--> Menikah beda Agama, bagaimana menurut Agama? | Fragmen Ilmiah

Himpunan Makalah, Skripsi, dan Jurnal

Total Tayangan Halaman

25/03/19

Menikah beda Agama, bagaimana menurut Agama?

| 25/03/19
MAKALAH
"Pandangan Islam Tentang Menikah Beda Agama"



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pluralisme menghendaki manusia untuk bisa hidup berdampingan dengan rukun dalam lingkaran perbedaan. Bagaimanapun setiap orang menginginkan hal itu, berapapun banyak perbedaan yang mereka miliki, hidup penuh keharmonisan tentu menjadi idaman, Islam secara eksplisit tentu saja memerintahkan ummatnya untuk hidup saling menghormati satu sama lain, bukan hanya kepada sesama ummat Islam, tapi kepada seluruh manusia yang disebut Ukhuwah Insaniyah.
Karenanya Islam mengajarkan pengikutnya untuk menjungjung tinggi toleransi, terutama dalam hal beragama. Namun seiring dengan kemajuan budaya serta adanya globalisasi tampaknya toleransi umat beragama tampaknya telah mengalami pergeseran dibeberapa sisi. Sebut saja dengan adanya pernikahan beda agama yang menggunakan dalih ‘selama saling menghormati dan toleransi’
Awalnya pernikahan beda agama di Indonesia diramaikan oleh pelaku hiburan tanah air yang dengan mudah dapat terekspos kemasyarakat luas. Akhir akhir ini kita bahkan sering mendapati orang-orang disekeliling kita, tetangga atau teman yang menikah dengan orang yang memiliki keyakinan yang berbeda. Lantas bagaimanakah Islam memandang hal ini ? Apakah Islam membolehkan pernikahan lintas agama ?
Melalui makalah sederhana ini , penyusun insya Allah akan menguraikan sedikit  tentang Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Islam.






B. Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian nikah ?
  2. Apa pandangan Islam mengenai pernikahan beda Agama?
  3. Bagaimana pernikahan beda Agama dalam hukum Islam?
  4. Adakah dalil mengenai pernikahan beda agama ?
C. Tujuan Makalah
  1. Mengetahui pengertian nikah.
  2. Memahami pandangan Islam mengenai pernikahan beda agama.
  3. Mengetahui bagaimana pernikahan beda Agama dalam hukum Islam.
  4. Mengetahui dalil mengenai pernikahan beda agama.



















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah
Menurut bahasa nikah berarati terkumpul atau menyatu, menjodohkan atau bersenggama (wathi’). Menurut istilah syari’at Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewajiban antara kedua insan.
Menuru Undang Undang no 1 Tahun 1974 tentang perkawinan , mendefinisikan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
            Berdasarkan pengertian diatas, disimpulkan bahwa tujuan pernikahan adalah  untuk membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Sedangkan menurut syari’:[1]
1.    Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi.
2.    Untuk membentengi akhlaq yang luhur dan untuk menundukan pandangan.
3.    Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami.
4.    Untuk menghasilkan keturunan yang sah secara biologis dan secara syari’at.
B. Pandangan Islam Mengenai Pernikahan Beda Agama
Dalam Islam, menikah bukan hanya menyatukan dua manusia, melainkan ada aturan atauran yang harus diperhatikan, sehingga dengan aturan aturan itu menimbulkan adanya pernikahan yang sah dan tidak sah, serta pernikahan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, lantas bagaimana dengan pernikahan beda agama ?
Pada dasarnya ulama membolehkan menikah beda agama, namun dengan kondisi seorang Muslim laki-laki menikah dengan wanita Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi). Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama).
Dalam beberapa literatur dan juga kitab-kitab Tafsir disebutkan perbedaan pendapat apakah selain wanita Ahli Kitab, seorang Muslim boleh menikahinya? Artinya ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menikahi wanita non-Muslim yang dari selain Ahli Kitab.
Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan Kitabiyah dan non Kitabiyah sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli. Adapun umat-umat lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka tidak termasuk dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk Israil dan dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi umat-umat setelah Bani israil.”
Jumhur sahabat dan jumhur ulama pun membolehkan pernikahan berbeda agama dalam keadaan seperti ini, yakni laki laki muslim menikahi wanita muslim, diantara para jumhur shahabat membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin Al-Khattab, Ustman bin Affan, Jabir, Thalhah, Huzaifah. Bersama dengan para shahabat Nabi juga ada para tabi`Insya Allah seperti Atho`, Ibnul Musayib, al-Hasan, Thawus, Ibnu Jabir Az-Zuhri.
Adapun jika keadaannya terbalik, wanita muslim menikahi laki laki non muslim (kafir / musyrik) Ijma’ (konsensus) ulama: tidak diperbolehkan seorang wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, apapun jenis ke-non-Muslimannya. Entah itu dia seorang Nasrani, Yahudi, Budha, Hindu atau agama pun, yang penting ia bukanlah seorang Muslim.
Yang sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, dimana mereka berdua tidak melarang hanya memkaruhkan menikahi wanita kitabiyah selama ada wanita muslimah.
Pendapat yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu Umar. Beliau mengatakan bahwa nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa. Sehingga menurut mereka menikahi wanita ahli kitab itu haram hukumnya karena mereka adalah musyrik.
Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah itu boleh dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya. Namun demikian, wanita muslimah yang komitmen dan bersungguh-sungguh dengan agamanya tentu lebih utama dan lebih layak bagi seorang muslim dibanding wanita ahlul kitab. Juga apabila ia khawatir terhadap akidah anak-anak yang lahir nanti, serta apabila jumlah pria muslim sedikit sementarawanita muslimah banyak, maka dalam kondisi demikian ada yang berpendapat haram hukumnyapria muslim menikah dengan wanita non muslim.
Secara ringkas hukum nikah beda agama bisa kita bagi menjadi demikian :[2]
1.    Suami Islam, istri ahli kitab = boleh
2.    Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram
3.    Suami ahli kitab, istri Islam = haram
4.    Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram
Dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab namun tidak sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa atas isterinya, dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Namun perlulah diketahui masih adakah yg namanya wanita ahlul kitab zaman sekarang ? wallahu`alam..itu seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.dan untuk hal satu ini..adalah sulit laki laki menemukan wanita ahli kitab walaupun diperbolehkan.
Islam menjamin kebebasan aqidah bagi isterinya, serta mlindungi hak-hak dan kehormatannnya dengan syariat dan bimbingannya. Akan tetapi, agama lain seperti nasrani dan yahudi tidak pernah memberikan jaminan kepada isteri yang berlainan agama. 
C. Pernikahan Beda Agama Dalam Hukum Islam
Diskursus mengenai masalah Perkawinan Beda Agama dalam wacana keislaman memang sangat menarik dan selalu hangat untuk didiskusikan, karena hal itu selain menyinggung persoalan teologi juga akan menyinggung kondisi sosial. Adapun mengenai masalah Pernikahan Beda Agama ini sebenarnya terbagi dalam tiga kasus;
1. Perkawinan laki-laki non Muslim dengan wanita Muslim.
Untuk pernikahan antara laki-laki non Muslim dengan wanita Muslim, ulama sepakat mengharamkan pernikahan yang terjadi pada keadaan seperti itu, seorang wanita Muslim haram hukumnya dan pernikahannya pun tidak sah bila menikah dengan laki-laki non Muslim.[3]           
2. Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita non Muslimah (Musyrik).
Mengenai perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita non
Muslimah (Musyrik). Dalam hal ini al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 221 dijelaskan: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.”[4]
Ayat ini turun bertalian dengan kejadian Abi Martsad Al-Ghanawi, yang juga di sebut orang Martsad Ibnu Abi Martsad, sedang namanya sendiri Kun Nasbin Hashin Al Ghanawi. Dia dikirim oleh Rosullullah secara rahasia di Mekkah untuk mengeluarkan seorang sahabatnya dari sana. Sedang di Mekkah pada jaman jahiliyah dulu dia punya teman perempuan yang dicintainya, namanya “Inaq”, perempuan ini lalu datang kepadanya, maka kata Martsad kepadanya:”Sesungguhnya Islam telah mengharamkan perbuatan-perbuatan jahiliyah dulu.” Lalu kata Inaq: “Kalo begitu kawini saja saya.” Jawab Martsad: “Nanti saya minta ijin dulu kepada Rosulullah.” Lalu dia datang pada Rosulullah minta izin Tetapi Beliau melarang mengawininya, sebab ia sudah Islam sedang perempuan itu masih musyrik.
3. Laki-laki Muslim Menikah dengan Wanita Ahl Kitab.
Yang terakhir yaitu seorang laki-laki Muslim dilarang menikah dengan wanita non Muslim kecuali wanita Ahli Kitab seperti yang disebut dalam surat Al Maidah ayat 5.
Ibnul Mundzir berkata: Tidaklah benar bahwa ada yang melarang seorang sahabat yang mengharamkan kawin dengan perempuan Ahli Khitab.[5] Kawin dengan perempuan Ahli Kitab sekalipun boleh tapi hukumnya makruh. Karena adanya rasa tidak aman dari gangguan-gangguan keagamaan bagi suaminya atau bisa saja ia menjadi alat golongan agamanya. Jika perempuannya dari golongan Ahli Khitab yang bermusuhan dengan kita (harbi), maka dianggap lebih makruh lagi sebab berarti akan memperbanyak jumlah orang yang menjadi musuh kita.[6]
Golongan Hanafi berpendapat setiap orang yang memeluk agama dan mempunyai Kitab Suci seperti kitab suci Daud yang bernama Zabur, maka halal kawin dengan mereka dan memakan sembelihan mereka selama mereka tidak berbuat syirik.
Jadi mereka sama dengan golongan Yahudi dan Nasrani. Tetapi golongan Syafi‟i dan sebagian golongan Hambali berpendapat bagi kita kaum Muslimin tidak halal kawin dengan perempuan mereka dan memakan sembelihan mereka. Di samping itu kitab-kitab dari umat sebelum kaum Yahudi dan Nasrani isinya sekedar nasehat dan perumpamaan, dan sama sekali tidak berisi masalah hukum. Oleh karena itu tidaklah kitab-kitab suci diatas dapat disebut sebagai kitab-kitab suci yang berisi syari‟at.
Di sisi lain para ulama pun sepakat bahwa perempuan Muslim tidak halal kawin dengan laki-laki non Muslim, baik dia Musyrik ataupun Ahli Kitab. Alasannya adalah firman Allah:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu perempuanperempuan mukmin yang berhijjrah hendaklah mereka kamu uji terlebih dahulu. Allah lebih mengetahui iman mereka. Jika kamu telah dapat membuktikan bahwa mereka benar-benar beriman maka janganlah mereka kembalikan kepada orang-orang kafir. Mereka ini (perempuanperempuan mukmin) tidak halal bagi laki-laki kafir. Dan laki-laki kafir pun tidak halal bagi mereka.(Al-Mumtahanah:10)
Pertimbangan dari pada ketentuan ini adalah bahwa di tangan suamilah kekuasaan terhadap isterinya, dan bagi isteri wajib taat kepada perintahnya yang baik. Dalam pengertian seperti inilah maksud dari pada kekuasaan suami terhadap isteri. Akan tetapi bagi orang non muslim tidak ada kekuasaan terhadap laki-laki atau perempuan Muslim. Firman Allah:
Artinya: Dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (An-Nisa:14)
Para ulama pun juga telah sepakat bahwa orang Islam tidak boleh mengawini wanita-wanita Musyrik, wanita Atheis, dan wanita Murtad tanpa adanya pengecualian. Adapun di sini pendapat dari para ulama mengenai adanya Perkawinan Beda Agama tersebut adalah dimulai dari pendapat Maududi ia menerangkan bahwa Imam Abu al-A‟la al-Maududi menyatakan kawin dengan wanita Kitabiyah, kalaupun diperbolehkan bagi laki-laki, itupun makruh hukumnya. Di sana ada sebagian ulama yang mengharamkan hal tersebut. Hukum yang telah disepakati bersama adalah tidak bolehnya wanita Muslimah kawin dengan laki-laki non Muslim.[7]
Adapun pendapat Sayyid Qutb di sini menjelaskan bahwa dalam perkawinan, kepercayaan agama merupakan suatu landasan yang mengisi setiap jiwa, mempengaruhi, menggambarkan perasaannya, membatasi semua pengaruh jiwa dan kehendaknya serta menentukan jalan kehidupan yang bakal ditempuhnya. Hal yang demikian itu masih banyak masyarakat yang terkecoh dalam masalah kepercayaan agama sehingga mereka menduga bahwa masalah akidah (kepercayaan agama) ini hanyalah perasaan yang ada dalam jiwa dan dapat diganti dengan beberapa filsafat ataupun beberapa aliran sosial.[8]
Adapun pendapat para jumhur ulama yang lain menjelaskan bahwa wanita Kitabiyah yang mempercayai trinitas, termasuk dalam kategori Ahlul Kitab yang disebutkan dalam ayat tersebut. Akan tetapi menurut para jumhur ulama tersebut dalam hal ini lebih cenderung untuk mengikuti pendapat yang mengharamkannya menikahi wanita Kitabiyah yang memiliki akidah trinitas tadi.[9]
Selain itu seorang suami Kafir tidak mau tahu akan agama isterinya yang Muslim bahkan ia mendustakan kitab sucinya dan mengingkari ajaran Nabinya. Di samping itu dalam rumah yang terdapat perbedaan paham begitu jauh dan keyakinan begitu prinsip, maka rumah tangganya tidak akan dapat tegak dengan baik dan berjalan langgeng.[10]
Akan tetapi hal ini akan berbeda jika laki-laki Muslim kawin dengan perempuan Ahli Kitab, sebab ia mau tahu agama isterinya, dan menganggap bahwa percaya kepada Kitab Suci dan Nabi-Nabi agama isterinya sebagai bagian daripada rukun iman. Di mana keimanan Islamnya ini tidak akan sempurna kalau tidak mempercayai Kitab dan para Nabi Ahli Kitab.[11]
Tentang dibolehkannya pernikahan dengan non Muslim, terdapat para sahabat Nabi yang menikahi perempuan Kristen dan Yahudi, antara lain: Hudzayfah, Thalhah. Khalifah Umar sempat berang dan marah tatkala mendengar kabar pernikahan tersebut. Sikap Umar yang seperti itu sebenarnya bukan untuk mengharamkan pernikahan mereka, melainkan hanya khawatir. Barangkali Umar khawatir apabila sewaktu-waktu para sahabat membelot dan masuk dalam komunitas non-Muslim. Hudzayfah dan Thalhah merupakan kedua tokoh yang menonjol pada zamannya, sehingga wajar bila Umar mengingatkan mereka berdua.[12]
Mengkritik pendapat dari para ulama yang sepakat di atas, bila pernikahan laki-laki Muslim dengan wanita non Muslim (Kristen dan Yahudi) diperbolehkan, kemudian masihkah ada celah untuk sebaliknya, yaitu bagaimana dengan pernikahan wanita Muslim dengan laki-laki nonMuslim, baik Kristen,Yahudi, atau agama-agama non semitik lainnya?
Memang, dalam masalah ini terdapat persoalan serius, karena tidak ada teks suci, baik al-Qur‟an, hadis atau kitab fiqih sekalipun yang memperbolehkan pernikahan seperti itu. Tapi menarik juga untuk dicermati, karena tidak ada larangan yang sharih (jelas). Yang ada justru hadis yang tidak jelas kedudukannya, Rasulillah s.a.w bersabda, kami menikahi wanitawanita Ahl al-Kitab dan laki-laki Ahl al-Kitab tidak boleh menikahi wanitawanita kami (Muslimah). Khalifah Umar abn Khattab dalam sebuah pesannya, seorang muslim menikahi wanita Nasrani, akan tetapi laki-laki Nasrani tidak boleh menikahi wanita Muslimah.[13]
Setelah diteliti, hadis yang diterangkan di atas dikomentari oleh Shudqi Jamil al- „Aththar sebagai hadis yang tidak shahih. Hadis tersebut tergolong hadis mawquf yaitu hadis yang sanadnya terputus hingga Jabir, sebagaimana dijelaskan al-Imam al-Syafi‟i dalam kitabnya, al-Um. Sedangkan ungkapan Umar ibn Khattab merupakan sebuah ungkapan kekawatiran bila wanita-wanita Muslim dinikahi laki-laki non Muslim, maka mereka akan pindah agama. Dan umat Islam pada saat ini membutuhkan kuantitas dan sejumlah penganut yang setia.
Kasus Perkawinan Beda Agama di Indonesia adalah layaknya hama di ladang yang terus dibasmi namun masih terus-menerus ada, karena hal itu suatu keniscayaan dari masyarakat yang heterogen. Mengenai dilema Perkawinan Beda Agama di Indonesia Cah Nur (Nurcholis Madjid) mempunyai pendapat tersendiri yang cukup menarik untuk kita cermatisebagaimana di bawah ini:[14]
Pertama, bahwa pluralitas agama merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama samawi dan mereka membawa ajaran amal sholeh sebagai orang yang akan bersama-Nya di surga nanti. Bahkan Tuhan juga secara eksplisit menyebutkan agar perbedaan jenis kelamin dan suku sebagai tanda satu dengan yang lainnya saling mengenal. Dan Pernikahan Beda Agama justru dapat dijadikan salah satu ruang, yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih dekat.
Kedua, bahwa tujuan dari berlangsungnya pernikahan adalah untuk membangun tali kasih (al-Mawaddah) dan tali sayang (al-Rahmah). Di tengah antar hubungan antar agama saat ini, perkawinan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan kasih sayang kita rajut kerukunan dan kedamaian.
Ketiga, semangat yang dibawa Islam adalah pembebasan, bukan belenggu. Dan tahapan-tahapan yang dilakukan oleh al-Qur‟an sejak larangan pernikahan dengan orang musyik, lalu membuka jalan bagi pernikahan dengan Ahl al-Kitab merupakan sebuah tahapan pembebasan secara evolutif. Dan pada saatnya, kita melihat agama lain bukan kelas kedua, dan bukan pula ahl al-dzimmah dalam arti menekan mereka, melainkan sebagai warga negara. Fahmi Huwaydi (1999) sudah memulai langkah maju tersebut dengan sebuah manifestonya, non Muslim adalah warga negara dan bukan kelas kedua (muwathinun la dzummiyyun) di Indonesia.

D. Dalil Mengenai Pernikahan Beda Agama

Allah Ta’ala berfirman,
Ùˆَلا تُÙ†ْÙƒِØ­ُوا الْÙ…ُØ´ْرِÙƒِينَ Ø­َتَّÙ‰ ÙŠُؤْÙ…ِÙ†ُوا ÙˆَÙ„َعَبْدٌ Ù…ُؤْÙ…ِÙ†ٌ Ø®َÙŠْرٌ Ù…ِÙ†ْ Ù…ُØ´ْرِÙƒٍ ÙˆَÙ„َÙˆْ Ø£َعْجَبَÙƒُÙ…ْ Ø£ُولَئِÙƒَ ÙŠَدْعُونَ Ø¥ِÙ„َÙ‰ النَّارِ
“…….dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka,….” ( QS: Al-Baqarah: 221)
“…mereka (wanita-wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka… “ (QS: Al-Mumtahanah: 10)
Dua ayat ini secara tegas mengatakan bahwa wanita Muslimah itu haram dinikahkah dengan orang kafir bagaimana pun alasannya. Dan ulama telah mengatakan bahwa ini adalah Ijma’ ulama.[15]
Jika suatu hukum itu sudah dihukumi oleh sebuah Ijma’, maka sudah tidak ada lagi perselisihan pendapat didalamnnya. Begitu suatu masalah dihukumi, dan hukum itu tidak diperselisihkan oleh ulama yang lain, maka itu menjadi ijma’. Dan ketika sudah menjadi Ijma’, sudah tidak perlu lagi dipertanyakan. Ini prinsip yang dipegang oleh para fuqaha’ (ahli fiqih).
Adapun ayat yang terkandung dalam surah Al-Maidah ayat 5, seperti dibawah ini:
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang Ahli kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang Ahli kitab sebelum kamu…..” (QS. Al-Maidah: 5)
Ayat ini ialah takhshish [تخصيص] untuk ayat 221 surah al-Baqarah diatas. Disebutkan bahwa wanita non-Muslim (musyrik) itu tidak boleh dinikahi oleh laki- laki Muslim. Pada ayat ini terjadi pengkhususan, bahwa larangan yang ada di surah al-Baqarah itu untuk wanita musyrik saja, sedangkan Ahli Kitab, dibolehkan.
Artinya bahwa kalau wanita itu Ahli Kitab, tetap boleh. Walaupun ia seorang wanita kafir. Karena yang dilarang itu ialah wanita kafir yang selain Ahli Kitab.
Larangan bagi wanita Muslimah untuk menikah dengan laki-laki non-Muslim tetap berlaku. Karena ayat ini ialah takhshish [تخصيص] bukan naskh [نسخ] yang menghapus kandungan hukum dalam ayat. Ini hanya pengkhususan saja. Maka yang tidak dikhususkan dalam ayat, hukumnya tetap berlaku.

BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
  1. Menikah secara bahasa artinya menyatukan, menjodohkan atau bersenggama, sementara menurut istilah adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewajiban antara kedua insan.
  2. Tujuan menikah menurut syariat islam adalah : untuk memenuhi tunytutan naluri manusia yang asasi, untuk membentengi akhlaq yang luhur dan untuk menundukan pandangan, untuk menegakkan rumah tangga yang Islami, dan untuk memperoleh keturunan yang sah secara biologis dan secara syari’at.
  3. Sebagian besar ulama membolehkan pernikahan beda agama dengan syarat laki laki nya adalah seorang muslim dan wanita non muslim ahli kitab, diluar keadaan itu maka pernikahan beda agama diharamkan.
  4. Dalil mengenai pernikahan beda agama tertulis dalam al quran secara jelas dalam QS: Al-Baqarah: 221.










DAFTAR PUSTAKA

https://id-id.facebook.com/notes/von-edison-alouisci/hukum-islam-dalam-pernikahan-beda-agama/235443739805678

Salma Zuhriyah, Hukum Perkawinan Islam, cet. 1, (Bandung: Mizan, 2002). hal. 34.

Sayyid Sabiq, „Fiqih Sunnah 6”,(Bandung, PT.Al ma‟arif 1980), hal 151.

Asnawi, Perkawinan Beda Agama, di akses dari: http://asnawiihsan.blogspot.com/
2009/05/perkawinan-beda-agama.html, pada tanggal 22Maret 2019.

Asnawi, Perkawinan Beda Agama, cet. 1, (Bandung:Mizan, 2003). hal 56.

Sudarsono,Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta, PT.Rineka Cipta,1994), hal 196.

Nurcholish Madjid, “Fiqih Lintas Agama”,( Jakarta, Paramadina 2004), hal163.


[1] https://id-id.facebook.com/notes/von-edison-alouisci/hukum-islam-dalam-pernikahan-beda-agama/235443739805678
[3] Salma Zuhriyah, Hukum Perkawinan Islam, cet. 1, (Bandung: Mizan, 2002). hal. 34.
[4] Ibid. hal. 55
[5] Sayyid Sabiq, „Fiqih Sunnah 6”,(Bandung, PT.Al ma‟arif 1980), hal 151.
[6] Sayyid Sabiq, „Fiqih Sunnah 6”, Ibid. hal. 152-157
[7] Asnawi, Perkawinan Beda Agama, di akses dari: http://asnawiihsan.blogspot.com/
2009/05/perkawinan-beda-agama.html, pada tanggal 22Maret 2019.
[8] Asnawi, Perkawinan Beda Agama, cet. 1, (Bandung:Mizan, 2003). hal 56.
[9] Sudarsono,Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta, PT.Rineka Cipta,1994), hal 196
[10] Ibid. hal. 201.
[11] Ibid. hal. 211.
[12] Asnawi, Perkawinan Beda Agama, Ibid. hal. 34.
[13] Ibid. hal. 67
[14] Nurcholish Madjid, “Fiqih Lintas Agama”,( Jakarta, Paramadina 2004), hal163.
[15] https://id-id.facebook.com/notes/von-edison-alouisci/hukum-islam-dalam-pernikahan-beda-agama/235443739805678

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar