BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimana Biografi Muhammad Abduh?
2.
Apa Saja Ide-Ide Pembaharuannya?
C.
Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang ada, maka tujuan dari makalah ini yaitu :
1.
Untuk
Mengetahui Bagaimana Biografi Muhammad Abduh?
2.
Untuk
Mengetahui Apa Saja Ide-Ide Pembaharuannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di Mahallat Delta Nil, Al- Buhairoh Provinsi Gharbiyyah, yang sekarang masuk dalam wilayah Mesir pada
tahun 1266 H / 1849 M. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, bukan seorang bangsawan yang
kaya tetapi cukup berwibawa dan terhormat, dan telah lama menetap di Mesir (imigran
dari Turki). Adapun sang Ibu berkebangsaan Arab yang memiliki garis keturunan
dari Khalifah Umar Ibn Khatab (khalifah kedua). Muhammad Abduh berasal dari keluarga petani
sederhana yang taat beragama dan cinta ilmu. Dia belajar membaca dan menulis
dari kedua orang tuanya. Berkat otak-nya yang cemerlang, Muhammad Abduh bisa menghafal Al-Qur’an
dalam waktu 2 (dua) tahun pada usia yang
ke-12 tahun dalam bimbingan lagsung dari sang Ayah.
Ketika usianya sekitar
13 (tiga belas) tahun, ia dikirim ayahnya untuk belajar secara formal ke
perguruan di Masjid Ahmadi, yang terletak di Desa Thanta untuk mempelajari bahasa Arab, Nahwu, Shorof, dan lain-lain. Namun pendidikan-nya tidak
begitu lama karena Ia merasa tidak puas dengan metode mengajar
yang digunakan disana (pengajaran dengan menghafal ulasan teks-teks kuno tanpa memahami maknanya. Kemudian, Muhammad Abduh memutuskan untuk kembali ke kampungnya
yaitu ke Mahallah Nashr dan menikah di Umur yang ke-16 tahun.
Sang
Ayah tidak menyetujui langkah yang diambil oleh Abduh untuk meninggalkan dunia pendidikan,
kemudian Ayahnya memerintahkan Abduh untuk kembali ke Thanta sekitar 40 hari setelah pernikahannya dan menekuni kembali pelajarannya. Namun, ditengah perjalanan ia
membelokkan arah tujuannnya menuju sebuah Desa tempat tinggal pamannya, yaitu
Syekh Darwisy Khadir (Paman dari pihak Ayah) di Kanisah Urin. Syeikh Darwisy adalah seorang alim penganut
aliran tasawuf Thariqat Syadziliyah dan memiliki pengetahuan yang luas dan kepribadian yang lembut.
Kisah perjalanan hidup Muhammad Abduh diabadikan dalam
buku yang berjudul “Muzakirat al-Imam Muhammad Abduh” karya muridnya,
Muhammad Rasyid Ridha. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa pada saat itu Ia
benci melihat buku, dan buku yang diberikan Darwisy itu dibuangnya jauh-jauh.
Lalu buku tersebut dipungut lagi oleh Darwisy dan diberikan lagi pada Abduh.
Darwisy selalu sabar menghadapi Abduh, dan pada akhirnya Abduh mau juga membaca
buku tersebut beberapa baris. Satiap barisnya Darwisy memberikan penjelasan
yang luas tentang arti dan maksud yang terkandung dalam kalimat tersebut.
Akhirnya Abduh berubah sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan. Dia mulai
paham dengan apa yang dibacanya. kemudian ia kembali ke Thanta pada bulan
oktober 1865 M / 1286 H.
Setelah selesai studi
di Thanta, Abduh kemudian melanjutkan perjalanan studinya ke al-Azhar di Kairo,
dari tahun 1865 M. Disini, Abduh hanya mendapatkan pelajaran ilmu-ilmu agama dengan metode yang
sama dengan di Thanta. Hal ini membuatnya kembali kecewa. Dalam salah satu
tulisannya, ia menyatakan bahwa metode pengajaran yang verbalistik itu telah
merusak akal dan daya nalarnya.
Rasa kecewa itulah yang menyebabkan Abduh akhirnya
menekuni dunia sufistik. Pada tahun 1871 Abduh bertemu dengan Jamaludin
al-Afghany yang datang kemesir pada tahun itu. Dari al-Afghany, ia mendapatkan
pengetahuan filsafat, ilmu kalam dan ilmu pasti (eksak). Meskipun sebelumnya ia
telah mendapatkan ilmu-ilmu tersebut diluar al-Azhar, namun metode yang dipakai
oleh al-Afghany adalah metode yang telah lama dicari selama ini, seingga ia
lebih puas menerima ilmu-ilmu itu dari dari guru barunya tersebut. Abduh
mengungkapkan bahwa al-Afghany telah melepaskan dari kegoncangan jiwa yang
dialaminya. Al-Afghany adalah seorang pemikir modern yang masih memiliki garis
keturunan dari Hasan bin Abi Thalib, Ia adalah seorang ulama yang cerdas dalam
memecahkan persoalan-persoalan rumit yang dihadapkan kepadanya, seperti solusi
yang ia berikan pada saat Mesir mengalami krisis keuangan akibab menumpuknya
hutang Negara pada kurun waktu tahun 1871 sampai 1879.
Metode pengajaran yang digunakan oleh al-Afghany
adalah metode praktis yang mengutamakan pemberi pengertian dengan cara
berdiskusi. Selain pengetahuan teoritis, al-Afghany juga mengajarkan
pengetahuan praktis, seperti berpidato, menulis artikel, dan sebagainya.
Sehingga membawanya dapat tampil di depan public. Ia mengajar manthiq
(logika), tasawuf, filsafat, ilmu pasti
dan lain-lain dirumahnya. Ia memiliki pemikiran dan semangat yang tinggi untuk
memutus mata rantai kejumudan berfikir dan cara-cara berfikir yang fanatic.
Akhirnya. Muhammad Abduh menjadi pelopor penyebaran pemikiran Jamaluddin
al-Afghany di kampus al-Azhar hingga berkembang luas ke seluruh mesir dan
bahkan dunia.
Setelah Abduh menyelesaikan studinya di al-azhar pada
tahun 1877, atas usaha Perdana Menteri Mesir, Riald Pasya, ia diangkat menjadi dosen
pada Universitas Darul Ulum, Universitas al-Ahzar, dan perguruan bahasa khadevi.
Ia mengajarkan berbagai mata pelajaran seperti teologi, sejarah, ilmu politik
kesustraan Arab. Pada tahun 1877-1882, ia diasingkan ke Beurut karena terlibat
gerakan politik, ia dituduh bersekongkol untuk menggulingkan Khadevi Tawfik. Di
pengasingan ini ia bekerja sebagai guru sekaligus penulisan. Kegiatan
pembelajaran dilanjutkannya lagi di Beirut. Ia menterjemahkan kitab-kitab ke
dalam bahasa Arab. Di Beurut pula ia menyelesaikan penulisan bukunya yang
termasyur Risalah al-Tawahid yang mulai ditulisnya semasa mengajar di Madrasah
Silthaniyah, disamping beberapa buku terjemahan yang lain. Untuk kepentingan
gerakan, syaikh Muhammad Abduh telah menulis beberapa buku, antara lain
al-Islam wa Nashraniyah ma’al Ilmi wal Madaniyah.
Tahun 1888 ia kembali ke Mesir setelah selesai masa
pengasingan. Ia diperolehkan kembalikan ke kota Kairo dan diberi kepercayaan
memimpin surat kabar al-Waqa’I al-Mishriyah. Muhammad Abduh
diasingkan dari Mesir selama enam tahun sejak 1882, karena keterlibatannya dalam pemberontakan Urabi. Id Lebanon, Abduh sempat giat dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam. Pada tahun 1884, ia pindah ke Paris, dan bersama al-Afghani
menerbitkan “jurnal Islam The Firmest Bond” Salah satu karya
Abduh yang terkenal adalah buku berjudul “Risalah at-Tauhid” yang diterbitkan pada
tahun Abduh menjadi sorang pemikir Muslim dari Mesir dan salah satu penggagas gerakan modernisme
Islam.[1]
Di Perancis ia bertemu dengan dengan Jamaluddin
al-Afghany dan kemudian menerbitkan majalah al-Urwatul Wustqa. dan meninggal di Iskandariyah (kini wilayah Mesir),
tanggal 1314 H / 1905 M di iskandariah mesir pada umur 56 tahun.
B. Pemikiran-Pemikiran Muhammad Abduh
Pemikirannya banyak
terinspirasi dari Ibnu Taimiyah dan pemikirannya
banyak menginspirasi organisasi Islam, Abduh berpendapat, Islam akan maju bila
umatnya mau belajar, tidak hanya ilmu agama, tapi juga ilmu sains. Latar
belakang pemikiran Abduh banyak lahir atas refleksi terhadap kondisi
realitas masyarakat kala itu yang memprihatinkan. Terjadi kemunduran
intelektual umat Islam dengan ditandai beberapa hal:
1. Bahwa masyarakat Muslim mengalami kemunduran akibat kepercayaan terhadap taqlid “mengalahkan
kepercayaan terhadap teks ajaran agama (al-Qur’an dan hadis) yang sesungguhnya.
2. Stagnasi (kemandegan) pemikiran
masyarakat Muslim. Abduh melihat bahwa
salah satu penyebab keterbelakangan umat Islam yang amat memprihatinkan
adalah hilangnya tradisi intelektual, yang pada intinya ialah kebebasan
berpikir.
3. Kondisi lemah dan terbelakang kaum Muslim disebabkan oleh faktor eksternal, seperti
hegemoni Eropa yang mengancam eksistensi masyarakat Muslim dan realitas
internal seperti situasi yang diciptakan oleh kaum Muslim sendiri.[2]
Secara umum, ada 2
(dua) pemikiran pokok yang menjadi
fokus utama pemikiran Muhammad Abduh, yaitu Ketauhidan (Akal dan Wahyu):
a. Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana
haknya salaful ummah, yakni
memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an dan Hadits. Sehingga ini
memberikan anggapan bahwa setia porang boleh berijtihad.
b. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang
digunakan dalam percakapan resmi di
kantor-kantor pemerintahan, maupun dalam tulisan-tulisan di media massa. Hal
ini juga merupakan salah satu point yang ditekankan Hasan al-Banna
yang merupakan salah satu pengagum Muhammad Abduh dan Al-Manarnya.
C. Ide-Ide Pembaharuan Muhammad Abduh
Pendidikan adalah satu-satunya cara yang efektif untuk
mencapai kedewasaan nasional dan kemerdekaan yang sejati. Ketika
mendekati akhir abad ke-19 (Sembilan belas), ide ini mendapatkan dukungan yang kuat dari sebuah buku
yang kini dilupakan, tetapi mendapat sambutan besar pada masanya. Karya E. Demolins, A quoi tientla superiorite
des Anglo Saxons. Dalam buku ini, Demolins, menjelaskan mengapa masyarakat
Anglo-Saxon menaklukkan dunia dan menjadi yang terkuat dan termakmur di dunia.
Alasan yang ia kemukakan adalah bahwa mereka telah mengembangkan inisiatif
individu sampai pada suatu tingkat yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Selanjutnya, mengenai
hal ini terdapat dua alasan:
tujuan utama dari pendidikan mereka adalah untuk melatih manusia dalam
kehidupan dunia modern, sementara pendidikan Perancis
ditujukkan untuk menyesuaikan manusia hanya pada kehidupan di tengah
masyarakat yang tidak berubah berdasarkan keluarga dan negara dan sementara
semangat nasional Perancis bersifat militeristik, menuntut pengorbanan individu
demi kebesaran dan kekuatan bangsa, nasionalisme Anglo-Saxon adalah personal berdasarkan pada kebebasan individu dan bertujuan demi
kesejahteraan individu. Dari latar realitas dualisme pendidikan diatas, kemudian Abduh melakukan pembaruan dan perubahan
pendidikan diantaranya :
a. Tujuan Pendidikan
Menurut Abduh, adalah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya pada batas-batas kemungkinan seorang mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan yang dirumuskan Abduh tersebut mencakup aspek akal dan aspek spiritual. Dengan tujuan tersebut ia menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan
pengembangan akal, tetapi juga pengembangan spiritual. Abduh berkeyakinan apabila aspek akal dan spiritual dididik dengan cara dicerdaskan dan jiwa dengan agama, maka umat Islam akan dapat bersaing dengan
ilmu pengetahuan baru, dan dapat mengimbangi mereka dalam kebudayaan.
b. Kurikulum Sekolah
Kurikulum yang dirumuskan Muhammad Abduh adalah sebagai berikut:
1.
Untuk tingkat sekolah
dasar: membaca, menulis, berhitung, dan pelajaran agama dengan materi akidah,
fikih, akhlak, serta sejarah Islam.
2.
Untuk tingkat menengah:
manthiq dan dasar, dasar penalaran, akidah yang dibuktikan dengan akal dan dalil-dalil yang pasti, fikih dan
akhlak, dan sejarah Islam.
3.
Untuk tingkat atas: tafsir,
hadits, bahasa Arab dengan segala cabangnya, akhlak dengan pembahasan yang
rinci, sejarah Islam, retorika dan dasar-dasar berdiskusi, dan ilmu kalam.
Dari penerapan kurikulum di atas, tampak bahwa Abduh ingin menghilangkan dualisme pendidikan yang ada pada saat itu. Dia menginginkan sekolah-sekolah umum memberikan pelajaran agama dan
al-Azhar diharapkan menerapkan ilmu-ilmu yang datang dari Barat.
c. Metode Pengajaran
Abduh menekankan pemberian pengertian (pemahaman) dalam setiap pelajaran
yang diberikan. Ia mengingatkan kepada para pendidik untuk tidak mengajar murid dengan metode hapalan, karena metode
hapalan menurutnya hanya akan merusak daya nalar. Abduh menekankan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam kepada murid. Menurut Abduh,
pendidikan harus diikuti oleh semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Menurutnya perempuan haruslah mendapat hak yang sama
dalam bidang pendidikan.
d. Ijtihad
Muhammad Abduh sangat menentang taklid yang
dipandang-nya sebagai faktor yang melemahkan jiwa umat Islam. Pandangan Abduh tentang
perlunya upaya pembongkaran kejumudan yang telah sedemikian lama mengalami pergerakan
tersebut akan melahirkan ide tentang perlunya melaksanakan kegiatan ijtihad.
Menurut Abduh, taklid akan menghentikan akal pikiran manusia pada batas tertentu, yakni taklid sangat bertentangan dengan
akal, taklid bertentangan dengan tabiat kehidupan, dan taklid itu juga
bertentangan dengan tabiat dasar-dasar dan ciri Islam.[3]
Muhammad Abduh mengikis
habis taklid sebagai suatu prinsip, dalambentuknya yang ada pada saat itu,
seperti mengikuti mazhab secara harfiah dengan pengkultusan. Fanatisme itu
disebabkan oleh adanya kelemahanpemikiran, politik, dan ekonomi pada masyarakat
Islam. Ijtihad menurut Abduh,
bukan hanya boleh bahkan perlu dilakukan. Namun, menurut ia bukan berati setiap orang boleh berijtihad. Hanya orang-orang
tertentu dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihadlah yang boleh melakukan ijtihad tersebut. Ijtihad dilakukan langsung terhadap
al-Qur’an dan hadits sebagai sumber dari ajaran.
Lapangan
ijtihad adalah mengenai soal-soal muamalah yang ayat-ayat dan haditsnya bersifat umum dan jumlahnya sedikit. Sedangkan soal ibadah bukanlah bagian
dari lapangan ijtihad, karena persoalan ibadah merupakan hubungan manusia dengan Tuhan, dan bukan antara manusia dengan
manusia yang tidak menghendaki perubahan menurut zaman. Bahwasanya
keterbelakangan dan kemunduran yang dialami umat Islam disebabkan oleh
pandangan dan sikap jumud.
Maka
untuk membebaskan umat Islam dari taklid, dan kembali kepada ajaran Islam yang sesuai dengan
al-Qur’an dan Hadits. Bahkan Abduh mengecam orang
yang melakuakan taqlid. Orang yang melakukan taqlid muqallid, menurut Abduh, memiliki derajat
yang lebih rendah dari orang yang diikutinya. Karena muqallid hanya melihat lahir perbuatan orang
yang diikutinya, tanpa memeriksa dasar dan rahasia perbuatannya.
Hal ini membuat pekerjaan menjadi tanpa dasar dan
tidak karuan. Pandangan Muhammad Abduh tentang perlunya ijtihad dan pemberantasan taklid,
tampaknya di dasari atas kepercayaannya yang tinggi terhadap akal. Karena menurut Abduh, Islam menempatkan akal pada
kedudukan yang tinggi. Sebab akal dapat membedakan antara baik dan yang
buruk, antara yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Islam adalah agama yang rasional, dan menggunakan
akal merupakan salah satu dari dasar-dasar Islam.
Kebenaran yang dicapai akal tidak bertentangan dengan kebenaran yang disampaikan oleh wahyu.
e. Politik
Menurut Muhammad Abduh,
Islam tidak menetapkan suatu bentuk tertentu dalam pemerintahan. Jika
bentuk khalifah masih tetap menjadi pilihan dalam pemerintahan, maka bentuk demikianpun harus mengikuti
perkembangan masyarakat[4]. Ini mengandung maksud bahwa apa punbentuk dari suatu
pemerintahan, Abduh menghendaki pemerintahan yangdinamis. Dengan demikian, ia
mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Abduh mengatakan bahwa rakyat merupakan sumber kekuasaan bagi pemerintah.
Rakyatlah yang mengangkat dan memiliki hak memaksa pemerintah. Oleh karena itu
rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan hukum untuk
kemaslahatan meraka. Karena sumber kekuasaan
adalah rakyat, Islam tidak mengenal kekuasaan agama, maksud dari Muhammad
Abduh, bahwa Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama.
Pertama, Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang
untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat agama atau
dari Tuhan.
Kedua,
Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa, dalam
kehidupan dan urusan keagamaan orang lain. Ketiga,
Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas orang
lainseperti yang terdapat dalam Kristen Katolik pada bad pertengahan di Barat. Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seorangpun selain kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut Abduh, salah satu prinsip ajaran Islam adalah mengikis habis kekuasaan agama
sehingga setelah Allah dan Rasul-Nya, tidak ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan agama orang lain.
Bukankah Nabi Muhammad
hanyalah seorang mubalig dan pemberi peringatan tanpa adanya pemaksaan untuk mengikuti ajarannya. Pendapatnya ini
mengisyaratkan ketidak sepakatannya dengan para pemikir politik pada masa klasik dan masa pertengahan,
yang menyatakan bahwa kekuasaan khalifah atau
kepala negara itu merupakan mandat dari Allah, maka dengan demikian ia harus bertenggung jawab kepada Allah pula. Menurut Abduh, khalifah
atau kepala negara hanya seorang penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh rakyat dan bukanlah hak Tuhan untuk mengangkat dan
memberhentikannya.
Dalam hal ketaatan,
menurut Abduh rakyat tidak boleh menaati pemimpin yang berbuat maksiat yang
bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits, jika pemimpin berbuat sesuatu yang
bertentangan, rakyat harus menggantinya dengan orang lain, selama proses itu
tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar dari pada maslahatnya. Dengan
kekuasaan politik yang dipegang oleh pemimpin, hendaknya prinsip-prinsip
ajaran Islam dapat dijalankan oleh yang mempunyai
hak dan wewenang.
f. Kebebasan
Kebebasan Bagi Abduh,
di samping mempunyai daya fikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang
merupakan sifat dasar alami (natural) yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, maka ia
bukan manusia lagi, tetapi makhluq lain. Manusia dengan aqalnya mampu
mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil
keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya
itu dengan daya yang ada dalam dirinya. Karena
yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan makalah yang telah penulis uraikan diatas, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa Muhammad Abduh ialah salah satu tokoh pembaharuan
islam di era modern. Adapun ide-ide
pembaharuannya ialah tidak terlepas dari karakter dan watak yang terbentuk
sejak ia kecil. Yaitu cinta pada ilmu pengetahuan.
Diantara pembaharuannya ialah:
1. Purifikasi
2. Reformasi Pendidikan Islam
3. Pembelaan Atas Islam
B.
Kritik Dan Saran
Berdasarkan
kesimpulan tersebut, makalah ini mempunyai banyak kekurangan dan jauhnya dari
kesempurnaan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat lah penulis harapkan terutama dari bapak dosen pembimbing dan
rekan pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah ini dimasa mendatang, semoga
makalah ini bermanfaat untuk kita semua dan menambah wawasan kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Lupito Yuliani, 1996, Para perintis zaman
baru Islam, Cetakan Kedua, Penerjemah: Ilyas Hasan, Bandung: Mizan.
Al-Bahiy Muhammad, 1986, Pemikiran Islam Modern, Jakarta: Pustaka
Panjimas, Cet. I, hal. 91.
Pulungan Suyuthi, 1999, Fiqh Siyasah, Jakarta: Rajawali Pers,
hal. 282.
[2]Yuliani Lupito, Para perintis zaman baru Islam, Cetakan Kedua,
Penerjemah: Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar