemu dengan Jamaludin al-Afghany yang datang kemesir pada tahun itu. Dari al-Afghany, ia mendapatkan pengetahuan filsafat, ilmu kalam dan ilmu pasti (eksak). Meskipun sebelumnya ia telah mendapatkan ilmu-ilmu tersebut diluar al-Azhar, namun metode yang dipakai oleh al-Afghany adalah metode yang telah lama dicari selama ini, seingga ia lebih puas menerima ilmu-ilmu itu dari dari guru barunya tersebut. Abduh mengungkapkan bahwa al-Afghany telah melepaskan dari kegoncangan jiwa yang dialaminya. Al-Afghany adalah seorang pemikir modern yang masih memiliki garis keturunan dari Hasan bin Abi Thalib, Ia adalah seorang ulama yang cerdas dalam memecahkan persoalan-persoalan rumit yang dihadapkan kepadanya, seperti solusi yang ia berikan pada saat Mesir mengalami krisis keuangan akibab menumpuknya hutang Negara pada kurun waktu tahun 1871 sampai 1879.
Metode pengajaran yang digunakan oleh al-Afghany adalah metode praktis yang mengutamakan pemberi pengertian dengan cara berdiskusi. Selain pengetahuan teoritis, al-Afghany juga mengajarkan pengetahuan praktis, seperti berpidato, menulis artikel, dan sebagainya. Sehingga membawanya dapat tampil di depan public. Ia mengajar manthiq (logika),  tasawuf, filsafat, ilmu pasti dan lain-lain dirumahnya. Ia memiliki pemikiran dan semangat yang tinggi untuk memutus mata rantai kejumudan berfikir dan cara-cara berfikir yang fanatic. Akhirnya. Muhammad Abduh menjadi pelopor penyebaran pemikiran Jamaluddin al-Afghany di kampus al-Azhar hingga berkembang luas ke seluruh mesir dan bahkan dunia.
Setelah Abduh menyelesaikan studinya di al-azhar pada tahun 1877, atas usaha Perdana Menteri Mesir, Riald Pasya, ia diangkat menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum, Universitas al-Ahzar, dan perguruan bahasa khadevi. Ia mengajarkan berbagai mata pelajaran seperti teologi, sejarah, ilmu politik kesustraan Arab. Pada tahun 1877-1882, ia diasingkan ke Beurut karena terlibat gerakan politik, ia dituduh bersekongkol untuk menggulingkan Khadevi Tawfik. Di pengasingan ini ia bekerja sebagai guru sekaligus penulisan. Kegiatan pembelajaran dilanjutkannya lagi di Beirut. Ia menterjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa Arab. Di Beurut pula ia menyelesaikan penulisan bukunya yang termasyur Risalah al-Tawahid yang mulai ditulisnya semasa mengajar di Madrasah Silthaniyah, disamping beberapa buku terjemahan yang lain. Untuk kepentingan gerakan, syaikh Muhammad Abduh telah menulis beberapa buku, antara lain al-Islam wa Nashraniyah ma’al Ilmi wal Madaniyah.
Tahun 1888 ia kembali ke Mesir setelah selesai masa pengasingan. Ia diperolehkan kembalikan ke kota Kairo dan diberi kepercayaan memimpin surat kabar al-Waqa’I al-Mishriyah. Muhammad Abduh diasingkan dari Mesir selama enam tahun sejak 1882, karena keterlibatannya dalam pemberontakan Urabi. Id Lebanon, Abduh sempat giat dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam. Pada tahun 1884, ia pindah ke Paris, dan bersama al-Afghani menerbitkan jurnal Islam The Firmest  Bond Salah satu karya Abduh yang terkenal adalah buku berjudul Risalah at-Tauhid  yang diterbitkan pada tahun Abduh menjadi sorang pemikir Muslim dari Mesir dan salah satu penggagas gerakan modernisme Islam.[1]
Di Perancis ia bertemu dengan dengan Jamaluddin al-Afghany dan kemudian menerbitkan majalah al-Urwatul Wustqa. dan meninggal di Iskandariyah (kini wilayah Mesir), tanggal 1314 H / 1905 M di iskandariah mesir pada umur 56 tahun.

B.  Pemikiran-Pemikiran Muhammad Abduh
Pemikirannya banyak terinspirasi dari Ibnu Taimiyah dan pemikirannya banyak menginspirasi organisasi Islam, Abduh berpendapat, Islam akan maju bila umatnya mau belajar, tidak hanya ilmu agama, tapi juga ilmu sains. Latar belakang pemikiran Abduh banyak lahir atas refleksi terhadap kondisi realitas masyarakat kala itu yang memprihatinkan. Terjadi kemunduran intelektual umat Islam dengan ditandai beberapa hal:
1.    Bahwa masyarakat Muslim mengalami kemunduran akibat kepercayaan terhadap taqlid  “mengalahkan kepercayaan terhadap teks ajaran agama (al-Qur’an dan hadis) yang sesungguhnya.
2.    Stagnasi (kemandegan) pemikiran masyarakat Muslim. Abduh melihat bahwa salah satu penyebab keterbelakangan umat Islam yang amat memprihatinkan adalah hilangnya tradisi intelektual, yang pada intinya ialah kebebasan berpikir.
3.    Kondisi lemah dan terbelakang kaum Muslim disebabkan oleh faktor eksternal, seperti hegemoni Eropa yang mengancam eksistensi masyarakat Muslim dan realitas internal seperti situasi yang diciptakan oleh kaum Muslim sendiri.[2]
Secara umum, ada 2 (dua) pemikiran pokok yang   menjadi fokus utama pemikiran Muhammad Abduh, yaitu Ketauhidan (Akal dan Wahyu):
a.    Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaful ummah, yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an dan Hadits. Sehingga ini memberikan anggapan bahwa setia porang boleh berijtihad.
b.    Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan, maupun dalam tulisan-tulisan di media massa. Hal ini juga merupakan salah satu point  yang ditekankan Hasan al-Banna yang merupakan salah satu pengagum Muhammad Abduh dan Al-Manarnya.

C.  Ide-Ide Pembaharuan Muhammad Abduh
Pendidikan adalah satu-satunya cara yang efektif untuk mencapai kedewasaan nasional dan kemerdekaan yang sejati. Ketika mendekati akhir abad ke-19 (Sembilan belas), ide ini mendapatkan dukungan yang kuat dari sebuah buku yang kini dilupakan, tetapi mendapat sambutan besar pada masanya. Karya E. Demolins, A quoi tientla superiorite des Anglo Saxons. Dalam buku ini, Demolins, menjelaskan mengapa masyarakat Anglo-Saxon menaklukkan dunia dan menjadi yang terkuat dan termakmur di dunia. Alasan yang ia kemukakan adalah bahwa mereka telah mengembangkan inisiatif individu sampai pada suatu tingkat yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Selanjutnya, mengenai hal ini terdapat dua alasan: tujuan utama dari pendidikan mereka adalah untuk melatih manusia dalam kehidupan dunia modern, sementara pendidikan Perancis ditujukkan untuk menyesuaikan manusia hanya pada kehidupan di tengah masyarakat yang tidak berubah berdasarkan keluarga dan negara dan sementara semangat nasional Perancis bersifat militeristik, menuntut pengorbanan individu demi kebesaran dan kekuatan bangsa, nasionalisme Anglo-Saxon adalah personal berdasarkan pada kebebasan individu dan bertujuan demi kesejahteraan individu. Dari latar realitas dualisme pendidikan diatas, kemudian Abduh melakukan pembaruan dan perubahan pendidikan diantaranya :

a.    Tujuan Pendidikan
Menurut Abduh, adalah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya pada batas-batas kemungkinan seorang mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan yang dirumuskan Abduh tersebut mencakup aspek akal dan aspek spiritual. Dengan tujuan tersebut ia menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan pengembangan akal, tetapi juga pengembangan spiritual. Abduh berkeyakinan apabila aspek akal dan spiritual dididik dengan cara dicerdaskan dan jiwa dengan agama, maka umat Islam akan dapat bersaing dengan ilmu pengetahuan baru, dan dapat mengimbangi mereka dalam kebudayaan.
b.    Kurikulum Sekolah
Kurikulum yang dirumuskan Muhammad Abduh adalah sebagai berikut:
1.    Untuk tingkat sekolah dasar: membaca, menulis, berhitung, dan pelajaran agama dengan materi akidah, fikih, akhlak, serta sejarah Islam.
2.    Untuk tingkat menengah: manthiq dan dasar, dasar penalaran, akidah yang dibuktikan dengan akal dan dalil-dalil yang pasti, fikih dan akhlak, dan sejarah Islam.
3.    Untuk tingkat atas: tafsir, hadits, bahasa Arab dengan segala cabangnya, akhlak dengan pembahasan yang rinci, sejarah Islam, retorika dan dasar-dasar berdiskusi, dan ilmu kalam.

Dari penerapan kurikulum di atas, tampak bahwa Abduh ingin menghilangkan dualisme pendidikan yang ada pada saat itu. Dia menginginkan sekolah-sekolah umum memberikan pelajaran agama dan al-Azhar diharapkan menerapkan ilmu-ilmu yang datang dari Barat.
c.    Metode Pengajaran
Abduh menekankan pemberian pengertian (pemahaman) dalam setiap pelajaran yang diberikan. Ia mengingatkan kepada para pendidik untuk tidak mengajar murid dengan metode hapalan, karena metode hapalan menurutnya hanya akan merusak daya nalar. Abduh menekankan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam kepada murid. Menurut Abduh, pendidikan harus diikuti oleh semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Menurutnya perempuan haruslah mendapat hak yang sama dalam bidang pendidikan.
d.   Ijtihad
Muhammad Abduh sangat menentang taklid yang dipandang-nya sebagai faktor yang melemahkan jiwa umat Islam. Pandangan Abduh tentang perlunya upaya pembongkaran kejumudan yang telah sedemikian lama mengalami pergerakan tersebut akan melahirkan ide tentang perlunya melaksanakan kegiatan ijtihad. Menurut Abduh, taklid akan menghentikan akal pikiran manusia pada batas tertentu, yakni taklid sangat bertentangan dengan akal, taklid bertentangan dengan tabiat kehidupan, dan taklid itu juga bertentangan dengan tabiat dasar-dasar dan ciri Islam.[3]
Muhammad Abduh mengikis habis taklid sebagai suatu prinsip, dalambentuknya yang ada pada saat itu, seperti mengikuti mazhab secara harfiah dengan pengkultusan. Fanatisme itu disebabkan oleh adanya kelemahanpemikiran, politik, dan ekonomi pada masyarakat Islam. Ijtihad menurut Abduh, bukan hanya boleh bahkan perlu dilakukan. Namun, menurut ia bukan berati setiap orang boleh berijtihad. Hanya orang-orang tertentu dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihadlah yang boleh melakukan ijtihad tersebut. Ijtihad dilakukan langsung terhadap al-Qur’an dan hadits sebagai sumber dari ajaran.
Lapangan ijtihad adalah mengenai soal-soal muamalah yang ayat-ayat dan haditsnya bersifat umum dan jumlahnya sedikit. Sedangkan soal ibadah bukanlah bagian dari lapangan ijtihad, karena persoalan ibadah merupakan hubungan manusia dengan Tuhan, dan bukan antara manusia dengan manusia yang tidak menghendaki perubahan menurut zaman. Bahwasanya keterbelakangan dan kemunduran yang dialami umat Islam disebabkan oleh pandangan dan sikap jumud.
Maka untuk membebaskan umat Islam dari taklid, dan kembali kepada ajaran Islam yang sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits. Bahkan Abduh mengecam orang yang melakuakan taqlid. Orang yang melakukan taqlid muqallid, menurut Abduh, memiliki derajat yang lebih rendah dari orang yang diikutinya. Karena muqallid hanya melihat lahir perbuatan orang yang diikutinya, tanpa memeriksa dasar dan rahasia perbuatannya.
Hal ini membuat pekerjaan menjadi tanpa dasar dan tidak karuan. Pandangan Muhammad Abduh tentang perlunya ijtihad dan pemberantasan taklid, tampaknya di dasari atas kepercayaannya yang tinggi terhadap akal. Karena menurut Abduh, Islam menempatkan akal pada kedudukan yang tinggi. Sebab akal dapat membedakan antara baik dan yang buruk, antara yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Islam adalah agama yang rasional, dan menggunakan akal merupakan salah satu dari dasar-dasar Islam. Kebenaran yang dicapai akal tidak bertentangan dengan kebenaran yang disampaikan oleh wahyu.
e.    Politik
Menurut Muhammad Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentuk tertentu dalam pemerintahan. Jika bentuk khalifah masih tetap menjadi pilihan dalam pemerintahan, maka bentuk demikianpun harus mengikuti perkembangan masyarakat[4]. Ini mengandung maksud bahwa apa punbentuk dari suatu pemerintahan, Abduh menghendaki pemerintahan yangdinamis. Dengan demikian, ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Abduh mengatakan bahwa rakyat merupakan sumber kekuasaan bagi pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan memiliki hak memaksa pemerintah. Oleh karena itu rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan meraka. Karena sumber kekuasaan adalah rakyat, Islam tidak mengenal kekuasaan agama, maksud dari Muhammad Abduh, bahwa Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama.
Pertama, Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan.
Kedua, Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa, dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain. Ketiga, Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas orang lainseperti yang terdapat dalam Kristen Katolik pada bad pertengahan di Barat. Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seorangpun selain kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut Abduh, salah satu prinsip ajaran Islam adalah mengikis habis kekuasaan agama sehingga setelah Allah dan Rasul-Nya, tidak ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan agama orang lain.
Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi peringatan tanpa adanya pemaksaan untuk mengikuti ajarannya. Pendapatnya ini mengisyaratkan ketidak sepakatannya dengan para pemikir politik pada masa klasik dan masa pertengahan, yang menyatakan bahwa kekuasaan khalifah atau kepala negara itu merupakan mandat dari Allah, maka dengan demikian ia harus bertenggung jawab kepada Allah pula. Menurut Abduh, khalifah atau kepala negara hanya seorang penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh rakyat dan bukanlah hak Tuhan untuk mengangkat dan memberhentikannya.
Dalam hal ketaatan, menurut Abduh rakyat tidak boleh menaati pemimpin yang berbuat maksiat yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits, jika pemimpin berbuat sesuatu yang bertentangan, rakyat harus menggantinya dengan orang lain, selama proses itu tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar dari pada maslahatnya. Dengan kekuasaan politik yang dipegang oleh pemimpin, hendaknya prinsip-prinsip ajaran Islam dapat dijalankan oleh yang mempunyai hak dan wewenang.
f.     Kebebasan
Kebebasan Bagi Abduh, di samping mempunyai daya fikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami (natural) yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, maka ia bukan manusia lagi, tetapi makhluq lain. Manusia dengan aqalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya. Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia.

























BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari penjelasan makalah yang telah penulis uraikan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Muhammad Abduh ialah salah satu tokoh pembaharuan islam di era modern. Adapun  ide-ide pembaharuannya ialah tidak terlepas dari karakter dan watak yang terbentuk sejak ia kecil. Yaitu cinta pada ilmu pengetahuan.
Diantara pembaharuannya ialah:
1.    Purifikasi
2.    Reformasi Pendidikan Islam
3.    Pembelaan Atas Islam

B.     Kritik Dan Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, makalah ini mempunyai banyak kekurangan dan jauhnya dari kesempurnaan, oleh karena itu segala kritik dan saran  yang bersifat membangun sangat lah penulis harapkan terutama dari bapak dosen pembimbing dan rekan pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah ini dimasa mendatang, semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua dan menambah wawasan kita.











DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/ Muhammad  Abduh ,diakses 05 April 2019.
Lupito Yuliani, 1996, Para perintis zaman baru Islam, Cetakan Kedua, Penerjemah: Ilyas Hasan, Bandung: Mizan.
Al-Bahiy Muhammad, 1986, Pemikiran Islam Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, Cet. I, hal. 91.
Pulungan Suyuthi, 1999, Fiqh Siyasah, Jakarta: Rajawali Pers, hal. 282.






                                                                                         



[1]http://id.wikipedia.org/wiki/ Muhammad  Abduh ,diakses 05 April 2019.
[2]Yuliani Lupito, Para perintis zaman baru Islam, Cetakan Kedua, Penerjemah: Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 41
[3]Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern , (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), Cet. I, hal. 91).
[4]Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), hal. 282

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar