MAKALAH
MUDHARABAH
Makalah
ini di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Pada mata kuliah “FIQH MUAMALAH”
Di
susun oleh :
Muhammad Rizki Amanda Lubis
Prodi perbankan syariah
Fakultas ekonomi dan bisnis islam
Institut agama islam negeri bengkulu
BAB
I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya
setiap manusia dalam aktifitasnya baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi
tidak lepas dari pada tujuan (maqosyid) dari apa yang akan ia peroleh selepas
aktifitas tersebut, dengan berbagai macam perbedaan sudut pandang manusia itu
sendiri terhadap esensi dari apa yang hendak ia peroleh, maka tidak jarang dan
sangat tidak menutup kemungkinan sekali proses untuk menuju pada tujuan
maqosyidnya pun berwarna-warni.
Salah satu
contoh dalam aktifitas sosial-ekonomi, banyak dari manusia sendiri yang
terjebak dalam hal ini, lebih mengedepankan pada pemenenuhan hak pribadi dan
mengabaikan hak-hak orang lain baik hak itu berupa individu ataupun masyarakat
umum. Akan tetapi Islam sebuah agama yang rahmatan lil-alamin mengatur seluruh
tatanan kehidupan manusia, sehingga norma-norma yang diberlakukan islam dapat
memberikan solusi sebuah keadilan dan kejujuran dalam hal pencapaian manusia
pada tujuan daripada aktifitasnya itu, sehingga tidak akan terjadi ketimpangan
sosial antara mereka.
Maka tidak
jarang diantara kita yang acap kali menemukan ayat dalam kitab suci Al-Qur'an
yang mendorong perdagangan dan perniagaan, dan Islam sanggat jelas sekali
menyatakan sikap bahwa tidak boleh ada hambatan bagi perdagangan dan bisnis
yang jujur dan halal, agar setiap orang memperoleh penghasilan, menafkahi
keluarga, dan memberikan sedekah kepada mereka yang kurang beruntung.
Melihat
pada bahasan singkat diatas penulis berminat untuk membahasa lebih lanjut
tentang konsep transaksi Mudharabah.[1] Mudharabah adalah bentuk kerja sama
antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal)
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu
perjanjian di awal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Sumber Hukum, Rukun, Jenis, dan
Sifat Mudharabah
1.
Pengertian Mudharabah
Secara
etimologis, mudharabah berasal dari kata dharaba – yadhribu – dharban
yang artinya memukul. Dengan ditambahnya alif pada dho’, maka kata ini memiliki
konotasi “saling memukul” yang berarti mengandung subjek lebih dari satu orang.
Para fukoha memandang mudharabah dari akar kata ini dengan merujuk kepada
pemakaiannya dalam al-Qur’an yang selalu disambung dengan kata depan “fi”
kemudian dihubungkan dengan “al-ardh” yang memiliki pengertian berjalan di muka
bumi. Mudharabah merupakan bahasa yang
biasa dipakai oleh penduduk Irak sedangkan penduduk Hijaz lebih suka
menggunakan kata “qirodh” untuk merujuk pola perniagaan yang sama. Mereka
menamakan qiradh yang berarti memotong karena si pemilik modal memotong dari
sebagian hartanya untuk diniagakan dan memberikan sebagian dari labanya. Kadang-kadang
juga dinamakan dengan muqaradhah yang berarti sama-sama memiliki hak untuk
mendapatkan laba karena si pemilik modal memberikan modalnya sementara pengusaha
meniagakannya dan keduanya sama-sama berbagi keuntungan. Dalam istilah fikih
muamalah, mudharabah adalah
suatu bentuk perniagaan di mana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada
pengusaha/pengelola, untuk diniagakan dengan keuntungan akan dibagi bersama
sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan kerugian, jika ada,
akan ditanggung oleh si pemilik modal. Para
ulaa sepakat bahwa landasan syariah mudharabah
dapat ditemukan dalam al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan qiyas.[2]
2.
Sumber Hukum
·
Al-Qur’an
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebarkanlah kamu
dimuka bumi dan carilah karunia Allah SWT.” (QS 62:10)
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki
hasil perniagaan).”
(QS 2:198).
·
As-Sunnah
Dari shalih bin suaib r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan: Jual beli secara tanngguh,
muqaradhah (mudharabah) dan mencampur adukan dengan tepung untuk keperluan
rumah bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah).
·
Ijma
Diantara ijma mudharabah adanya riwayat yang menyatakan
bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah,
perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.
·
Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-musyaqoh (menyuruh
seorang untuk mengelola kebun) selain diantara manusia ada yang miskin ada pula
yang kaya, disuatu sisi lain banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan
hartanya, di sisi lain tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi
tidak memiliki modal. Dengan demikian adanya mudharabah ditujukan antara lain
untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan diatas, yakni untuk kemashalatan
manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.
3.
Rukun Mudharabah
Ulama
hanafiyah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qobul, yakni lafad
yang menunjukan ijab dan qobul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah,
muamalah, atau kata-kata yang searti dengannya.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu dua orang melakukan
akad (al-aqidani), modal (ma’qud alaih), dan shiqad (ijab dan qabul), sedanngkan
ulama syafi’iyah lebih merici lagi menjadi lima rukun yaitu: modal, pekerjaan,
laba, shighat, dan dua orang yang akad.
4.
Jenis Mudharabah
Jenis
Mudharabah diklasifikasikan ke dalam 3 jenis yaitu: mudharabah Muthalaqoh,
Mudharabah Muqayyadah, dan Mudharabah Musytarakah.
·
Mudharabah Muthalaqoh adalah mudharabah di mana pemilik dananya memberikan
kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelola investasinya. Dan mudharabah
ini disebut juga investasi tidak terikat.
·
Mudharabah Muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan
batasan kepada pengelola antara lain mengenai dana, lokasi, cara, atau objek
investasi atau sektor usaha.
·
Mudharabah Musytarakah adalah mudharabah di mana pengelola dana menyerahkan
modal atau dananya dalam kerja sama investasi.
5.
Sifat Mudharabah
Ulama
fiqih sepakat bahwa akad dalam mudharabah sebelum dijalankan oleh pekerja
termaksud akad yang tidak lazim. Apabila sudah dijalankan oleh pekerja,
diantara ulama terdapat perbedaan pendapat, ada yang berpendapat termaksud akad
yang lazim, yakni dapat diwariskan seperti pendapat imam malik, sedangkan
menurut ulama syafi’iyah, malikiyah dan hanabilah akad tersebut tidak lazim,
yakni tidak dapat diwariskan.
B. Syarat
Sah Mudharabah
1.
Syarat
Aqidani
Di
syaratkan bagi orang yang melakukan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha
adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil sebab mudharib mengusahakan
harta pemilik modal, yakni menjadi wakil.
2.
Syarat
Modal
a.
Modal
harus berupa uang, seperti dinar, dirham, atau sejenisnya, yakni segala sesuatu
yang memungkinkan dalam perkongsian
b.
Modal
harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran
c.
Modal
harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak harus ada tempat akad. Juga
dibolehkan mengusahakan harta yang dititipkan kepada oranng lain, seperti
mengatakan:”Ambil harta saya di si fulan kemudian jadikan modal usaha”
d.
Modal
harus diberikan kepada pengusaha, hal itu dimaksudkan agar pengusaha dapat
mengusahakannya, yakni menggunakan harta tersebut sebagai amanah
3.
Syarat-syarat
Laba
a.
Laba
harus memiliki ukuran
Mudharabah yang dimaksudkan untuk mendapatkan laba,
dengan demikian pengusaha dibolehkan menyerahkan laba sebesar Rp.5000,00
misalnya untuk dibagi diantara keduanya tanpa menyebutkan ukuran laba yang
diterimanya.
b.
Laba
harus berupa bagian yang umum (Masyhur)
Pembagian laba harus sesuai dengan keadaan yang
berlaku secara umum, seperti kesepakatan diantara orang yang melangsungkan akad
bahwa setengah laba adalah untuk pemilik modal, sedanngkan setengah lainnya
lagi diberikan kepada pengusaha.
Akan tetapi tidak boleh menetapkan jumlah tertentu bagi satu pihak lain,
seperti menetapkan laba Rp.1000 bagi pemilik modal dan menyerahkan sisanya bagi
pengusaha.
C. Hukum Mudharabah
Hukum mudharabah terbagi dua yaitu:
Mudharabah Sahih dan Mudharabah Fasid
1.
Hukum mudharabah fasid
Beberapa hal dalam mudharabah fasid
yang mengharuskan pemilik modal memberikan upah kepada pengusaha antara lain:
·
Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual,
atau mengambil barang
·
Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga pengusaha
tidak bekerja, kecuali atas seizinnya
·
Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan harta
modal tersebut dengan harta orang lain atau barang lain miliknya
2.
Hukum mudharabah shahih
Hukum mudharabah shahih yang
tergolong shahih diantaranya:
Ø Tanggung jawab pengusaha
Apabila pengusaha berutang ia memiliki hak atas laba
secara bersama-sama dengan pemilik modal. Jika mudharabah rusak karena adanya
beberapa sebab yang menjadikannya rusak, pengusaha menjadi pedagang sehingga ia
pun memiliki hak untuk mendapat upah, jika harta rusak tanpa disengaja ia tidak
bertanggung jawab atas rusaknya modal tersebut, dan jika mengalami kerugian pun
ditanggung oleh pengusaha saja.
D. Perkara yang Membatalkan Mudharabah
1)
Pembatalan,
Larangan Berusaha, dan Pemecatan
Mudharabah
menjadi batal dengan adanya pembatalan mudharabah, larangan untuk mengusahakan
(tasharuf) dan pemecatan. Semua ini jika memenuhi syarat pembatalan dan
larangan, yakni orang yang melakukan akad mengetahui pembatalan dan pemecatan
tersebut, serta modal telah diserahkan ketika pembatalan atau larangan.
2)
Salah
seorang Aqid Meninggal dunia
Jumhur
ulama berpendapat bahwa mudharabah batal, jika salah seorang akad meninggal
dunia, baik pemilik modal, maupun pengusaha. Sedangkan ulama Malikiyah
berpendapat bahwa mudharabah tidak batal dengan meninggalnya salah seorang yang
melakukan akad, tetapi dapat diserahkan kepada ahli warisnya, jika dapat
dipercaya.
3)
Salah
seorang Aqid Gila
ahwa
gila membatalkan mudharabah, sebab gila atau sejenisnya membatalkan keahlian
dalam mudharabah.
4)
Pemilik
Modal Rusak
Apabila pemilik modal
murtad (keluar dari Islam) atau terbunuh
dalam keadaan murtad, atau tergabung
dengan musuh serta karena diputuskan oleh hakim atas pemberontakan hal itu
membatalkan mudharabah sebab bergabung dengan musuh sama saja dengan mati.
5)
Modal
rusak ditangan Pengusaha
Jika
harta rusak sebelum dibelanjakan, mudharabah menjadi batal. Hal ini karena
modal harus dipegang oleh pengusaha. Jika modal rusak, mudharabah batal. Begitu
pula nudharabah dianggap rusak jika modal diberikan kepada
orang
lain atau dihabiskan sehingga tidak tersisa untuk diusahakan.[3]
E. Prinsip Pembagian Hasil Usaha Mudharabah
Dalam
mudharah istilah profit and loss sharing
tidak tepat digunakan karena yang dibagi hanya keuntungannya saja (profit), tidak termasuk kerugian (loss). Sehingga untuk pembahasan
selanjutnya akan digunakan istilah prinsip bagi hasil seperti yang digunakan
dalam Undang-Undang No.10 tahun 1998, karena apabila usaha tersebut gagal
kerugian tidak dibagi diantara pemilik dana dan pengelola dana tetapi harus
ditanggung sendiri oleh pemilik dana.
Pembagian
hasil usaha mudharabah dapat dilakukan berdasarkan pengakuan penghasilan usaha
mudharabah dalam praktik dapat diketahui berdasarkan laporan bagi hasil atas
realisasi penghasilan hasil usaha dari pengelola dana. Tidak diperkenankan
mengakui pendapatan dari proyeksi hasil usaha. Jika mudharabah melebihi satu
periode pelaporan, penghasilan usaha diakui dalam periode terjadinya hak bagi
hasil sesuai nisbah yang disepakati.
F. Perlakuan Akuntansi dalam Mudharabah
1. Akuntansi untuk Pemilik Dana
a)
Dana yang disalurkan oleh pemilik dana diakui sebagai investasi mudharabah
pada saat pembayaran kas atau penyerahan aset nonkas kepada pengelola dana.
b)
Pengukuran investasi mudharabah
1. Investasi
mudharabah dalam bentuk kas diukur sebesar jumlah yang dibayarkan.
2. Investasi
mudharabah dalam bentuk aset nonkas diukur sebesar nilai wajar aset non-kas
pada saat penyerahan.
c) Penyaluran
nilai jika investasi mudharabah dalam bentuk aset nonkas
1. Penurunan
nilai sebelum usaha dimulai
Jika nilai investasi mudharabah turun sebelum usaha
dimulai disebabkan rusak, hilang atau faktor lain yang bukan karena kelalaian
atau kesalahan pihak pengelola dana, maka penurunan nilai tersebut diakui
sebagai kerugian dan mengurangi saldo investasi mudharabah.
2. Penurunan nilai setelah
usaha dimulai
Jika sebagai investasi mudharabah hilang setelah dimulainya
usaha tanpa adaya kelalaian atau kesalahan pengelola dana, maka kerugian
tersebut tidak langsung mengurangi jumlah investasi mudharabah namun
diperhitungkan pada saat pembagian bagi hasil.
d) Kerugian
kerugian yang terjadi dalam satu priode sebelun akad mudharabah
berakhir, pencatatan kerugian yang terjadi dalam suatu periode sebelum akad
mudharabah berakhir diakui sebagai kerugian dan dibentuk penyisihan kerugian
investasi.
e) Hasil Usaha
Bagian hasil usaha yang belum dibayar oleh
pengelola dana diakui sebagai piutang.
f) Akad mudharabah berakhir
Pada saat akad mudharabah berakhir, selisih antara investasi
mudharabah setelah dikurangi penyisihan kerugian investasi dan pengembalian
investasi mudharabah, diakui sebagai keuntungan atau kerugian.
g)
Penyajian
Pemilik dana menyajikan investasi mudharabah dalam laporang
keuangan sebesar nilai tercatat yaitu nilai investasi mudharabah dikurangi
penyisihan kerugian (jika ada).
h)
Pengungkapan
Pemilik dana mengungkapan hal-hal yang terkait dengan transaksi
mudharabah, tetapi tidak terbatas pada:
1. Isi kesepakatan
utama usaha mudharabah seperti: porsi dana, pembagian hasil usaha, aktivitas
usaha mudharabah, dan lain-lain.
2. Rincian jumlah
investasi mudharabah berdasarkan jenisnya.
3. Penyisihan
kerugian investasi mudharabah selama periode berjalan.
4. Pengungkapan
yang diperlukan sesuai penyajian laporan keuangan syari’ah.
2. Akuntansi untuk
Pengelola
a)
Dana yang diterima dari pemilik dana dalam akad mudharabah diakui sebagai
dana syirkah temporer sebesar jumlah kas atau nilai wajar aset nonkas yang
diterima.
b)
Pengukuran dana syirkah temporer.
Dana syirkah
diukur sebesar jumlah kata atau nilai wajar aset nonkas yang diterima.
c) Penyaluran
kembali dana syirkah temporer
Jika pengelola dana menyalurkan kembali dana syirkah temporer
yang diterima maka pengelola dana mengakui sebagai aset. Sama seperti akuntansi
untuk pemilik dana. Dan ia akan mengakui pendapatan secara bruto sebelum
dikurangi dengan bagian hak pemilik dana.
d) Sedangkan apabila pengelola
dana mengelola sendiri dana mudharabah berarti ada pendapatan dan beban yang
diakui dan pencatatannya sama dengan
akuntansi konvensional.
e) Kerugian yang di akibatkan oleh kesalahn atau
kelalaian pengelola dana diakui sebagai beban pegelola dana.
f) Di akhir akad
g) Penyajian
Pengelola dana menyajikan transaski mudharabah dalam laporan
kuangan:
1. dana srirkah
temporer dari pemilik dana di sajikan sebesar nilai tercatatnya untuk setiap
jenis mudharabah.
2. bagi hasil dana
syirkah temporer yang sudah di perhitungkan tetapi belum diserahkan kepada
pemilik dana disajikan sebagai pos bagi hasil yang belum di bagikan sebagai
kewajiban.
h) Pengungkapan
pengungkapan dana mengungkapkan transaksi mudharabah dalam
laporan keuangan:
1. Isi kesepakatan utama usaha
mudharabah, seperti porsi dana, pembagian hasil usaha, aktifitas usaha
mudharabah, dan lain lain.
2. Rincian
dana syirkah temporer yang di terima berdasarkan jenisnya.
3. Penyaluran dana yang berasal dari
mudharabah, muqayyadah, pengungkapan yang diperlukan sesuai penyajian laporan
keuangan syariah.[4]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akad mudharabah merupakan akad kerja sama usaha antara
pemilik dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha.
Oleh sebab itu, akad mudharabah
merupakan suatu transaksi pembiayaan atau investasi yang berdasarkan
kepercayaan. Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam akad mudharabah,
yaitu kepercayaan dari pemilik dana kepada pengelola dana. Hal ini disebabkan
bahwa laba dibagi atas dasar nishab bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah
pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh si pemilik dana
kecuali disebabkan oleh pengelola dana.
Tedapat beberapa jenis akad
mudharabah, namun seluruh jenis akad mudharabah tersbut harus memenuhi rukun
dan ketentuan syari’ah yang mengacu pada Al-Qur’an, As-Sunah, Ijma, dan Qiyas.
Kaum Muslimin
sudah terbiasa melakukan kerja sama semacam mudharabah
hingga jaman sekarang ini, di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang
menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini
sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun-temurun, dari zaman jahiliyah
hingga zaman Nabi, kemudian beliau mengetahui, melakukan dan tidak
mengingkarinya.
“Allah telah menghalalkan Jual beli
dan mengharamkan riba...(Q.S.Al-Baqarah:275)
“Dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah” (QS.Al Mujammil:20)
“Dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah” (QS.Al Mujammil:20)
“Tidak ada
dosa bagimu untuk mencari karunia (Rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”.
(QS.Al Baqarah: 19
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i, rachmad. 2002. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka
Setia
Nurhayati, Sri dan
Wasilah. 2011. Akuntansi Syari’ah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat
http://www.koperasisyariah.com/definisi-mudharabah/
http://www.canboyz.co.cc/2010/02/makalah-mudharabah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar