MAKALAH
"Pandangan Islam Tentang Menikah Beda Agama"
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pluralisme menghendaki manusia untuk bisa hidup berdampingan dengan rukun
dalam lingkaran perbedaan. Bagaimanapun setiap orang menginginkan hal itu,
berapapun banyak perbedaan yang mereka miliki, hidup penuh keharmonisan tentu
menjadi idaman, Islam secara eksplisit tentu saja memerintahkan ummatnya untuk
hidup saling menghormati satu sama lain, bukan hanya kepada sesama ummat Islam,
tapi kepada seluruh manusia yang disebut Ukhuwah Insaniyah.
Karenanya Islam mengajarkan pengikutnya untuk menjungjung tinggi toleransi,
terutama dalam hal beragama. Namun seiring dengan kemajuan budaya serta adanya
globalisasi tampaknya toleransi umat beragama tampaknya telah mengalami
pergeseran dibeberapa sisi. Sebut saja dengan adanya pernikahan beda agama yang
menggunakan dalih ‘selama saling menghormati dan toleransi’
Awalnya pernikahan beda agama di Indonesia diramaikan oleh pelaku
hiburan tanah air yang dengan mudah dapat terekspos kemasyarakat luas. Akhir
akhir ini kita bahkan sering mendapati orang-orang
disekeliling kita,
tetangga atau teman yang menikah dengan orang yang memiliki keyakinan yang
berbeda. Lantas bagaimanakah Islam memandang hal ini ? Apakah Islam membolehkan
pernikahan lintas agama ?
Melalui makalah sederhana ini , penyusun insya Allah akan menguraikan
sedikit tentang Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Islam.
B. Rumusan Masalah
- Apa pengertian nikah ?
- Apa pandangan Islam mengenai pernikahan beda Agama?
- Bagaimana pernikahan beda Agama dalam hukum Islam?
- Adakah dalil mengenai pernikahan beda agama ?
C. Tujuan Makalah
- Mengetahui pengertian nikah.
- Memahami pandangan Islam mengenai pernikahan beda agama.
- Mengetahui bagaimana pernikahan beda Agama dalam hukum Islam.
- Mengetahui dalil mengenai pernikahan beda agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah
Menurut bahasa nikah berarati terkumpul atau menyatu, menjodohkan atau
bersenggama (wathi’). Menurut istilah syari’at Islam adalah akad yang
menghalalkan pergaulan antara laki laki dan perempuan yang tidak ada hubungan
mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewajiban antara kedua
insan.
Menuru Undang Undang no 1 Tahun 1974 tentang perkawinan , mendefinisikan
bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Berdasarkan pengertian diatas, disimpulkan bahwa tujuan pernikahan adalah
untuk membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Sedangkan menurut
syari’:[1]
1.
Untuk memenuhi tuntutan naluri
manusia yang asasi.
2.
Untuk membentengi akhlaq yang luhur
dan untuk menundukan pandangan.
3.
Untuk menegakkan rumah tangga yang
Islami.
4.
Untuk menghasilkan keturunan yang
sah secara biologis dan secara syari’at.
B. Pandangan
Islam Mengenai Pernikahan Beda Agama
Dalam Islam, menikah bukan hanya menyatukan dua manusia, melainkan ada
aturan atauran yang harus diperhatikan, sehingga dengan aturan aturan itu menimbulkan
adanya pernikahan yang sah dan tidak sah, serta pernikahan yang diperbolehkan
dan tidak diperbolehkan, lantas bagaimana dengan pernikahan beda agama ?
Pada dasarnya ulama membolehkan menikah beda agama, namun dengan kondisi
seorang Muslim laki-laki menikah dengan wanita Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi).
Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama).
Dalam beberapa literatur dan juga kitab-kitab Tafsir disebutkan perbedaan
pendapat apakah selain wanita Ahli Kitab, seorang Muslim boleh menikahinya?
Artinya ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menikahi wanita non-Muslim
yang dari selain Ahli Kitab.
Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan Kitabiyah dan
non Kitabiyah sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah
orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli.
Adapun umat-umat lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka
tidak termasuk dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s.
tidak diutus kecuali untuk Israil dan dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi
umat-umat setelah Bani israil.”
Jumhur sahabat dan jumhur ulama pun membolehkan pernikahan berbeda agama
dalam keadaan seperti ini, yakni laki laki muslim menikahi wanita muslim,
diantara para jumhur shahabat membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita
kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin Al-Khattab, Ustman bin Affan, Jabir,
Thalhah, Huzaifah. Bersama dengan para shahabat Nabi juga ada para tabi`Insya
Allah seperti Atho`, Ibnul Musayib, al-Hasan, Thawus, Ibnu Jabir Az-Zuhri.
Adapun jika keadaannya terbalik, wanita muslim menikahi laki laki non
muslim (kafir / musyrik) Ijma’ (konsensus) ulama: tidak diperbolehkan
seorang wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, apapun jenis
ke-non-Muslimannya. Entah itu dia seorang Nasrani, Yahudi, Budha, Hindu atau
agama pun, yang penting ia bukanlah seorang Muslim.
Yang sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin
Hanbal, dimana mereka berdua tidak melarang hanya memkaruhkan menikahi wanita
kitabiyah selama ada wanita muslimah.
Pendapat yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu
Umar. Beliau mengatakan bahwa nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm
yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan
bahwa tuhannya adalah Isa. Sehingga menurut mereka menikahi wanita ahli kitab
itu haram hukumnya karena mereka adalah musyrik.
Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah itu boleh
dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya. Namun demikian,
wanita muslimah yang komitmen dan bersungguh-sungguh dengan agamanya tentu
lebih utama dan lebih layak bagi seorang muslim dibanding wanita ahlul kitab.
Juga apabila ia khawatir terhadap akidah anak-anak yang lahir nanti, serta
apabila jumlah pria muslim sedikit sementarawanita muslimah banyak, maka dalam
kondisi demikian ada yang berpendapat haram hukumnyapria muslim menikah dengan
wanita non muslim.
Secara
ringkas hukum nikah beda agama bisa kita bagi menjadi demikian :[2]
1.
Suami
Islam, istri ahli kitab = boleh
2.
Suami
Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram
3.
Suami ahli
kitab, istri Islam = haram
4.
Suami
kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram
Dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab namun
tidak sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa atas
isterinya, dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Namun perlulah diketahui
masih adakah yg namanya wanita ahlul kitab zaman sekarang ? wallahu`alam..itu
seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.dan untuk hal satu ini..adalah
sulit laki laki menemukan wanita ahli kitab walaupun diperbolehkan.
Islam menjamin kebebasan aqidah bagi isterinya, serta mlindungi hak-hak dan
kehormatannnya dengan syariat dan bimbingannya. Akan tetapi, agama lain seperti
nasrani dan yahudi tidak pernah memberikan jaminan kepada isteri yang berlainan
agama.
C. Pernikahan Beda Agama Dalam Hukum Islam
Diskursus mengenai masalah
Perkawinan Beda Agama dalam wacana keislaman memang sangat menarik dan selalu
hangat untuk didiskusikan, karena hal itu selain menyinggung persoalan teologi
juga akan menyinggung kondisi sosial. Adapun mengenai masalah Pernikahan Beda
Agama ini sebenarnya terbagi dalam tiga kasus;
1. Perkawinan laki-laki non Muslim dengan wanita
Muslim.
Untuk pernikahan antara
laki-laki non Muslim dengan wanita Muslim, ulama sepakat mengharamkan
pernikahan yang terjadi pada keadaan seperti itu, seorang wanita Muslim haram
hukumnya dan pernikahannya pun tidak sah bila menikah dengan laki-laki non
Muslim.[3]
2. Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita non
Muslimah (Musyrik).
Mengenai perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita non
Muslimah (Musyrik). Dalam hal ini al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 221
dijelaskan: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka
beriman.”[4]
Ayat ini turun bertalian
dengan kejadian Abi Martsad Al-Ghanawi, yang juga di sebut orang Martsad Ibnu
Abi Martsad, sedang namanya sendiri Kun Nasbin Hashin Al Ghanawi. Dia dikirim
oleh Rosullullah secara rahasia di Mekkah untuk mengeluarkan seorang sahabatnya
dari sana. Sedang di Mekkah pada jaman jahiliyah dulu dia punya teman perempuan
yang dicintainya, namanya “Inaq”, perempuan ini lalu datang kepadanya, maka
kata Martsad kepadanya:”Sesungguhnya Islam telah mengharamkan
perbuatan-perbuatan jahiliyah dulu.” Lalu kata Inaq: “Kalo begitu kawini saja
saya.” Jawab Martsad: “Nanti saya minta ijin dulu kepada Rosulullah.” Lalu dia
datang pada Rosulullah minta izin Tetapi Beliau melarang mengawininya, sebab ia
sudah Islam sedang perempuan itu masih musyrik.
3. Laki-laki Muslim Menikah dengan Wanita Ahl
Kitab.
Yang terakhir yaitu seorang
laki-laki Muslim dilarang menikah dengan wanita non Muslim kecuali wanita Ahli
Kitab seperti yang disebut dalam surat Al Maidah ayat 5.
Ibnul Mundzir berkata:
Tidaklah benar bahwa ada yang melarang seorang sahabat yang mengharamkan kawin
dengan perempuan Ahli Khitab.[5]
Kawin dengan perempuan Ahli Kitab sekalipun boleh tapi hukumnya makruh. Karena adanya
rasa tidak aman dari gangguan-gangguan keagamaan bagi suaminya atau bisa saja
ia menjadi alat golongan agamanya. Jika perempuannya dari golongan Ahli Khitab
yang bermusuhan dengan kita (harbi), maka dianggap lebih makruh lagi sebab
berarti akan memperbanyak jumlah orang yang menjadi musuh kita.[6]
Golongan Hanafi berpendapat
setiap orang yang memeluk agama dan mempunyai Kitab Suci seperti kitab suci
Daud yang bernama Zabur, maka halal kawin dengan mereka dan memakan sembelihan
mereka selama mereka tidak berbuat syirik.
Jadi mereka sama dengan
golongan Yahudi dan Nasrani. Tetapi golongan Syafi‟i dan sebagian golongan
Hambali berpendapat bagi kita kaum Muslimin tidak halal kawin dengan perempuan
mereka dan memakan sembelihan mereka. Di samping itu kitab-kitab dari umat
sebelum kaum Yahudi dan Nasrani isinya sekedar nasehat dan perumpamaan, dan
sama sekali tidak berisi masalah hukum. Oleh karena itu tidaklah kitab-kitab suci
diatas dapat disebut sebagai kitab-kitab suci yang berisi syari‟at.
Di sisi lain para ulama pun
sepakat bahwa perempuan Muslim tidak halal kawin dengan laki-laki non Muslim,
baik dia Musyrik ataupun Ahli Kitab. Alasannya
adalah firman Allah:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman jika
datang kepadamu perempuanperempuan mukmin yang berhijjrah hendaklah mereka kamu
uji terlebih dahulu. Allah lebih mengetahui iman mereka. Jika kamu telah dapat
membuktikan bahwa mereka benar-benar beriman maka janganlah mereka kembalikan
kepada orang-orang kafir. Mereka ini (perempuanperempuan mukmin) tidak halal
bagi laki-laki kafir. Dan laki-laki kafir pun tidak halal bagi
mereka.(Al-Mumtahanah:10)
Pertimbangan dari pada
ketentuan ini adalah bahwa di tangan suamilah kekuasaan terhadap isterinya, dan
bagi isteri wajib taat kepada perintahnya yang baik. Dalam pengertian seperti
inilah maksud dari pada kekuasaan suami terhadap isteri. Akan tetapi bagi orang
non muslim tidak ada kekuasaan terhadap laki-laki atau perempuan Muslim. Firman
Allah:
Artinya: Dan Allah tidak akan memberikan
jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.”
(An-Nisa:14)
Para ulama pun juga telah
sepakat bahwa orang Islam tidak boleh mengawini wanita-wanita Musyrik, wanita
Atheis, dan wanita Murtad tanpa adanya pengecualian. Adapun di sini pendapat
dari para ulama mengenai adanya Perkawinan Beda Agama tersebut adalah dimulai
dari pendapat Maududi ia menerangkan bahwa Imam Abu al-A‟la al-Maududi
menyatakan kawin dengan wanita Kitabiyah, kalaupun diperbolehkan bagi
laki-laki, itupun makruh hukumnya. Di sana ada sebagian ulama yang mengharamkan
hal tersebut. Hukum yang telah disepakati bersama adalah tidak bolehnya wanita
Muslimah kawin dengan laki-laki non Muslim.[7]
Adapun pendapat Sayyid Qutb di
sini menjelaskan bahwa dalam perkawinan, kepercayaan agama merupakan suatu
landasan yang mengisi setiap jiwa, mempengaruhi, menggambarkan perasaannya,
membatasi semua pengaruh jiwa dan kehendaknya serta menentukan jalan kehidupan
yang bakal ditempuhnya. Hal yang demikian itu masih banyak masyarakat yang
terkecoh dalam masalah kepercayaan agama sehingga mereka menduga bahwa masalah
akidah (kepercayaan agama) ini hanyalah perasaan yang ada dalam jiwa dan dapat
diganti dengan beberapa filsafat ataupun beberapa aliran sosial.[8]
Adapun pendapat para jumhur
ulama yang lain menjelaskan bahwa wanita Kitabiyah yang mempercayai trinitas,
termasuk dalam kategori Ahlul Kitab yang disebutkan dalam ayat tersebut. Akan
tetapi menurut para jumhur ulama tersebut dalam hal ini lebih cenderung untuk
mengikuti pendapat yang mengharamkannya menikahi wanita Kitabiyah yang memiliki
akidah trinitas tadi.[9]
Selain itu seorang suami Kafir
tidak mau tahu akan agama isterinya yang Muslim bahkan ia mendustakan kitab
sucinya dan mengingkari ajaran Nabinya. Di samping itu dalam rumah yang
terdapat perbedaan paham begitu jauh dan keyakinan begitu prinsip, maka rumah
tangganya tidak akan dapat tegak dengan baik dan berjalan langgeng.[10]
Akan tetapi hal ini akan
berbeda jika laki-laki Muslim kawin dengan perempuan Ahli Kitab, sebab ia mau
tahu agama isterinya, dan menganggap bahwa percaya kepada Kitab Suci dan
Nabi-Nabi agama isterinya sebagai bagian daripada rukun iman. Di mana keimanan
Islamnya ini tidak akan sempurna kalau tidak mempercayai Kitab dan para Nabi
Ahli Kitab.[11]
Tentang dibolehkannya
pernikahan dengan non Muslim, terdapat para sahabat Nabi yang menikahi
perempuan Kristen dan Yahudi, antara lain: Hudzayfah, Thalhah. Khalifah Umar
sempat berang dan marah tatkala mendengar kabar pernikahan tersebut. Sikap Umar
yang seperti itu sebenarnya bukan untuk mengharamkan pernikahan mereka,
melainkan hanya khawatir. Barangkali Umar khawatir apabila sewaktu-waktu para
sahabat membelot dan masuk dalam komunitas non-Muslim. Hudzayfah dan Thalhah
merupakan kedua tokoh yang menonjol pada zamannya, sehingga wajar bila Umar
mengingatkan mereka berdua.[12]
Mengkritik pendapat dari para
ulama yang sepakat di atas, bila pernikahan laki-laki Muslim dengan wanita non
Muslim (Kristen dan Yahudi) diperbolehkan, kemudian masihkah ada celah untuk
sebaliknya, yaitu bagaimana dengan pernikahan wanita Muslim dengan laki-laki
nonMuslim, baik Kristen,Yahudi, atau agama-agama non semitik lainnya?
Memang, dalam masalah ini
terdapat persoalan serius, karena tidak ada teks suci, baik al-Qur‟an, hadis
atau kitab fiqih sekalipun yang memperbolehkan pernikahan seperti itu. Tapi
menarik juga untuk dicermati, karena tidak ada larangan yang sharih (jelas).
Yang ada justru hadis yang tidak jelas kedudukannya, Rasulillah s.a.w bersabda,
kami menikahi wanitawanita Ahl al-Kitab dan laki-laki Ahl al-Kitab tidak boleh
menikahi wanitawanita kami (Muslimah). Khalifah Umar abn Khattab dalam sebuah
pesannya, seorang muslim menikahi wanita Nasrani, akan tetapi laki-laki Nasrani
tidak boleh menikahi wanita Muslimah.[13]
Setelah diteliti, hadis yang
diterangkan di atas dikomentari oleh Shudqi Jamil al- „Aththar sebagai hadis
yang tidak shahih. Hadis tersebut tergolong hadis mawquf yaitu hadis yang
sanadnya terputus hingga Jabir, sebagaimana dijelaskan al-Imam al-Syafi‟i dalam
kitabnya, al-Um. Sedangkan ungkapan Umar ibn Khattab merupakan sebuah ungkapan
kekawatiran bila wanita-wanita Muslim dinikahi laki-laki non Muslim, maka mereka
akan pindah agama. Dan umat Islam pada saat ini membutuhkan kuantitas dan
sejumlah penganut yang setia.
Kasus Perkawinan Beda Agama di
Indonesia adalah layaknya hama di ladang yang terus dibasmi namun masih
terus-menerus ada, karena hal itu suatu keniscayaan dari masyarakat yang
heterogen. Mengenai dilema Perkawinan Beda Agama di Indonesia Cah Nur
(Nurcholis Madjid) mempunyai pendapat tersendiri yang cukup menarik untuk kita
cermatisebagaimana di bawah ini:[14]
Pertama, bahwa pluralitas
agama merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama
samawi dan mereka membawa ajaran amal sholeh sebagai orang yang akan
bersama-Nya di surga nanti. Bahkan Tuhan juga secara eksplisit menyebutkan agar
perbedaan jenis kelamin dan suku sebagai tanda satu dengan yang lainnya saling
mengenal. Dan Pernikahan Beda Agama justru dapat dijadikan salah satu ruang,
yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih dekat.
Kedua, bahwa tujuan dari
berlangsungnya pernikahan adalah untuk membangun tali kasih (al-Mawaddah) dan
tali sayang (al-Rahmah). Di tengah antar hubungan antar agama saat ini,
perkawinan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi
dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali
kasih dan kasih sayang kita rajut kerukunan dan kedamaian.
Ketiga, semangat yang dibawa
Islam adalah pembebasan, bukan belenggu. Dan tahapan-tahapan yang dilakukan
oleh al-Qur‟an sejak larangan pernikahan dengan orang musyik, lalu membuka
jalan bagi pernikahan dengan Ahl al-Kitab merupakan sebuah tahapan pembebasan
secara evolutif. Dan pada saatnya, kita melihat agama lain bukan kelas kedua,
dan bukan pula ahl al-dzimmah dalam arti menekan mereka, melainkan sebagai
warga negara. Fahmi Huwaydi (1999) sudah memulai langkah maju tersebut dengan
sebuah manifestonya, non Muslim adalah warga negara dan bukan kelas kedua
(muwathinun la dzummiyyun) di Indonesia.
D. Dalil Mengenai Pernikahan Beda Agama
Allah Ta’ala
berfirman,
Ùˆَلا
تُÙ†ْÙƒِØُوا الْÙ…ُØ´ْرِÙƒِينَ ØَتَّÙ‰ ÙŠُؤْÙ…ِÙ†ُوا ÙˆَÙ„َعَبْدٌ Ù…ُؤْÙ…ِÙ†ٌ Ø®َÙŠْرٌ Ù…ِÙ†ْ Ù…ُØ´ْرِÙƒٍ
ÙˆَÙ„َÙˆْ Ø£َعْجَبَÙƒُÙ…ْ Ø£ُولَئِÙƒَ ÙŠَدْعُونَ Ø¥ِÙ„َÙ‰ النَّارِ
“…….dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka,….” ( QS:
Al-Baqarah: 221)
“…mereka (wanita-wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka… “ (QS:
Al-Mumtahanah: 10)
Dua ayat ini secara tegas mengatakan bahwa wanita Muslimah itu haram
dinikahkah dengan orang kafir bagaimana pun alasannya. Dan ulama telah
mengatakan bahwa ini adalah Ijma’ ulama.[15]
Jika suatu hukum itu sudah dihukumi oleh sebuah Ijma’, maka sudah
tidak ada lagi perselisihan pendapat didalamnnya. Begitu suatu masalah
dihukumi, dan hukum itu tidak diperselisihkan oleh ulama yang lain, maka itu
menjadi ijma’. Dan ketika sudah menjadi Ijma’, sudah tidak perlu
lagi dipertanyakan. Ini prinsip yang dipegang oleh para fuqaha’ (ahli
fiqih).
Adapun ayat yang terkandung dalam surah Al-Maidah ayat 5, seperti dibawah ini:
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang Ahli kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang Ahli kitab sebelum kamu…..” (QS. Al-Maidah: 5)
Ayat ini ialah takhshish [تخصيص]
untuk ayat 221 surah al-Baqarah diatas. Disebutkan bahwa wanita non-Muslim
(musyrik) itu tidak boleh dinikahi oleh laki- laki Muslim. Pada ayat ini
terjadi pengkhususan, bahwa larangan yang ada di surah al-Baqarah itu untuk
wanita musyrik saja, sedangkan Ahli Kitab, dibolehkan.
Artinya bahwa kalau wanita itu Ahli Kitab, tetap boleh. Walaupun ia seorang
wanita kafir. Karena yang dilarang itu ialah wanita kafir yang selain Ahli
Kitab.
Larangan bagi wanita Muslimah untuk menikah dengan laki-laki non-Muslim
tetap berlaku. Karena ayat ini ialah takhshish [تخصيص] bukan naskh [نسخ]
yang menghapus kandungan hukum dalam ayat. Ini hanya pengkhususan saja. Maka
yang tidak dikhususkan dalam ayat, hukumnya tetap berlaku.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
- Menikah secara bahasa artinya menyatukan, menjodohkan atau bersenggama, sementara menurut istilah adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewajiban antara kedua insan.
- Tujuan menikah menurut syariat islam adalah : untuk memenuhi tunytutan naluri manusia yang asasi, untuk membentengi akhlaq yang luhur dan untuk menundukan pandangan, untuk menegakkan rumah tangga yang Islami, dan untuk memperoleh keturunan yang sah secara biologis dan secara syari’at.
- Sebagian besar ulama membolehkan pernikahan beda agama dengan syarat laki laki nya adalah seorang muslim dan wanita non muslim ahli kitab, diluar keadaan itu maka pernikahan beda agama diharamkan.
- Dalil mengenai pernikahan beda agama tertulis dalam al quran secara jelas dalam QS: Al-Baqarah: 221.
DAFTAR PUSTAKA
https://id-id.facebook.com/notes/von-edison-alouisci/hukum-islam-dalam-pernikahan-beda-agama/235443739805678
Salma
Zuhriyah, Hukum Perkawinan Islam, cet. 1, (Bandung: Mizan, 2002). hal. 34.
Sayyid
Sabiq, „Fiqih Sunnah 6”,(Bandung, PT.Al ma‟arif 1980), hal 151.
Asnawi,
Perkawinan Beda Agama, di akses dari: http://asnawiihsan.blogspot.com/
2009/05/perkawinan-beda-agama.html, pada
tanggal 22Maret 2019.
Asnawi,
Perkawinan Beda Agama, cet. 1, (Bandung:Mizan, 2003). hal 56.
Sudarsono,Hukum
Perkawinan Nasional, (Jakarta, PT.Rineka Cipta,1994), hal 196.
Nurcholish Madjid, “Fiqih Lintas
Agama”,( Jakarta, Paramadina 2004), hal163.
[1] https://id-id.facebook.com/notes/von-edison-alouisci/hukum-islam-dalam-pernikahan-beda-agama/235443739805678
[3] Salma Zuhriyah, Hukum Perkawinan
Islam, cet. 1, (Bandung: Mizan, 2002). hal. 34.
[4] Ibid. hal. 55
[6] Sayyid Sabiq, „Fiqih Sunnah 6”,
Ibid. hal. 152-157
[7] Asnawi, Perkawinan Beda Agama, di
akses dari: http://asnawiihsan.blogspot.com/
2009/05/perkawinan-beda-agama.html, pada
tanggal 22Maret 2019.
[8] Asnawi, Perkawinan Beda Agama,
cet. 1, (Bandung:Mizan, 2003). hal 56.
[9] Sudarsono,Hukum Perkawinan
Nasional, (Jakarta, PT.Rineka Cipta,1994), hal 196
[10] Ibid. hal. 201.
[11] Ibid. hal. 211.
[12] Asnawi, Perkawinan Beda Agama,
Ibid. hal. 34.
[13] Ibid. hal. 67
[15]
https://id-id.facebook.com/notes/von-edison-alouisci/hukum-islam-dalam-pernikahan-beda-agama/235443739805678
Tidak ada komentar:
Posting Komentar